Kamis, 27 Januari 2011

Real Count Adalah Tool Penting Di Pilkada Tangsel (3)

Melanjutkan tulisan sebelumnya tentang Real Count yang saya tulis di sini :

  1. Real Count Adalah Tool Penting Di Pilkada Tangsel Yang Mestinya Disajikan Secara Terbuka Oleh Para Petarung Dan Pemantau (1) http://www.facebook.com/note.php?note_id=493121547342
  2. Real Count Adalah Tool Penting Di Pilkada Tangsel (2) http://www.facebook.com/note.php?note_id=493121547342

Sekarang masuk keurusan teknis yaitu pilihan Metode pengiriman SMS untuk Real Count

  1. SMS Oleh Saksi TPS
  2. SMS Oleh KorDes dan Data per TPS
  3. SMS Oleh KorDes dan Data per Kelurahan/Desa
  4. SMS Oleh KorCam dan Data per Kelurahan/Desa

1. SMS Oleh saksi TPS

Pada cara ini harus ada saksi di setiap TPS, begitu perhitungan selesai maka saksi TPS segera mengirimkan SMS

Keuntungan:

  • Data dikirim lebih cepat, misalnya perhitungan suara di TPS dimulai jam 1 dan selesai jam 1.30, selesai perhitungan saksi TPS segera mengirim sms, maka pada jam 1.31 sudah didapatkan data suara dari beberapa TPS.
  • Data dapat diketahui detail per TPS.

Kerugian

  • Pekerjaan untuk melatih saksi akan memakan waktu, tenaga dan biaya yang besar karena banyaknya yang harus dilatih.
  • Tidak semua saksi TPS mempunyai HP, atau bisa kirim SMS, atau bisa kirim SMS dengan format yang benar.
  • Kemampuan penerimaan SMS oleh operator seluler sangat terbatas, bila pengirim terlalu banyak maka akan ada banyak SMS yang pending.
  • Cara ini tidak pernah mencapai 100% karena ada banyak saksi yang tidak mengirim SMS.

2. SMS Oleh kordes dan data per TPS

Cara ini SMS hanya dikirimkan oleh kordes, kordes mengumpulkan data dari tiap TPS dan mengirim SMS untuk setiap TPS.

Keuntungan :

  • Dibandingkan dengan cara 1 diatas, cara ini lebih sedikit pengirim SMS-nya yang artinya training akan lebih mudah, hemat, dan cepat. (pengirim SMS adalah kordes)
  • Data dapat diketahui detail per TPS.

Kerugian

  • Kemampuan penerimaan SMS oleh operator seluler sangat terbatas, bila pengirim terlalu banyak maka akan ada banyak SMS yang pending.
  • Data dikirim akan lebih lambat dari cara 1 diatas, karena kordes harus menunggu data dari TPS-TPS didesanya.

3. SMS Oleh KorDes dan Data per Desa

Cara ini SMS hanya dikirimkan oleh Kordes dan data yang dikirim adalah jumlah suara seluruh TPS didesanya, jadi setiap kordes hanya mengirim 1 kali SMS.

Keuntungan :

  • Dibandingkan dengan cara 1 diatas, cara ini lebih sedikit pengirim SMS-nya yang artinya training akan lebih mudah, hemat, dan cepat. (pengirim SMS adalah kordes)
  • Lalu lintas SMS jadi semakin sedikit, jadi masalah SMS pending dapat dihindari.

Kerugian

  • Data dikirim akan lebih lambat dari cara 1 diatas, karena kordes harus menunggu data dari TPS-TPS didesanya.
  • Data tidak dapat diketahui detail per TPS

4. SMS Oleh Korcam dan data per desa

Cara ini, SMS dikirim oleh korcam (koordinator kecamatan) yang standby di posko pemenangan di tiap kecamatan, korcam hanya menunggu apabila ada kordes membawa berkas C1-KWK dari desanya untuk dikumpulkan di posko kecamatan.

Keuntungan :

  • Dibandingkan dengan ketiga cara diatas, cara ini lebih sedikit pengirim SMS-nya (hanya korcam) jadi sebih mudah mengkoordinir pengirim SMS.
  • Lalu lintas SMS jadi semakin sedikit, jadi masalah SMS pending dapat dihindari.

Kerugian

  • Data dikirim akan lebih lambat dari ketiga cara diatas, karena korcam harus menunggu data dari desa (dan desa jg menunggu data dari TPS).
  • Data tidak dapat diketahui detail per TPS

Untuk timses yang mempunyai tim saksi TPS yang sudah biasa mengirim SMS maka cara 1 boleh saja dipakai, bila tidak gunakan cara 3 untuk anda yang mempunyai kepercayaan kepada kordes, atau bila kordes dapat mengumpulkan C1-KWK pada hari itu juga di Posko Kecamatan maka disarankan menggunakan cara ke-4.

Demikian tulisan ini saya akhiri, semoga dapat dimanfaakan untuk lebih menjamin akuntabilitas hasil PSU kelak. Namun sekiranya masih ada waktu saya akan lanjutkan satu kali lagi tulisan terkait hal ini segera, bukan mengenai detail teknis namun lebih kearah Strategi Taktis pemanfaaan Real Count dengan menggunakan SDM yang ada.

Salam dari jauh

:)

Jogja, ba'da Isya

(pantang menyerah sebelum hari H, dan buktikan bahwa kalian mampu untuk itu)

27 Januari 2011



Real Count Adalah Tool Penting Di Pilkada Tangsel (3)

cahPamulang: Real Count Adalah Tool Penting Di Pilkada Tangsel (3)

Real Count Adalah Tool Penting Di Pilkada Tangsel (2)

Lanjutan dari tulisan sebelumnya :

Tulisan berikut akan lebih mengarah ke sisi teknis mengenai seluk beluk Real Count yang lazimnya menggunakan media SMS utuk pengiriman data dari TPS-TPS. Ada software khusus untuk itu dimana selain data di-input melalui SMS juga dapat di-input langsung ke komputer.

Data pun dapat ditampilkan dalam bentuk grafik untuk dipublikasikan kemasyarakat, dan dicetak per kelurahan/kecamatan untuk cek dan ricek dengan data di PPK, dengan tujuan jangan ada selisih suara dengan data di KPU.

Untuk itu ada beberapa fitur penting yang harus ada dalam Software tersebut agar fungsinya dapat benar-benar maksimal.

Fitur Software :

  1. Manajemen Data Saksi menjadi lebih rapi, serta dapat diketahui TPS mana yang masih kosong.
  2. Dapat sebagai media koordinasi dengan Saksi, Ssoftware dapat mengirim SMS massal kepada Saksi pada lokasi tertentu, misal Saksi per Kelurahan, per Kecamatan dan seluruh saksi per Kabupaten/kota.
  3. SMS dari Saksi dapat segera dikenali karena akan ditampilkan Nama Saksi, Nomor hp, Lokasi TPS, Kelurahan, Kecamatan dan Kabupaten/Kota Asal Saksi Pengirim SMS.
  4. Bila diperlukan Software dapat di Publish ke internet, sehingga dapat diakses dari internet data terkini.
  5. Terdapat fitur utuk input data suara secara Manual, bila saksi mengalami masalah pengiriman SMS.

Cara Kerja :

  1. Saksi TPS mengirimkan data hasil perhitungan via SMS dengan format yang telah ditentukan
  2. Software menerima SMS dan memeriksa kode atau nomor HP pengirim dan format SMS, bila benar data secara otomatis masuk ke database
  3. Grafik data secara Real Time dapat ditampilkan dilayar infocus.
  4. Data juga ditampilkan di website dan dapat diakses internet

Identifikasi Saksi :

Identifikasi Saksi adalah dengan Cara Registrasi Data Nomor hp Saksi Pada Database Software, dengan cara ini Saksi cukup mengirim Data Suara saja, tidak perlu mengirim SMS berupa Data Kelurahan dan TPS karena sistem sudah dapat mengenali dari nomor HP-nya.

SMS Real Count juga bisa identifikasi saksi berdasarkan Kkode, jadi bila kode benar maka data akan dimasukkan pada desa/Kelurahan dan TPS sesuai dengan kode Desa/Kelurahan. Pada sistem ini tidak diperlukan input data nomor hp saksi.

Beberapa fitur pada software ini adalah :

  1. Terdapat fitur untuk mengetahui apakah Saksi sudah siap, yaitu dengan cara Saksi mengirim SMS dengan format KodeDesa (spasi) TPS (spasi) SIAP. Software yang menerima SMS ini akan segera memasukkan data nomor pengirim ke data dan TPS yang dimaksud, fitur ini juga bisa berguna untuk mengumpulkan data nomor hp saksi sehingga Timses bisa mengirim SMS massal kepada saksi-saksi.
  2. Terdapat untuk print Panduan Saksi, bahkan Panduan berbeda-beda setiap lembarnya karena berisi kode desa/kelurahan yang berbeda.
  3. SMS yang diterima akan dicek dulu, yaitu :
    1. Bila Kode Desa/Kelurahan tidak benar maka tidak akan diproses
    2. Bila Nomor TPS lebih besar dari data jumlah TPS di Desa/Kelurahan yang dimaksud maka software akan mengirim SMS Informasi bahwa SMS Salah
    3. Bila jumlah kata yang dikirim kurang dari yang ditentukan maka Software akan mengirim SMS bahwa Jumlah Kata Kurang.

Panduan Real Count Cara Kirim SMS

Pengandaian

Kecamatan : Pamulang

Kelurahan : Pd. Benda

Jml TPS : 15 (TPS 1 - 15)

Kode : XYZ

Format SMS

Kode (spasi) NoTPS (spasi) Suara1 (spasi) Suara2 (spasi) Suara3 (spasi) Suara4

Misal : no Hape Data senter 0855007005Kelurahan : Pd Benda

No TPS : 7

Suara 1 : 25

Suara 2 : 7

Suara 3 : 75

Suara 4 : 80

Menulsikan SMS-nya adalah : XYS 7 25 7 75 80

Kirim ke : 0855007005

Ini metode kirim SMS melalui sembarang nomer hape, SMS akan diterima bila kode Kelurahan (XYZ) benar. Dan tentunya nomer data center dan kode-kode yang ada harus dirahasiakan karena rawan dimanipulasi.

Untuk system yang demikian perangkatnya hanya sederhana saja diluar Sofware, yaitu :

  1. 2 unit laptop/PC
  2. 2 Unit HP SonyEricsson K550i atau yang sejenis yg kompatibel.
  3. 2 Kartu Perdana dan Pulsa.
  4. 1 Orang Relawan yang bertugas sebagai Operator Utama
  5. 3 Unit Laptop atau PC untuk operator
  6. 4 Orang Relawan untuk operator tambahan pada saat hari - H.

Apakah nampak njlimet?

Iya kalau ditulis namun pada prakteknya hanya perlu waktu satu jam latihan maka semua dapat cepat memahami dan selamatlah data suara yang kemungkinan dpat berubah diterpa semilir angin.

Berlanjut ke tulisan yang lebih Teknis lagi yaitu mengenai Metode Pengiriman Data/SMS http://www.facebook.com/note.php?note_id=493217577342

Jogja, ba'da Ashar

27 Januari 2011

Tulisan Terkait :



Real Count Adalah Tool Penting Di Pilkada Tangsel (2)

cahPamulang: Real Count Adalah Tool Penting Di Pilkada Tangsel (2)

Real Count Adalah Tool Penting Di Pilkada Tangsel Yang Mestinya Disajikan Secara Terbuka Oleh Para Petarung Dan Pemantau (1)

Saya khususkan tulisan ini untuk para operator JPTS dan Tim Arsid - Andre, untuk Tim Airin - Ben dan yang lain silahkan simak dan jadikan tulisan ini bagian dari ajakan masyarakat agar Anda semua memiliki keberanian untuk terbuka dengan hasil Pemungutan Suara Ulang Tangerang Selatan di Minggu 27 Februari 2011.

Sebagai Prolog berikut saya tuliskan singkat pengertian Quick Count dan Real Count

Quick Count :

  1. TIdak semua TPS dihitung, hanya sebagian aja sebagai sampel data, misal dari 2000 TPS yang diambil hanya dari 200 TPS
  2. Penyenggara biasanya lengkap dengan tim yang disebarkan ke semua sample TPS
  3. Harga sangat mahal berkisar ratusan juta sampai miliaran, karena sudah termasuk jasa honor utk SDM.
  4. Hasil cepat diketahui sekitar jam 2 siang, karena hanya sedikit data
  5. Hasil tentu tidak akurat 100% bahkan dibeberapa tempat bisa berbeda 180 derajat.
  6. Penyelenggara hanya melaporkan data total, tidak bisa data detail per TPS.

Real Count

  1. Target semua TPS dihitung, artinya data adalah 100% dari semua TPS, bukan sample
  2. Penyelenggara quick count hanya menyediakan software dan tim untuk jaga sistem, sedangkan tim untuk pengiriman data dikirim oleh saksi yang telah ada
  3. Harga jauh lebih murah karena penyelenggara tdk perlu menyiapkan dan membayar relawan di TPS-TPS
  4. Hasil 100% biasanya selesai malam hari, ini karena tidak semua saksi bisa kirim sms, ada yang telepon atau masalah sinyal hp di bberapa tempat
  5. Hasil lebih akurat karena data dari semua TPS.
  6. Bisa dicetak data per TPS, per kelurahan dan per kecamatan
  7. Cocok utk peserta pilkada atau KPU atau Help Desk Pemerintah Kabupaten/Kota atau bisa juga dari Kepolisian.

Dalam hal ini Quick Count sesuai untuk JPTS sedangkan Real Count untuk Tim Arsid - Andre, yang terpenting adalah kesiapan SDM masing-masing dari Titik Mana Data akan dikirimkan, baik secara Manual maupun via SMS.

Jumlah TPS di Pilkada Tangerang Selatan ada 1890 TPS, tersebar di 54 Kelurahan dari 7 Kecamatan, sehingga bila JPTS berkeinginan mengadakan Quick Count setidaknya harus memiliki relawan sejumlah 200 orang yang disebar, sedangkan bila Tim Arsid - Andre ingin mengadakan Real Count harus menyiapkan relawan sejumlah 1890 orang yang kredible.

Pekerjaan yang yang cukup menyita waktu, pikiran dan dana, namun bukan berarti tidak dapat dilakukan bila semangat itu masih dan makin membara untuk mengawal PSU kelak dari kemungkinan terjadinya selisih perhitungan suara.

Mengapa tim Arsid - Andre harus memilih metode Real Count?

Agar bila terjadi selisih perhiungan suara yang merugikan pihaknya hasil Real Count tersebut dapat sebagai bahan untuk melakukan gugatan ke MK, untuk itu bila akan mengunakan Real Count daftarkan secara resmi ke KPUD dan Panwaslu jauh hari sebelumnya. Dan siapkan semuanya dengan sesempurna mungkin.

Berlanjut ditulisan berikutnya tentang Software dan Identifikasi Saksi http://www.facebook.com/note.php?note_id=493181042342

:)

Jogja, ba'da dhuhur

27 Januari 2011

Notes : Tulisan ini diramu dari sumber yang cukup kredible dibidang ini dan akan saya tampillkan sourcenya bila PSU Tangsel sudah selesai.

Tulisan Terkait :



Real Count Adalah Tool Penting Di Pilkada Tangsel Yang Mestinya Disajikan Secara Terbuka Oleh Para Petarung Dan Pemantau (1)

cahPamulang: Real Count Adalah Tool Penting Di Pilkada Tangsel Yang Mestinya Disajikan Secara Terbuka Oleh Para Petarung Dan Pemantau (1)

Selasa, 25 Januari 2011

Ironi Bila Prestasi Arsid Selalu Dipermasalahkan Lawan Politiknya (4)

Tulisan berseri ini sebenarnya hendak saya hentikan hanya sampai di tulisan ke 3 saja, namun rupanya sang Prabu Siliwangi (http://tinyurl.com/Prabu-Siliwangi) menimpakan wangsit baru yang memaksa saya tak boleh tidak harus membuat seri yang ke 4. (Tulisan-tulisan sebelumnya dapat dibaca di link-link berikut bila memang ada ketertarikan untuk mengikutinya dari awal)

  1. Ironi Bila Prestasi Arsid Selalu Dipermasalahkan Lawan Politiknya Di Ranah Grass Root Sementara Boss Mereka Mengakui (1) http://www.facebook.com/note.php?note_id=491523687342
  2. Ironi Bila Prestasi Arsid Selalu Dipermasalahkan Lawan Politiknya (2) http://www.facebook.com/note.php?note_id=491591937342
  3. Ironi Bila Prestasi Arsid Selalu Dipermasalahkan Lawan Politiknya (3) http://www.facebook.com/note.php?note_id=491721817342

Berikut tutur sang Prabu Siliwangi yang wangsitnya mampir di tulisan tentang Arsid yang kedua yang merujuk pada poin 2,3 dan 4 ditulisan tersebut, walau tidak spesifik membahas tentang Arsid namun masih ada kaitan dengan tampilnya Arsid di Bursa Calon Walikota saat itu :

2. Benarkah Partai-partai besar pernah melamarkan kadernya untuk menjadi orang nomer dua mendampingi Arsid dengan syarat Arsid harus mengeluarkan dana sekian M untuk itu? Urut kecil PKS sekian M, Golkar sekian M dan Demokrat sekian M?
3. Benarkah salah satu PNS yang masuk pooling ditulisan sebelum ini, mencoba untuk menggeser posisi Andre Taulany jelang Deklarasi Arsid - Andre setelah dia tidak memiliki kendaraan menuju Calon Walikota Tangsel?
4. Benarkah karena PNS tersebut kecewa tidak mampu menggoyahkan komitmen Arsid kepada Andre Taulany maka terjadilah penggembosan suara di wilyah yang bisa dia kuasai? Padahal sebelumnya dia berjanji akan menjaga wilayahnya dari intrik politik yang culas dan super tega? Siapakah diantara Arsid dan Oknum tersebut yang berkhianat terhadap komitmen sebelumnya dan ujungnya berkhianat terhadap masyarakat pemilih?
6. Benarkah langkah gugatan ke MK pernah dihentikan oleh orang kedua ARD dengan ditukar dengan sejumlah rupiah yang kemudian ditolak oleh Arsid karena suaranya bukanlah suara rekayasa, murni suara masyarakat yang menginginkanya menjadi Pemimpin Pertama di Negeri Tangsel ini?
8. Yang terakhir, benarkah B1 pun pernah berupaya meloby Arsid untuk tidak maju di Pilkada Tangsel dengan imbalan tertentu?

Pelengkap Poin 2

  1. Adanya Koalisi Tangerang Bersatu (KTB) yang terdiri dari GERINDRA, HANURA, PPP, PKPI, PBB dan PKB (mohon koreksi jika salah) bertujuan untuk mengimbangi koalisi Partai Besar yang menjadi Pengusung ARD.
  2. Entah mengapa KTB tersebut pecah, hanya tinggal GERINDRA, HANURA, PPP dan PBB, sedangkan PKPI dan PKB akhirnya mengusung ARD karena konon mendapat bayaran yang lebih tinggi
  3. Pada awalnya PAN tidak masuk daftar Partai Pengusung ARD, karena PAN ingin berkoalisi dengan KTB untuk mengusung Iskandar, Muhammad, Arsid dan Herman.
  4. Namun karena terjadi perbedaan pandangan dari ke empat balon terseut diatas yang susah untuk dipasangkan, akhirnya koalisi ini pecah, yang mengakibatkan PAN tidak memiliki balon yang akan diusung.
  5. Akhirnya PAN menawarkan diri untuk mengusung ARD entah berapa imbalannya, yang pasti hengkangnya PAN dari mendukung Arsid karena dana dikantong hanya cukup untuk 4 Partai dengan 7 kursi di DPRD.

Pelengkap Poin 3 & 4

  1. Rupanya yang dimaksud oknum PNS tersebut adalah Muhammad yang hubungannya tidak harmonis dengan Arsid gara-gara dia merasa lebih senior sehingga tidak mau menjadi orang kedua, padahal jelas-jelas pooling menunjukkan Arsid lebih unggul darinya.

Pelengkap Poin 6

  1. Memang benar waktu Arsid mau mengajukan gugatan ke MK, ada utusan AD yang bertemu dengan Arsid, agar Arsid tidak melakukan gugatan ke MK dan ARD akan mengganti semua uang yang dikeluarkan untuk pencalonannya dan 1 M untuk pribadi Arsid. Kala itu Arsid akan menerima jika semua pendukungnya juga diberi masing-masing 1 M x jumlah pendukungnya. Sementara dari versi wangsit saya, kala itu BD yang malakukan kontak lanasung dengan Arsid via telephone. Dan BD pun tertampar oleh penolakan diplomatis Arsid

Pelengkap Poin 8

  1. Arsid pernah di panggil ke Serang yang bisa jadi B1 yang memanggil, disana dia ditawari mobil mewah, uang mewah dana uang berapapun asal dia tidak ikut mencalonkan diri pada Pilkada Tangsel.
  2. Namun Arsid tidak mau mernima itu semua karena dia tidak ingin mengecewakan orang-orang yang telah mendukung dan telah memberi kepercayaan padana

Demikian rangkuman wangsit dari Prabu Siliwangi yang dapat saya torehkan, dan mari kita kembali renungkan pantaskah Arsid menjadi Pemimpin Pertama Negeri Tangsel ini atau dianggap tak layak untuk itu?

Sebuah pertanyaan yang akan kita jawab kelak di bilik pilihan.


Pamulang, dini hari

(benar-benar lelah dan payah, hingga kata-kata pun tak dapat lugas tertata)

Selasa, 25 januari 2011


Ironi Bila Prestasi Arsid Selalu Dipermasalahkan Lawan Politiknya (3)

Tulisan ini menyambung 2 (dua) tulisan sebelumnya tentang Arsid :

  1. Ironi Bila Prestasi Arsid Selalu Dipermasalahkan Lawan Politiknya Di Ranah Grass Root Sementara Boss Mereka Mengakui (1) http://www.facebook.com/note.php?note_id=491523687342
  2. Ironi Bila Prestasi Arsid Selalu Dipermasalahkan Lawan Politiknya (2) http://www.facebook.com/note.php?note_id=491591937342

Sumber tulisan ini dari reply Kerikil Jalma Banten (http://tinyurl.com/KJB-KerikilJalmaBanten) di tulisan pertama saya tentang Arsid, yang kemudian saya re-format dan saya lengkapi berdasar wisik yang saya dapat kemudian saya tuang dalam gaya tulis yang biasa saya pakai. Trims buat KJB :)

Mari kita cermati bagaimana seorang Arsid mengambil sikap pada saat dia harus memutuskan hal penting dalam kehidupannya. (Merujuk pada poin 2 tulisan pertama) :

2. Arsid tidak berambisi menjadi Calon Walikota, karena dia tak ingin pertaruhkan karirnya yang cemerlang hanya untuk kendaraan orang-orang yang Haus Kekuasaan dan Lapar Ketenaran.

Ada 3 (tiga) hal penting yang dipakai Arsid dalam memutuskan mau tidaknya dia masuk bursa Pencalonan Walikota Tangsel. Dua yang Utama adalah Ijin Atasan dan Ijin Orang Tua (dalam hal ini adalah ibu), bila salah satu mengatakan tidak maka Arsid tidak akan pernah mau masuk bursa dan Ketiga adalah Dukungan Masyarakat, diwakili para tokoh Masyarakat Tangsel yang menginginkan Tangsel berlepas diri dari cengkeraman B1 (inilah realita yg diinginkan para tokoh-tokoh tersebut).

  1. Ijin dari Pimpinan dalam hal ini adalah Bupati Tangerang Ismet Iskandar sudah saya papar pada tulisan 1, dimana ada beberapa proses demokratis yang sudah dilalui Arsid. Namun tidak untuk menjadi orang nomer 2, maka dari itu saat ARD berniat menjadikan Arsid sebagai orang keduanya, BT1 tidak memberikan restu, karena kapasitas dan kemampuan Arsid yang mempuni bakal terkekang saat menjadi orang kedua. Sehingga ijin tersebut hanya berlaku bila Arsid menjadi orang pertama.
  2. Pada Pertemuan Pertama dengan Tokoh Masyarakat Tangsel saat melamar Arsid menjadi Calon Wali Kota, Arsid berucap kira-kira seperti ini intinya : "Sekiranya yang saya punya sekarang dibelanjakan untuk beli kopi kemudian dibagi-bagikan se Kota Tangsel karena saya nyalon Wali Kota saja tidak cukup, bagaimana mau nyalon? Ini adalah penolakan secara halus yang dilakukan oleh Arsid dihadapan para tokoh Masyarakat yang datang padanya.
  3. Pada Pertemuan Kedua dengan para Tokoh Masyarakat Tangsel untuk melamar ulang dan menanyakan kesiapannya, maka Para Tokoh Masyarakat menyatakan siap membantu dalam 3 (tiga) hal : Dana, Partai dan Relawan. Arsid tinggal menjawab "Iya" namun harus dengan tanggung jawab. Pada kesempatan itu pun kembali Arsid mengelak dengan ucapan : "Saya minta ijin ibu saya dulu."
  4. Saat Arsid meminta ijin ibunya, ibunya berkata : "Emang kamu mau jadi Wali Kota? Arsid menjawab : "Saya bagaimana Ibu, kalau nggak boleh, saya tidak bakal nyalon. Kalau boleh, itu orang-orang sudah pada nunggu jawaban saya." Sang Ibu belum memberi jawaban juga saat itu. Perwakilan Tokoh Masyarakat pun kemudian menghadap Ibu Arsid, minta diijinkan, sang ibu tetap tidak bergeming.
  5. Baru seminggu kemudian ibunya memperbolehkan, setelah BT1 hanya mengijinkan Arsid menjadi orang pertama bukan menjadi orang kedua yang mendampingi ARD. Rupanya sang ibu khawatir bila Arsid berendengan dengan ARD yang muda dan cantik bisa berakibat yang kurang baik dikemudian hari, sebuah kekhawatiran wajar seorang ibu kepada anaknya. :)
  6. Setelah mendapat ijin dari BT1 dan ibunya, maka Arsid baru menjawab : "Oke saya nyalon, tapi yang pertemuan kemarin diomongkan dan dijanjikan kepada saya harus dipenuhi."

Dari poin-poin tersebut kita dapat melihat siapa Arsid yang sesungguhnya, yaitu seorang yang Hormat pada Atasan, Hormat pada Ibu dan Hormat pada Tokoh Masyarakat Tangsel.

Selain dari itu adapula dukungan dari luar yang layak dipertimbangkan, yaitu dari seorang bernama Benyamin Davnie yang kini menjadi orang kedua ARD. Saya mendapat tambahan informasi ini dari Edo Santiago (http://tinyurl.com/Edo-Santiago) yang menuliskannya pada reply tulisan Arsid 1. (tulsan saya re-format dan kata sandang saya hilangkan)

  1. Benyamin Davni dan Arsid adalah dua tokoh yang bersahabat. Sebelum Benyamin dilamar ARD menjadi orang keduanya, dia meminta orang-orang dekatnya untuk membantu perjuangan Arsid.
  2. Menurut Benyamin, dari sekian Kandidat yang ada pada saat itu, hanya Arsid lah yang paling pas memimpin Tangerang Selatan.
  3. Apa yang disampaikan Benyamin bukanlah tanpa alasan, Track Record Karir Arsid di wilayah Tangerang Selatan mulai dari Sekcam sampai dengan menjadi Camat dibeberapa tempat di Tangsel ini menjadi tolok ukurnya.
  4. Disamping itu Arsid lahir dan dibesarkan di wilayah Tangerang Selatan, sehingga pengenalan teritorial dan keakraban terhadap budaya setempat sangat kental, sehingga kansnya untuk naik kepermukaan sangat besar
  5. Dan tentunya Benyamin juga sadar dengan adanya pooling yang pernah dibuat sebelum BT1 menentukan siapa yang lolos juga merupakan bukti nyata bahwa Arsid memang pantas untuk itu.

Demikian yang bisa saya tuliskan kembali tutur Kerikil Jalma Banten dan Edo Santiago di reply tulisan tentang Arsid yang pertama, yang pasti mereka berdua lebih akurat paparannya dibading saya yang hanya mampu menggali tulisan berdasar wangsit dan wisik semata.

Namun ternyata sewaktu saya akan akhiri tulisan berseri ini cukup sampai seri 3, tak dinyana ada lagi seorang berjuluk Prabu Siliwangi (http://tinyurl.com/Prabu-Siliwangi) yang sekonyong-konyong menambahkan beberapa informasi yang tak kalah menarik untuk dibukukan tentang kiprah Arsid saat dia diuji oleh keadaan, yang mungkin menguntungkan diri pribadi Arsid namun dia menolaknya. Serta intrik-intrik politik yang terjadi sebelumnya, yang juga ditambahkan lagi oleh Kerikil Jalma Banten.

Yups, saya akan tulis di seri ke 4, selekas mungkin

:)

Pamulang, jelang malam

(edan, urusan kerjaan belum kelar malah ribut nulis cerita fiksi, dasar internet addict)

Senin, 24 Januari 2011

Tulisan Terkait :

Senin, 24 Januari 2011

Ironi Bila Prestasi Arsid Selalu Dipermasalahkan Lawan Politiknya (2)

Lanjutan dari tulisan sebelumnya :

Ironi Bila Prestasi Arsid Selalu Dipermasalahkan Lawan Politiknya Di Ranah Grass Root Sementara Boss Mereka Mengakui (1)

http://www.facebook.com/note.php?note_id=491523687342

Siapa saja yang pernah melakukan negosiasi Politik terhadap Arsid, baik karena prestasinya yang tidak perlu diragukan sama sekali atau karena basis massanya yang begitu kuat, saya akan tulis disini. Namun karena sifatnya sudah menunjuk ke pribadi-pribadi, maka tulisan ini saya sajikan berupa kalimat pertanyaan yang kemudian akan saya beri urain sedikit untuk memperjelas, agar saya tidak dianggap melakukan fitnah atas semua yang akan saya tulis :

  1. Benarkah ARD pernah melamar Arsid untuk menjadi orang kedua, yang kemudian ditolak karena menjadi orang kedua adalah bak boneka pajangan yang tidak bisa membuat kebijakan apapun, oleh karenanya BT1 tidak merestui Arsid menjadi orang Kedua mendampingi ARD?
  2. Benarkah Partai-partai besar pernah melamarkan kadernya untuk menjadi orang nomer dua mendampingi Arsid dengan syarat Arsid harus mengeluarkan dana sekian M untuk itu? Urut kecil PKS sekian M, Golkar sekian M dan Demokrat sekian M?
  3. Benarkah salah satu PNS yang masuk pooling ditulisan sebelum ini, mencoba untuk menggeser posisi Andre Taulany jelang Deklarasi Arsid - Andre setelah dia tidak memiliki kendaraan menuju Calon Walikota Tangsel?
  4. Benarkah karena PNS tersebut kecewa tidak mampu menggoyahkan komitmen Arsid kepada Andre Taulany maka terjadilah penggembosan suara di wilyah yang bisa dia kuasai? Padahal sebelumnya dia berjanji akan menjaga wilayahnya dari intrik politik yang culas dan super tega? Siapakah diantara Arsid dan Oknum tersebut yang berkhianat terhadap komitmen sebelumnya dan ujungnya berkhianat terhadap masyarakat pemilih?
  5. Benarkah ada petualang politik yang merasa masih laku mencoba masuk menjadi jurkam Arsid - Andre dengan ongkos sekian juta sekali tampil dengan syarat lokasi tampilnya dia yang menentukan? Benarkah politisi itu setenar, sepiawai seperti yang dia rasa? Apakah bukan hanya sekedar ingin tampil kembali dengan menunggangi popularitas pasangan Arsid - Andre?
  6. Benarkah langkah gugatan ke MK pernah dihentikan oleh orang kedua ARD dengan ditukar dengan sejumlah rupiah yang kemudian ditolak oleh Arsid karena suaranya bukanlah suara rekayasa, murni suara masyarakat yang menginginkanya menjadi Pemimpin Pertama di Negeri Tangsel ini?

Sementara saya cukupkan sekian saja dulu, bila ada waktu dan wangsit baru pastilah saya akan lanjutkan lagi.

Akhir kata, kalau masih saja Arsid dianggap pecundang, tolok ukurnya apa?

Kalau sekedar kalap dan kalut rasanya tak pantaslah itu diungkap keluar, mempermalukan diri sendiri dan tentunya para boss yang sedang menikmati percaturan Politik di Pilkada Tangsel

:)

Pamulang, jelang siang

(seandainya waktuku cukup, tak kulepas moment-momen penting Pilkada Tangsel yang fenomenal ini)

Senin, 24 Januari 2011

Link Terkait :


Ironi Bila Prestasi Arsid Selalu Dipermasalahkan Lawan Politiknya Di Ranah Grass Root Sementara Boss Mereka Mengakui (1)

Semua orang Tangsel pasti paham siapa Airin RD, tokoh muda, cantik, ayu mengepalai banyak oraganisasi sosial, mensponsori banyak kegiatan di masyarakat, apalagi Balihonya sudah bertengger disemua jalan Protokol di Tangsel sejak setahun yang lalu.

Strategi piawai oleh tim ARD waktu itu untuk mengenalkan sosok ARD ke Masyarakat Tangsel, untuk membidik Pilkada Tangsel yang hebat dan fenomenal.

Sebaliknya, seorang Arsid dianggap tidak berprestasi oleh mereka yang pro kepada ARD karena Arsid memang bukanlah seorang public figure bermodal segrobak yang bebas pasang Spanduk dan Baliho dimanapun.

Namun bila ditilik prestasinya sebagai seorang PNS, siapapun pejabat di Wilayah Tangerang Raya sampai Banten sekalipun akan mengakui kemampuannya menjadi seorang Pemimpin, 4 (empat) kali menjadi Pejabat Camat bukanlah sekedar Prestasi abal-abal, Pondok Aren (SekCam), Pamulang, Serpong dan Cisauk (luar Tangsel) adalah wilayah yang pernah dia Pimpin.

Simak sejumput cerita dibalik berita yang tak pernah muncul dipermukaan, yang hanya beredar dikalangan Ring 1 para Petarung di Pilkada Tangsel ini yang bersumber dari wangsit-wangsit yang mulai gerah dan geram melihat Tangsel diobrak-abrik oleh system yang Lapar Kekuasaan Haus Ketenaran :

  1. Dari PNS di Kab. Tangerang yang berambisi jadi Calon Walikota Tangerang Selatan adalah : Benyamin, Yayat, Suwandi dan Muhammad tambah non PNS Norodom ex Wakil Bupati tangerang (maaf saya hanya sebut nama tanpa kata sandang), tidak ada nama Arsid diantara mereka.
  2. Arsid tidak berambisi menjadi Calon Walikota, karena dia tak ingin pertaruhkan karirnya yang cemerlang hanya untuk kendaraan orang-orang yang haus kekuasaan dan lapar ketenaran.
  3. Bupati Ismet puyeng melihat anak buahnya pada berebut ingin tampil , periksa poin 1. (saya abaikan dulu conspirasi antara B1 dan BT1).
  4. Untuk itu dibuatlah pooling internal dengan statement siapapun yang poolingnya paling unggul maka dialah yang bakal diloloskan menjadi Balon Walikota Tangsel.
  5. Namun entah siapa yang berinisiatif dalam pooling tersebut nama Arsid dimasukkan, dan diluar dugaan Arsid yang tak punya ambisi justru suaranya mengalahkan 4 (empat) orang tersebut.
  6. Beberapa kali pooling tersebut diujikan namun hasilnya tetap menempatkan Arsid pada posisi favorite.
  7. Tentunya Arsid yang Muda Tanpa Ambisi dan Underdog kini menjadi kerikil sandungan bagi 4 (empat) orang rekan kerjanya diatas, sehingga tak heran bila mereka kelak termasuk gerombolan yang sistemik melawan Arsid.
  8. Dari hasil pooling tersebut maka tak bisa tidak BT1, memberikan ijin kepada Arsid untuk melenggang masuk ke Balon Walikota Tangsel, dan mulailah negosiasi tingkat tinggi berlangsung di Pilkada Tangsel. (periksa tulisan saya tentang makelar politik di pilkada tangsel dan yang terkait dengannya)

Saya cukupkan sejarah masuknya Arsid ke ranah percaturan Pilkada Tangsel, simak dengan bijak dan sadarilah bahwa Arsid bukanlah seorang PNS yang ala kadarnya dan biasa-biasa saja.

Selanjutnya saya akan lanjut pada tulisan sambungannya, siapa saja yang pernah melakukan negosiasi Politik terhadap Arsid, baik karena prestasinya yang tidak perlu diragukan sama sekali atau karena basis massanya yang begitu kuat.

:)

Pamulang, setengah sepuluh pagi

Senin, 24 Januari 2011

Link terkait :

Catatan :

Cerita fiktif ini banyak kesamaannya dengan gerak para tokoh yang terlibat di Tangerang Selatan bukanlah tanpa kesengajaan. Bahwa ada sejarah yang tidak bisa dilupakan begitu saja, bahwa ada suara bawah tanah yang mampu mengungkap sebuah berita dibalik cerita. Hanya si Pelaku dan Ring 1 yang akan mampu mengunyah cerita ini menjadi informasi yang berguna bagi gerak langkah mereka kedepan.


PSU Adalah Istilah KPUD Tangsel Untuk Pilkada Ulang Kelak Padahal Intrik Dan Carut Marutnya Kini Lebih Heboh Menghunjam

Pagi ini saya membaca tulisan Gempur Dinasti yang berjudul "Kepada Para Pelanggar Hukum di Tangsel" http://www.facebook.com/note.php?note_id=118746924862475

Disitu secara berulang ditulis Pilkada Ulang terus menerus, begitu saya ikutin, cermatin dan resapi, memang pada kenyataaannya PSU kelak adalah memang benar-benar Pilkada Ulang, bukan sekedar nugmpulin orang buat nyoblosin kertas dibilik kosong.

Coba tengok sebentar kutipan dari Gamour Dinasti tersebut :

  1. Pilkada Ulang telah membuang puluhan milyar uang rakyat untuk dana pilkada yang telah digelar
  2. Pilkada Ulang akan menyedot puluhan milyar uang rakyat lagi untuk menggelar pilkada ulang
  3. Pilkada Ulang menyebabkan kerja sosial sekian banyak orang penyelanggara pilkada menjadi sia sia
  4. Pilkada Ulang telah menampakkan para pendusta pelaku saksi palsu di persidangan mk
  5. Pilkada Ulang telah menandai para pencoreng nilai keadilan, kejujuran dan demokrasi di tangsel hingga pilkada di tangsel tidak bernilai
  6. Pilkada Ulang menuntut pedang-keadilan untuk menyeret para pelaku penyebab gagalnya pilkada ke meja hijau.

Rasanya istilah Pemungutan Suara Ulang (PSU) adalah hanya rekayasa KPUD Tangsel untuk mengerdilkan kesalahan mereka atas kegagalan mereka di Pilkada Kemarin.

Pada kenyatannya, dana tetap diglontor, masyarakat tetap harus ngusung tenda, perang urat syaraf justru lebih menggila dan sudah tak ada lagi rasa malu didada.

Pelanggaran dibalik kata sosialisasi begitu menggoda

Bagi saya men-sosialiasikan istilah PSU sama juga dengan membela bodongnya KPUD Tangsel yang gagal fatal di Pilkada kemarin.

So,... saya tetap akan memakai istilah Pilkada Ulang, bukan Pemungutan Suara Ulang di 27 Feb 2011 kelak.

Pamulang, ba'da Dhuhur

Minggu, 23 Januari 2011


Mari Berjibaku Di Jelang Pilkada Ulang 27 Feb 2011 - Karena Berapapun Bakal Dibeli Untuk Negeri Tangsel

Entah makan apa saya semalam, pagi ini jelang subuh tahu-tahu ada wangsit mampir, gledug, jatuh di depan monitor, dan tanpa basa-basi langsung si wangsit pun berkata demikian :

wahai manusia setengah kalong,... (edan, saya dianggap codot :(

ada gosip anget mau denger nggak? saya bilang enggak, sambil ngantuk-ngantuk menahan lapar!

rupanya saya jawab begitu si wangsit murka besar, dia gertak lagi, mau nggak !!!, kalau nggak mau awas lu guwe beli baru nyaho !!!

Cilaka, begitu kena gertak seperti itu, langsung saja, nyali keder, badan gemeter apalagi perut pas laper, waduh, ampun deh, ampun banget. Bayangkan, dia mau beli saya, bayangkan dibeli, iya dibeli, bukan disewa atau dikontrak.

Pasti pada heran gitu saja kok repot,... gitu saja kok dibikin tulisan, hmmm belum pada ngerti udah pada komentar, kebiasaan lama, muntah dulu, mikir ntar, tergantung bayarannya.

Yang mau dia dibeli itu kehormatan cuy, bukan harga diri. Kalau harga diri masih bisa diukur dengan angka, misal, nasi sepiring, jeruk sebakul, mobil-mobilan, motor-motoran, bunga-bungaan dll.

Tapi kalau kehormatan? mana bisa diukur?

Nah dari pada kehormatan saya dibeli sama si wangsit galak itu, akhirnya terjadilah kesepakatan tanpa basa-basi lagi, sehingga saya tetap menjadi manusia bebas, tidak terkendali dan terkendala apapun, sementara ini.

Lalu apa sih maunya si wangsit? Yah mudah saja sebenarnya, saya diminta membuat sebuah tulisan fiktif dengan draft-draft seperti yang dia sebutkan seperti berikut :

Toipknya sih jelas Pilkada Tangsel bukan Pilgub Banten lah, masih jauh tak usah dipikirin dulu, ntar ada masanya :

  1. Gerakan pemenangan ARD bakal dikelola secara masif oleh para Anggota Dewan Tingkat Kota atau pun Provinsi, dengan mendatangi RT dan RW.
  2. Para Kandidat bersepakatan kepada para RT harga untuk satu suara, setengahnya dibayar dimuka sisanya diberikan jika setelah penghitungan, plus bonus berlebih jika TPS menang.
  3. Para RT, RW, Tokoh, Pemuda dan Lainnya yang menyatakan siap mendukung (suka rela mau pun tidak) diminta pernyataannya secara tertulis kemudian dibaiat, disumpah dunia dan akhirat bahwa dia benar-benar akan memilih dan memperjuangkan ARD. (Yang biasa main sumpah nih pasti orang Partai)
  4. Penanggung jawab TPS (Tim TPS) dijanjikan gaji selama 5 tahun, sebelumnya dikontrak hanya setahun
  5. ARD akan berakting sebagai pihak yang terzalimi, pihak yang teraniaya, sehinga belas iba diharap jatuh keharibaan.
  6. Pasukan Sakti dari Banten semua turun ke Tangsel, tim suses PSU Pandeglang lepas baju gulung celana, langsung terjun buat kemenangan ARD.
  7. Masyarakat sengaja dimobilisasi datang ke Kelurahan untuk mendaftarkan diri masuk DPT dengan imbalan Uang per KK.

Wah kan kini masa sosialisasi, nggak boleh ada yang curang-curang bisa kena dis, mosok sih ada cerita macam itu? Saya sih nggak percaya, tapi daripada kehormatan saya dia beli, mendingan iya deh aku tulis semua yang dia mau. Toh belum tentu nanti saya sempat mengarang cerita seperti yang dia mau.

Begitulah kira-kira alur cerita fiktif tentang gerakan-gerakan jelang PSU kelak dari wangsit tadi pagi, untuk sementara ini belum saya kutrik-kutrik dulu, otak sudah bundet, mata ngantuk, pinginnya tidur padahal perut laper. :(

Kalau ada yang mau komentar silahkan, kalau ada benarnya ditelan saja, kalau banyak nggak benarnya, lha namanya fiktif kok dipercaya.

Gitu dulu ya untuk sementara saya diem dulu, menunggu nasi anget, sembari ngliyep.


Pamulang, jelang pagi

(eh mau jerang air, nggak ada kopi, lalu ngapain lagi gini hari?

Minggu, 23 Januari 2011


Minggu, 23 Januari 2011

Apakabar.Web.ID - New Media Online Pro Arsid - Andre :) Bersanding dengan Media Online Pro Airin - Benyamin

Ya, saya buat judul seperti itu, karena isi media baru tersebut nampaknya memang dilahirkan khusus untuk mendongkrak popularitas pasangan Arsid - Andre di Pilkada Ulang Kelak. Kalau berita diluar itu rasanya cukup sebagai basa-basi belaka. :)

Jelang Pilkada Ulang 27 Feb 2011 kelak, dimana suhu politik di Tangsel makin marak sepihak, makin unik namun bikin panik, makin panas membara hati, akhirnya ada juga cyber browser yang berkenan membuatkan media online yang dapat membantu mendongkrak popularitas pasangan Arsid - Andre di alam maya tanpa harus berpayah-payah mendisain dan mengisinya, apalagi harus mengedarkannya pula, karena dari isi artikel yang dipajang dapat dipastikan akan ada yang dengan suka rela menyebarkan berita tersebut kian kemari.

Di era cyber dimana percaturan politik merambah alama maya, rasanya bantuan portal tersebut sangat berarti bagi pihak Arsid - Andre, sebuah terobosan penting untuk promosi, setelah saya kerepotan mendapatkan berita online mengenai pasangan AA rasanya Media New Comer ini akan begitu membantu.

Media berjuluk http://APAKABAR.WEB.ID/ tersebut menerbitkan tulisannya pertama kali pada tanggal 27 Des 2010 yang bisa terlihat jelas pada sesi About. Sedangkan register domainnya di Masterwebnet pada tanggal 24 Des 2010, dengan demikian siapapun yang berkehendak mendonasi Media tersebut, mudah sekali, tinggal kontak Masterwebnet maka pemilik domain apakabar.web.id akan didapat. Orang bilang semudah Lotus 1,2,3 . :)



Dan disamping itu bagi para user Twitter, Apakabar.web.id juga memiliki akun Twitter beralat di http://twitter.com/apakabarweb , isi postingannyapun selain dari forward portalnya sendiri, juga mengumpulkan berita dari media lain yang memberitakan pasangan Arsid -Andre.

Saya sudah membuat beberapa arsip screen-shot artikel yang ada di http://apakabar.web.id/ , dan saya simpan di album ini, http://www.facebook.com/album.php?aid=279192&id=824273705

Penasaran dengan isi beritanya?

Silahkan dilongok dan nikmati sajian-sajian yang menawan bagi pemesannya

Dan tak lupa saya ucapakan selamat dan sukses bagi webmasternya, sebuah blog news berdesign bagus dan jangan lupa artikel IJ Piliang-nya dimunculkan kembali, kini sudah ada 3 jilid, mungkin sebentar lagi terbit yang ke 4 dst.

Saya suka

:)

Pamulang, dini hari banget

(tergelitik membuat tulisan ngaco gara-gara akun twitter di add oleh @apakabarweb dan akhirnya nemu blog cakep itu )

Minggu, 23 Januari 2011



Apakabar.Web.ID - New Media Online Pro Arsid - Andre :) Bersanding dengan Media Online Pro Airin - Benyamin
cahPamulang: Apakabar.Web.ID - New Media Online Pro Arsid - Andre :) Bersanding dengan Media Online Pro Airin - Benyamin

Rabu, 19 Januari 2011

Apakah Artinya Kesenian Bila Terpisah Dari Derita Lingkungan Apakah Artinya Berpikir Bila Terpisah Dari Masalah Kehidupan - WSR

Kupersembahkan bagi para Intelektual Muda, Calon bahkan yang sudah Profesor sekalipun, semoga Rendra mampu membangunkan Anda dari kegelisahan yang membekukan kesadaran :)

Yang tidak biasa membaca sajak, bisa mendengarkan dan melihat WS Rendra kala muda di Video Youtube atau Koleksi video saya. (periksa link dibawah sana)

Enjoy, ya :)

Rendra - Sajak Sebatang Lisong

(itb bandung – 19 agustus 1978 )

menghisap sebatang lisong

melihat Indonesia Raya

mendengar 130 juta rakyat

dan di langit

dua tiga cukung mengangkang

berak di atas kepala mereka

matahari terbit

fajar tiba

dan aku melihat delapan juta kanak – kanak

tanpa pendidikan

aku bertanya

tetapi pertanyaan – pertanyaanku

membentur meja kekuasaan yang macet

dan papantulis – papantulis para pendidik

yang terlepas dari persoalan kehidupan

delapan juta kanak – kanak

menghadapi satu jalan panjang

tanpa pilihan

tanpa pepohonan

tanpa dangau persinggahan

tanpa ada bayangan ujungnya

……………………..

menghisap udara

yang disemprot deodorant

aku melihat sarjana – sarjana menganggur

berpeluh di jalan raya

aku melihat wanita bunting

antri uang pensiunan

dan di langit

para teknokrat berkata :

bahwa bangsa kita adalah malas

bahwa bangsa mesti dibangun

mesti di up-grade

disesuaikan dengan teknologi yang diimpor

gunung – gunung menjulang

langit pesta warna di dalam senjakala

dan aku melihat

protes – protes yang terpendam

terhimpit di bawah tilam

aku bertanya

tetapi pertanyaanku

membentur jidat penyair – penyair salon

yang bersajak tentang anggur dan rembulan

sementara ketidak adilan terjadi disampingnya

dan delapan juta kanak – kanak tanpa pendidikan

termangu – mangu di kaki dewi kesenian

bunga – bunga bangsa tahun depan

berkunang – kunang pandang matanya

di bawah iklan berlampu neon

berjuta – juta harapan ibu dan bapak

menjadi gemalau suara yang kacau

menjadi karang di bawah muka samodra

……………………………

kita mesti berhenti membeli rumus – rumus asing

diktat – diktat hanya boleh memberi metode

tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan

kita mesti keluar ke jalan raya

keluar ke desa – desa

mencatat sendiri semua gejala

dan menghayati persoalan yang nyata

inilah sajakku

pamplet masa darurat

apakah artinya kesenian

bila terpisah dari derita lingkungan

apakah artinya berpikir

bila terpisah dari masalah kehidupan

Pamulang, dini hari

(pegel banget sudah)

Rabu, 19 Januari 2011

Link Terkait :


Begitu Phobinya Para Anti Arsid -Andre Di Pilkada Tangsel Apalagi Jelang PSU 27 Februari 2011. Lha Kok Begitu?

Agak mengherankan para anti Arsid Andre yang ternyata banyak sekali dari kalangan Intelektual Berpengalaman, Profesional Perlente, Pengusaha Kakap Bukan Cere, Ormas/LSM Skala Gede, Profile Terpampang Lebar berGelar Segudang, ternyata mengusung isu-isu dibawah Stadard Penampilan, jungkir balik logika argumennya :

Anti Andre :

  1. Mencari nafkah buat ngongkosin hidup dan nombok kampaye agar menang kok dipermasalahkan?
  2. Artis nglawak yang kelak bakal jadi pemimpin dan dikehendaki kok dinajiskan?
  3. Salam 3 jari anak-anak metal yang sudah sejak dulu ada kok jadi phobi berkepanjangan.
  4. Ganteng dan jadi idola wanita, remaja, anak sampai kakek nenek kok disirikin
  5. Muda dan berpendidikan kok diragukan

Anti Arsid :

  1. Dua kali jadi camat kok dianggap tak berkemampuan
  2. Berpasangan dengan Andre mendulang simpati kok pada kliyengan
  3. Berhutang untuk mendulang kemenangan kok dianggap ngemplang
  4. Disokong orang karena meluasnya dukungan kok pada nggak senang
  5. Masuk koran karena kampanye hitam lawan kok pada berang

Mereka para Anti Arsid - Andre nampak nian beban psikologis yang diemban, apakah mungin karena selama ini hidupnya dalam kepura-puraan, hidup bergantung suapan juragan, hidup dengan banyak tuntutan, hidup hanya karena adanya kepentingan, sehingga saat ada jalur untuk meng-ekspresikan diri seolah lupa pada jati diri? Tapi mengapa harus ditimpakan keorang lain? Mengapa harus ke Arsid - Andre? Mengapa untuk mencapai puncak kepuasan harus menghitamkan pihak lain?

Bukankah bila Arsid - Andre menang kelak di PSU 27 Feb, mereka akan mejadi pemimpin kalian semua? Menata Tangsel dan Membangunya untuk kalian semua?

Lha kok gitu ya kalian ini?

Dilanjut dengan "kok" yang lainnya kalau masih ada, eh kalau ada yang mau nambahin silahkan lho :)

Pamulang. jelang Ashar

(saya menulis tentang Airin kok pada sakit hati dianggap Kampenye Hitam)

Selasa, 18 Januari 2011



The Conspiracy Theory di Pilkada Ulang (PSU) Tangsel Seberapa Mudah Tertebaknya Atau Begitu Mudahnya Ditebak?

Konspirasi Teori yang dapat ditebak adalah bukan sebuah Konspirasi, seseorang atau kelompok yang merasa dia adalah sipembuat konspirasi hanyalah bagian yang dilibatkan dalam konspirasi tersebut. (itu persepsi saya saat si Mel dialog dengan si Jul) Kalau dari wikipedia sih ada seperti ini : http://en.wikipedia.org/wiki/Conspiracy_theory

Semalam lihat film The Conspiracy Theory, Mel Gibson dan Julia Robert, cukup menarik, perihal orang yang dijadikan mesin pembunuh, namun nuraninya berbalik, membela orang yang akan dibunuh, sayangnya dia gagal mengamankanya, hingga akhirnya dia diburu oleh yang menyuruhnya karena dianggap khianat. Rupanya menjadi mesin bagi orang lain itu tak dia rasakan, kecuali saat kata hati berbicara, semua dapat berubah. :)

Lalu adakah hubungannya dengan Pilkada Tangsel ini? Ya nggak adalah yang ada cerita mengenai BIllboar PJTS dirusak oleh robot-robot tak berotak.

:)

Masih tidak percaya?

Baiklah nanti saya lanjut nulisnya setelah selesai urusan dengan pak Bayu Saylendra

Sementara saya berikan Clue-nya melalui beberapa link ini :

Pamulang, jelang siang

Senin, 17 Januari 2011



Mencoba Memahami Kolumnis Terkenal IJ Piliang Saat "Menulis Airin (3)"

Lanjutan dari : Mencoba Memahami Kolumnis Terkenal IJ Piliang Saat "Menulis Airi (2)" http://www.facebook.com/note.php?note_id=488710687342

Menulis Airin (3)

http://www.indrapiliang.com/2011/01/14/menulis-airin-3/

oleh: Indra J Piliang*)

Ternyata “Menulis Airin (1)” dan “Menulis Airin (2)” mendapatkan respons khusus di website saya (www.indrapiliang.com). Muncul tanggapan pro-kontra. Selama argumen-argumen yang dibangun bersifat saling memberi informasi, bagi saya tidak ada masalah. Bahkan yang menyerang secara personalpun lewat kata dan kalimat sudah bukan persoalan lagi. Kata-kata setajam apapun tidak akan berbentuk kepal tangan yang menghunjam ke dagu, bukan?

Saya tak yakin serial tulisan tentang Airin ini akan memberi pengaruh besar. Tapi, sekecil apapun, saya tetap mencoba untuk menunjukkan bahwa politik butuh prinsip-prinsip dasar yang tak berubah. Mau tidak setuju dengan Airin sekalipun, tidak ada masalah, asalkan dengan argumentasi yang terukur. Manusia boleh berganti dalam politik, tetapi prinsip-prinsip dasar mestinya sama.

Tanggapan yang masuk menyebut Airin sebagai perempuan. Argumentasi yang dulu digunakan untuk menolak Megawati Soekarno Putri. Juga dulu digunakan untuk menolak Gubernur Atut. Padahal, sejarah Indonesia sendiri tidak mengenal diskriminasi dalam politik.

Sebagai contoh, ketika pemilih di Amerika Serikat baru mulai menyuarakan hak pilih terhadap perempuan pada akhir tahun 1960-an, perempuan Indonesia sudah memilih pada pemilu 1955. Sampai tahun 1970-an dan 1980-an, pemilih perempuan Amerika Serikat masih tetap berjuang di sejumlah negara bagian. Sekalipun jauh lebih lama merdeka, Amerika Serikat masih mengalami diskriminasi, bukan hanya terhadap perempuan, melainkan juga kulit hitam.

Jadi, agak aneh kalau mempersoalkan (lagi) keperempuanan Airin dibandingkan dengan kandidat laki-laki lain. Kata orang-orang tua di Minangkabau: kalau mau menyalakan lilin, jangan matikan lilin orang lain. Dr Syahrir almarhum pernah mengungkap: janganlah mengutuk kegelapan, mulailah menyalakan lilin. Lilin yang banyak akan membawa terang, asal jangan sampai membawa kebakaran.

Bagi saya, Airin adalah sosok lilin yang menerangi dunia politik yang “gelap” dengan hegemoni kaum laki-laki. Ketika pemerintahan berjalan, jarang kandidat perempuan yang terpilih terjebak dalam perilaku-perilaku yang dituduhkan ke politisi. Misalnya: korupsi. Data-data menyebutkan, jarang sekali politisi perempuan yang terkena kasus korupsi. Entah bagaimana, kaum politisi perempuan lebih mampu menjaga diri, ketimbang politisi laki-laki.

Keunggulan politisi perempuan, dibanding laki-laki, mestinya memunculkan semangat bagi pendukung Airin. Atau tidak membuat pendukung pasangan yang lain menggunakan kampanye yang bersifat negatif terhadap kaum perempuan. Kalau ada yang melakukan itu, saya kira mereka sedang mempraktekkan pola Malin Kundang dalam politik. Ketika disumpahi ibunya, Malin Kundang berubah menjadi batu. Malin-Kundang-i politik banyak terjadi akhir-akhir ini.

***

Tangsel adalah kota. Sebagai kota, Tangsel memiliki ciri-ciri sebagai masyarakat urban. Individualisme begitu kuat, dibandingkan dengan komunalisme atau sistem kekerabatan. Banyaknya kawasan perumahan memang membawa dampak kepada semakin eratnya hubungan warga bertetangga. Inisiatif warga menjadi penting. Begitupula, peranan dari pihak swasta dan masyarakat sipil juga kuat. Pemerintah, dalam level ini, barangkali lebih banyak menjadi pelayan kepentingan publik.

Nah, pelayanan itu menyangkut fasilitas umum dan fasilitas sosial. Pemeliharaan terhadap ruang publik (public sphere) menjadi penting. Dalam konteks itu, setiap proses pengambilan keputusan sepatutnya mendapatkan masukan dari publik. Dialog lebih penting, ketimbang monolog. Dominasi dan hegemoni adalah petaka.

Maka, bicara soal urban, jadi agak rumit melihat cara menolak Airin dengan alasan “Tangsel Pilih Tangsel”. Bukankah penolakan atas Airin juga karena logika “Airin adalah bagian dari Monarki Banten”? Cara berkampanye seperti itu jelas akan membawa perspektif kedaerahan yang kuat atau tribalisme baru di dalam wadah masyarakat kota.

Padahal, Tangsel berbeda dengan Pandeglang atau Lebak. Tangsel lahir sebagai sebuah ruang publik yang datang dari beragam suku bangsa di Indonesia. Kehadiran universitas di Tangsel makin menambah tinggi “maqam” Tangsel, dibandingkan dengan wilayah saya di Sumatera Barat Dua, misalnya. Sekalipun Sumbar Dua yang meliputi delapan kabupaten dan kota itu menghasilkan banyak pahlawan kemerdekaan, sampai sekarang tidak ada universitas yang dikenal bonafid. Universitas Andalas, misalnya terletak di Sumbar Satu.

Bagi saya, aneh sekali kalau ada intelektual yang mencoba membawa unsur “kebantenan” dalam kaitannya dengan pilkada Tangsel. Apalagi kalau sampai melibatkan unsur kampus dengan alasan “kebantenan” itu. Berbeda dengan intelektual Yogya yang membawa soal keistimewaan, bagi saya Tangsel tetaplah menjadi satu daerah yang memiliki ciri-ciri yang sama dengan daerah lain, termasuk dari sisi hak dan kewajibannya.

***

Kita sedang menata demokrasi di Indonesia. Apapun yang terjadi di Aceh, misalnya, akan memberi dampak kepada Papua. Cara kita menghadapi persoalan di Bali, akan berimbas kepada reaksi masyarakat Bengkulu. Identitas-identitas kedaerahan atau apa yang dikenal sebagai “politik identitas”, bukan semakin hilang seiring dengan kebebasan informasi. Kalaupun ada perbandingan, biasanya orang-orang bertanya: kenapa di sana berbeda, kenapa di sini tidak?

Maka agak menggelisahkan dan menggelikan apabila cara menolak Airin digunakan di tempat-tempat lain. Bisa-bisa keindonesiaan akan lenyap. Apalagi, publik tahu bahwa tokoh-tokoh yang berada di balik itu merupakan figur publik. Status itu tidak akan lepas, mau di manapun tempatnya.

Saya termasuk orang yang tidak terlalu banyak melibatkan diri dalam pilkada demi pilkada di Indonesia. Kecuali di Sumatera Barat, di daerah lain jarang. Perhatian terhadap isu-isu nasional jauh lebih penting dewasa ini, ketimbang satu demi satu memelototi daerah per daerah.

Tapi, sekali lagi, soal Tangsel ini unik. Fakta persidangan Mahkamah Konstitusi juga menunjukkan bahwa yang melakukan money politics adalah pasangan lain (juga) di luar Airin. Hanya saja, Airin terlanjur disebut dengan stigma negatif. Bagi saya, hal itu sama sekali tidak adil. Sama seperti kurang adilnya sikap awal saya yang diam-diam mengharapkan pertarungan sengit antara Airin melawan lawan-lawannya.

Dulu, ketika pilkada DKI Jakarta, sebelum ke TPS saya dan istri sepakat untuk memilih Fauzi Bowo. Alasan saya: “Fauzi Bowo adalah ‘menantu’ CSIS”. Waktu itu, saya masih bekerja di CSIS sebagai analis politik dan perubahan sosial. Nah, di TPS, pilihan saya berubah. Alasannya: kalau Fauzi Bowo menang mutlak, maka hegemoni akan datang. Harus diberikan perlawanan. Maka, Adang Dorodjatun menjadi pilihan.

Pas keluar dari TPS, saya tanya istri: “Kamu milih siapa?” Eh, istri saya juga ternyata memilih Adang. Saya menganggap, pilihan saya dan istri yang berubah di dalam TPS itu sebagai “kesadaran etis” dengan nalar yang tiba-tiba datang. Itu juga pikiran diam-diam saya atas Airin dan Tangsel.

Kini, saya kira “kesadaran etis” itu kurang tepat lagi. Kurang bertanggungjawab. Spekulatif. Kalau memang pikiran objektif menunjukkan bahwa Airin memiliki keunggulan dibandingkan dengan yang lain, kenapa harus berubah pada detik-detik terakhir. Jangan sampai keterombang-ambingan kelas menengah justru membuat agenda-agenda pembangunan Tangsel ke depan justru terbengkalai. Emosi sesaat saja ternyata tidak cukup untuk kepentingan (politik) jangka menengah dan panjang... Semoga.

Jakarta, 14 Januari 2011

*) Pernah menjadi warga Kabupaten Tangerang (hehe)

Pamulang, ba'da Subuh

Selasa, 18 Januari 2011



Mencoba Memahami Kolumnis Terkenal IJ Piliang Saat "Menulis Airin (2)"

Lanjutan dari : Mencoba Memahami Kolumnis Terkenal IJ Piliang Saat "Menulis Airi (1)" http://www.facebook.com/note.php?note_id=488339117342

Menulis Airin (2)

http://www.indrapiliang.com/2011/01/11/menulis-airin-2/

Oleh Indra J Piliang*)

Artikel yg saya tulis Desember 2010 lalu “Menulis Airin (1)” ternyata memicu reaksi. Airin yag saya maksud adalah Airin Rachmi Diany. Menurut websitenya, Airin lahir tanggal 28 Agustus 1976 di Banjar. Lebih muda empat tahun dari usia saya yang bulan April tahun ini 38 tahun. Beda lagi, Airin seorang perempuan. Di dunia politik yang ganas, kehadiran seorang perempuan adalah anomali.

Tapi tidak untuk Banten. Gubernur Banten adalah seorang perempuan. Ada hubungan kekeluargaan dengan Airin, yakni sebagai kakak ipar. Irna Narulita, seorang calon bupati di Pandeglang, juga seorang perempuan yang merupakan istri bupati sebelumnya. Sepertinya, Banten tidak terlalu bermasalah dengan kaum perempuan di politik.

Nah, hal ini berbeda dengan Sumatera Barat. Jarang sekali calon kepala daerah, ataupun wakilnya, dari kelompok perempuan. Anomali betul-betul terjadi di daerah yang dikenal sebagai salah satu soko guru demokrasi ini. Sekalipun menganut sistem matrilineal, secara politik dan pemerintahan tetap saja sulit melihat kehadiran perempuan di dalam pilkada di Sumatera Barat.

Lho, kog Sumbar? Kembali ke Airin, kenapa Ia dipersoalkan? Bagi saya, Ia terlalu “dikemas”. Atau memang fotografer yang menemani bukanlah fotografer profesional? Waktu pileg 2009, saya selalu ditemani oleh fotografer pemula. Mereka menggunakan kamera yang saya beli, sambil belajar. Banyak yang baru sekali memegang kamera. Kamera menjadi rusak, hasil foto tak bagus juga. Ya, resiko.

Saya yakin, Airin tak akan kesulitan untuk menerima kehadiran sejumlah fotografer profesional. Dan itu akan sangat membantu bidikan-bidikan kameranya. Kehadiran sosok yang nyata akan lebih terlihat dan memikat, di tengah masyarakat urban yang semakin kehilangan humanitasnya. Pengemasan yang berlebihan justru menyebabkan Airin hanya sekadar manekin. Kecuali Airin menempatkan diri sebagai artis profesional, tidak masalah hanya memperlihatkan wajah yang elok di tengah publik. Wajah tanpa keringat.

***

Persoalan monarki menjadi penting setelah presiden Susilo Bambang Yudhoyono berbicara soal Yogyakarta. Namun, dibalik itu semua, hampir seluruh pembicaraan politik dalam pileg dan pilkada menyangkut masalah kedaerahan. Termasuk Tangsel. Persoalan “monarki Banten” muncul dibalik upaya menolak Airin.

Padahal ada yang salah dengan isu monarki, ketika hak kewarganegaraan di Indonesia sudah selesai diperdebatkan. Baik ius soli (hak menjadi warga negara karena wilayah, misalnya karena lahir di Indonesia) maupun ius sanguinis (hak menjadi warga negara karena faktor keturunan, misalnya anak dari ibu dan bapak Indonesia) tidak menjadi persoalan di Indonesia. Bukankah Christian Gonzales tetap pahlawan timnas Indonesia dalam Piala AFF yang lalu? Namanya naturalisasi, bahkan diluar skema ius soli dan ius sanguinis.

Indonesia adalah kebudayaan yang hanyut. Terletak di titik persimpangan yang penting di planet bumi, Indonesia menjadi tempat mampir dan menetap dari beragam manusia dan budaya. Bahkan buku Denys Lombard diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Nusa Jawa, Silang Budaya” untuk menunjukkan betapa persoalan Indonesia bukanlah sukuisme sempit. Tak terkecuali Banten. Tak terkecuali Tangsel.

Maka, kompetensi jauh lebih penting untuk diperhatikan, ketimbang menyoal faktor-faktor lain untuk jabatan publik seperti Walikota atau Bupati. Akan sulit bagi seorang Barack Obama menjadi presiden Amerika Serikat, ketika seluruh subkjektifitas dirinya menjadi pertimbangan. Obama dipilih justru karena American Dreams itu lebih mampu diwujudkan seorang Obama, ketimbang lawannya.

Jadi, ketika kawan-kawan saya di Tangsel sana bereaksi bahwa “dosa” Airin adalah menjadi bagian dari keluarga besar Gubernur Banten sekarang, saya menjadi ragu dengan mana yang beras, mana yang nasi. Ketika pertimbangan-pertimbangan genetik muncul sebagai alasan penolakan, rasionalitas politik justru menjadi hilang. Cara-cara seperti ini apabila dipakai di tempat lain, justru akan sangat membahayakan demokrasi itu sendiri.

Kenapa tidak berterus terang saja bahwa ada kepentingan ekonomi politik dibalik dukungan terhadap kandidat di luar Airin? Saya kira kita sudah sama-sama belajar dalam banyak pemilu dan pilkada, betapa transparansi itu jauh lebih penting untuk menjaga kepercayaan publik. Nah, untuk kepentingan itu kita berdiri dalam setiap kesempatan berdemokrasi. Kalau digulung lagi dengan argumen-argumen diluar itu, kita justru akan berpikir lagi untuk mencoba menggunakan “sistem” yang lain.

***

Tangsel jelas membutuhkan kerjasama dengan daerah-daerah lain. Jangankan dengan Banten, Tangsel membutuhkan kerjasama dengan Jakarta dan Jawa Barat. Sentimen “Anti Banten 1” yang dibangun untuk menolak Airin jelaslah akan membuka persoalan bagi siapapun yang terpilih, baik Airin atau bukan. Bagaimana bisa Walikota menjalankan begitu saja tugas-tugasnya, kalau tak bekerjasama dengan gubernur atau dengan pemerintah pusat, misalnya?

Ada yang mengatakan bahwa artikel “Menulis Airin (1)” berpihak. Ya, jelas sekali berpihak. Saya sudah jelaskan alasan-alasannya, terutama karena ada sentimen-sentimen yang kurang layak bagi negara demokrasi sebesar Indonesia. Dan saya politisi, jelas memiliki hak untuk berpihak atau tidak berpihak. Namun, sedari awal, keberpihakan saya tentu berdasarkan penalaran. Argumentasi menjadi hal penting bagi politisi Indonesia, tidak terkecuali saya.

Marissa Haque saja dalam blognya mendukung Andre, kenapa saya tidak mencoba memberikan alasan-alasan pembanding bagi kelompok masyarakat sipil yang berpolitik di Tangsel untuk Airin? Apalagi saya mendengar bahwa kawan-kawan saya yang pengamat atau kaum intelektual itu mengatakan “di luar boleh jadi pengamat, di Tangsel tidak”. Itu kalimat yang kabur juga, karena pengamatan para pengamat adalah bagian dari sikap politik juga. Di bawah langit tidak ada yang benar-benar netral atau bebas nilai.

Maka, mari berpikir secara lebih jernih lagi, bahwa saya boleh berpendapat soal Airin, sebagaimana para pengkritik “Menulis Airin (1)” juga berpendapat. Bukankah semakin banyak warga kampus memasuki kehidupan politik praktis dewasa ini? Entah sebagai penasehat, konsultan, maupun panitia rekrutmen pejabat-pejabat negara, termasuk pegawai negeri sipil. Politik jelas bukan sekadar menjadi politisi saja. Bahkan tidak memilih atau golput adalah bagian dari sikap politik.

Begitu juga di Tangsel. Mempertanyakan posisi saya ketika menulis soal Airin adalah keliru, apalagi dikaitkan dengan hubungan pribadi saya dengan teman-teman yang mendukung Andre. Sejak di bangku kecil, terutama pas kuliah saya diajarkan untuk saling berbeda pendapat, apapun pilihan masing-masing. Berpendapat justru lumrah dalam demokrasi. Demokrasi akan hidup dengan pendapat demi pendapat, bukan diam demi diam.

Feodalisme justru akan membakar demokrasi, ketika perayaan hanya sekadar keheningan.

*) Agar identitas jelas, sebut saja IJP itu sebagai tim sukses Airin tanpa surat penugasan, Puas?

Jakarta, 11-01-2011

Pamulang, ba'da Subuh

Selasa, 18 Januari 2011



Mencoba Memahami Kolumnis Terkenal IJ Piliang Saat "Menulis Airin (1)"

Sampai kini sudah ada 3 (tiga) tulisan beliau tentang Airin :

  1. http://www.indrapiliang.com/2011/01/10/menulis-airin-1/
  2. http://www.indrapiliang.com/2011/01/11/menulis-airin-2/
  3. http://www.indrapiliang.com/2011/01/14/menulis-airin-3/

Setelah saya pahami, kelak akan saya respons untuk melatih penalaran saya

"Menulis Airi (1)"

Oleh : Indra J Piliang, Kolomnis, Politisi & Aktivis

Saya tak kenal Airin. Pengetahuan saya tentangnya terbatas lewat pemberitaan media, sejak pilkada Tangerang. Yang saya tahu, Airin dikenali oleh banyak petinggi partai politik. Mungkin karena itu Airin didukung oleh banyak partai dalam pilkada di Kota Tangerang Selatan. Pernah saya melihat seorang petinggi partai memperlihatkan hasil survei yang tinggi untuk Airin, sebelum pilkada Kota Tangerang Selatan digelar.

Makanya, saya tak begitu khawatir bahwa Airin akan kalah. Secara diam-diam, saya mengikuti dari jauh pergerakan kawan-kawan aktivis yang menolak Airin di twitter. Mereka adalah tokoh-tokoh yang saya kenal lama, mulai dari jurnalis, peneliti, surveyor, profesional, pengamat politik, sampai kalangan Islam liberal yang terkenal aktif itu. Diam-diam, saya respek kepada mereka dan berharap ada perlawanan keras terhadap Airin.

Saya juga ikuti pergerakan petinggi-petinggi partai. Sebagai “gerilyawan politik”, saya tahu bahwa kehadiran elite politik di panggung kampanye tak signifikan dampaknya. Bahkan, kehadiran elite politik bisa jadi akan memberi beban kepada panitia atau tim lokal. Bukannya melayani kepentingan konstituen dalam panggung-panggung kampanye, malahan tim pilkada lokal sibuk menyambut “tokoh-tokoh Jakarta” itu. Sirine dan Satgas akan menjauhkan massa dari para elite itu.

Nah, ketika hasil pilkada Tangerang Selatan diumumkan, saya terkejut. Airin hampir kalah dari Andre (vokalis Stinky & pemain Opera Van Java). A vs A. Saya tak menghitung Arsyid, karena memang bukan sosok yang dikenali publik secara luas. Bagaimanapun, pilkada Kota Tangsel adalah satu dari sedikit “pilkada nasional” yang disoroti publik. Pilkada menjadi nasional tatkala disoroti lebih luas oleh pers nasional. Waktu saya mendukung sejumlah kandidat dalam pilkada di Sumbar, jarang ada perhatian media massa nasional.

***

Airin hanya menang sekitar 1000 suara dari Andre. Sejak demokrasi liberal diperkenalkan, sejumlah kepala daerah muncul dari kalangan artis. Andre adalah generasi ke sekian yang mencoba peruntungan. Sebelumnya yang berhasil adalah Dede Yusuf di Jawa Barat dan Rano Karno di Banten. Artis yang penuh improvisasi akan menghadapi regulasi dan birokrasi yang lebih ketat.

Tapi, banyak juga yang gagal. Marissa Haque -- yang di-blognya ternyata pendukung Andre--, memberikan perlawanan hebat sebagai calon wakil gubernur Banten. Dan sejumlah yang lain. Dalam pemilu lalu, misalnya, Jeremy Thomas tidak berhasil sampai di Senayan, begitu juga Adrian Maulana. Mereka populer, tetapi terjun langsung di lapangan politik jelas melebihi dari hanya sekadar popularitas.

Saya saja yang (mantan) pengamat politik “nasional” ternyata masih ayam sayur di kalangan politisi lokal. Gaya kampung masuk kampung demi kampung bagi mereka adalah kampungan. Mereka lebih bergaya, sehingga tampil sebagai caleg DPR RI dengan naik ojek bagi mereka adalah keanehan. Kata mereka, seorang caleg DPR RI haruslah parlente, menaiki mobil mahal dan dikawal oleh sosok-sosok yang rapi. Bukan seperti tim yang saya bentuk yang sebagian besar tidak tamat sekolah dasar.

Politik adalah persepsi. Dari sisi ini, Airin tidaklah kalah dari Andre. Airin juga artis dari sisi kegiatan sosialnya, yakni menjadi aktivis lingkungan dan kesehatan. Hanya saja, terlihat lebih struktural, dalam arti memasuki organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan. Tipe organisatoris ini tentu lebih kaku dalam berhadapan dengan masyarakat, sekalipun lebih mengerti persoalan-persoalan yang sebenarnya.

Ketika Airin hanya menang sekitar 1000 suara itu, saya menduga telah terjadi situasi ketergantungan Airin dan Tim kepada organisasi struktural pendukung, ketimbang langsung berhubungan dengan masyarakat. Saya sempat melintasi Tangerang Selatan untuk keperluan keluarga. Begitu banyak baliho Airin dan bahkan siarannya di radio-radio lokal justru menjadikan Airin over-pencitraan.

***

Lalu, muncul satu persoalan lagi, ketika Mahkamah Konstitusi yang sedang dirundung masalah membatalkan hasil pilkada Kota Tangerang Selatan. Pilkada harus diulang. Yang menjadi persoalan, sejumlah pertimbangan hakim menyangkut persoalan yang sama sekali tidak terkait kandidat, melainkan keterlibatan birokrasi dalam memenangkan pasangan calon. Airin disebut dalam amar putusan, namun Airin dan pasangannya tidak didiskualifikasi.

Airin jelas bukan pejabat negara. Kalau ada kesalahan dari pihak lain yang memberikan dukungan kepadanya, apakah Airin layak dihukum? Saya menjadi tergerak hati untuk melibatkan diri dalam persoalan ini. Bagi saya, kejadian seperti ini tidak boleh lagi terulang. Keadilan bukanlah terletak dari seberapa banyak kebencian diberikan kepada orang yang memiliki kelebihan, tetapi seberapa objektifkan hukum bekerja tanpa ada prasanka.

Saya mulai bertanya kepada sejumlah orang, terutama dari pihak pendukung Andre. Rata-rata mereka mengatakan tidak melihat kepada kualitas Andre, melainkan Airin datang dari keluarga “kerajaan” atau “dinasti” Banten. Keluarga dalam arti menjadi menantu. Ironis, menjadi menantu sebuah keluarga kini juga menjadi masalah di negeri ini.

“Ndra, Andre itu dapat durian runtuh saja. Kualitasnya tidak lebih baik dari Airin”, begitu kata dari seorang aktivis yang saya temui. Kawan baik saya yang sederhana ini terkenal kritis. Bahkan beberapa kali saya berdemonstrasi dengannya, bahkan tahun 2010 ini.

Artinya, Airin memang mendapatkan perlawanan bukan karena kualitas pribadinya, tetapi lebih kepada perlawanan atas status sosialnya. Dan hal seperti ini terus dieksploitasi oleh lawan-lawan politiknya. Saya mulai menyadari bahwa bukan intelektualitas yang dikedepankan oleh kelompok yang merasa kelas intelektual itu, tetapi malahan sentimen-sentimen baru yang negatif hanya karena status sosial. Kenapa status sosial begitu mengganggu, di negara yang sedang merayakan demokrasi ini?

Ah, saya merasa pernah seperti itu. Andai saya tak terjun ke politik praktis, barangkali saya akan tetap memakai kacamata kuda dan berkotbah di atas gunung tinggi. Dan karena itu saya menulis Airin. Bagi saya, kualifikasi seorang Airin tidak harus dirata-ratakan dengan kelompok lain. Kalau Airin lebih unggul dari Andre, memang kenapa? Kenapa tidak diadu saja, termasuk dalam akting di Opera Van Java, misalnya?

Jakarta, Desember 2010

Pamulang, jelang Ashar

Senin, 17 Januari 2011



Benarkah Aru Wijayanto (AW) Menutup Akun FB-nya Karena Terprovokasi cahPamulang? Bukan Karena Merasa Terintimidasi? (4)

Melanjutkan tulisan berkait berikut :

Benarkah Aru Wijayanto (AW) Menutup Akun FB-nya Karena Terprovokasi cahPamulang? Bukan Karena Merasa Terintimidasi? (1) (2) (3)

  1. http://www.facebook.com/note.php?note_id=487824347342
  2. http://www.facebook.com/note.php?note_id=488294387342
  3. http://www.facebook.com/note.php?note_id=488330222342

Akhirnya setelah tak berpengharapan menemukan enaknya tulisan sdr Aru Wijayanto yang berjudul "Menulis Andre Taulany", ternyata tak disangka tak diduga, ada yang beri saya copy tulisan tersebut. Kata orang kalau rejeki sudah digariskan tak bakal luput dari yang bakal pegang. Terimakasih ya, karena bagian dari misiing link tersebut kini sudah tidak missing lagi, sehingga rekaman Sejarah Lahirnya Negeri Tangsel dalam catatan saya dapat terlengkapi.

Berikut tulisan yang saya maksud, tidak dilebihi tidak dikurangi, bagi saya gaya tuturnya gitu banget, gitu loh,, (hehe bocah gaul mode on entah nulisnya bener nggak nih)

Menulis Andre Taulany

Saya tak kenal Andre Taulany secara pribadi. Yang saya tahu, Andre—kandidat wakil walikota Tangerang Selatan yang berpasangan dengan Arsid—adalah seorang musisi yang belakangan menjadi komedian. Saya menulis ini karena banyak pihak—terutama lawan politik—sering menghantam Andre sebagai sosok artis yang hanya ikut-ikutan terjun dalam dunia politik tanpa didukung “kompetensi”. Boleh saja berpendapat demikian, meski pada akhirnya kita—yang mendukung maupun yang tidak mendukung--terheran-heran dengan hasil pilkada pada 13 November silam.

Bagi saya, hasil perolehan suara Arsid-Andre—terlepas dari persoalan-persoalan yang ada pada saat itu--seakan-akan memberi gambaran bahwa sebenarnya warga Tangerang Selatan sedang berteriak: “Birrul, biddam, li ajlik ya Andre…” (darah kami, jiwa kami, untukmu ya Andre…). Berlebihan? Boleh saja menganggap begitu, meski, Insya Allah sih tidak—walau bukan dalam pemahaman “darah” secara harfiah. Kita tahu, sebagai selebriti, Andre tak dipenuhi dengan gosip murahan, seperti perselingkuhan maupun hal buruk lainnya.

Sebab itu bagi saya, ibarat kendaraan, Andre adalah jenis sepur: jalannya jelas, tidak plintat-plintut, dan tidak bisa menyalip di tikungan atau langsir dadakan. Agaknya sikap itu dulu yang perlu diletakkan di depan bila kita mau bicara “kompetensi”, di samping pada akhirnya kita semua bisa belajar. Toh, demokrasi dibutuhkan bukan karena dari sistem itu lahir bermacam-macam kejeniusan, melainkan karena ia adalah proses belajar bersama yang tak habis-habisnya: sebuah pemahaman yang bermula dari kesadaran bahwa tiap manusia punya kekurangan. Toh, dalam debat kandidat di Metro TV Oktober 2010 telah terbukti, kita tahu: mana kandidat yang bodoh, dan mana yang takut berdebat. Jelas, itu bukan Andre, atau Arsid.

Meski demikian, bolehlah kita melihat sedikit pengalaman Ali Sadikin, bekas Gubernur DKI Jakarta. Bang Ali diangkat menjadi gubernur tak lama sebelum Presiden Soekarno dijatuhkan, ketika Jakarta dihuni lima juta manusia yang begitu beraneka-macam dan berantakan. Tapi, ia harus mampu membenahi. Pada masa-masa itu, puluhan bus kota menggunakan jalan di sekitar Lapangan Banteng sebagai tempat mangkal dengan calo menguasai lalu lintas penumpang. Kekacauan terjadi saban hari. Pada suatu waktu, Ali Sadikin datang mendadak. Ia menegur. Ketika ia menghadapi seorang calo yang rupanya menjengkelkannya, ia pun mengayunkan tinju. Orang itu terjerembap.

Tapi ada satu hal yang membuat Ali Sadikin tak dibenci: ia tak segan meminta maaf kepada siapa pun. Sebagai manusia, ia bisa melihat kelemahannya sendiri dan kelemahan orang lain. Ali Sadikin paham benar, orang yang cari nafkah dengan kasar dan kacau itu bukan oknum yang sungguh-sungguh bersalah. Ia (hanya) perlu lebih sabar. Sebab yang bersalah adalah kemiskinan. Maka ia pun mencari solusi: dibangunlah sebuah stasiun bus yang bagus dan rapi di Lapangan Banteng. Para bekas calo diberi pekerjaan. Kekacauan lenyap.

Di sinilah, Bang Ali terlihat begitu berkuasa, punya rasa percaya diri tinggi, tak gentar mendengar kritik, tapi ia juga bersedia meminta maaf dan mengoreksi kesalahannya sendiri. Ia pada akhirnya “belajar” menyadari bahwa mengurus kota tak sama dengan mengurus barak KKO, maka cepat atau lambat, ia harus berhenti dari kebiasaannya membentak dan menggebrak meja. Saya rasa di sinilah letak perbedaannya ketika sebuah kota memiliki seorang “pemimpin” atau seorang “pejabat”. Seorang pemimpin harus siap dan siap untuk belajar dari kekurangannya—bahkan untuk manusia “sekelas Bang Ali”.

Toh, jauh-jauh hari Kant pernah menulis, “Dua hal yang memenuhi pikiranku dengan rasa takjub dan terkesima: angkasa yang penuh bintang di atas sana dan hukum moral nun dalam diri manusia”. Filsuf Jerman yang dimakamkan di Kota Kaliningrad itu memperlihatkan keterbatasan manusia tapi juga kelebihannya. Manusia begitu terbatas, begitu tak mampu untuk mengetahui semuanya dan bisa keliru, namun dalam posisi itu, kita toh dapat, bila kita mau, menciptakan sesuatu yang baik bagi sesama. Di sinilah kekuatan manusia: kita percaya bahwa kebaikan bisa menular sehingga transformasi personal akan diikuti dengan transformasi sosial.

Maka sangat masuk akal—meski tetap menakjubkan--bila perolehan suara Arsid-Andre nyaris menyamai suara Airin-Benyamin. Sebuah perolehan suara yang membungkam kepongahan kekuasaan dan partai-partai besar; membongkar kenyataan bahwa sesungguhnya telah terjadi realitas disconnect electoral antara “wakil” dengan yang “terwakili”—hingga kebijakan partai tidak berbanding lurus dengan keinginan konstituen. Mestinya kita sadar, bila “perjuangan politik” tak berangkat dari nilai kebenaran dan keadilan yang berlaku bagi siapa saja, maka bagaimana ia bisa menggugah orang banyak, mengajak, untuk mendukungnya?.

Saya rasa, yang menarik di situ adalah situasi bahwa sesungguhnya partai (besar) tak tahu banyak tentang perjalanan hidupnya sendiri. Berkobar-kobar saat kampanye, juga berbicara atas nama rakyat, pada akhirnya harus menghadapi situasi yang terasa “sia-sia”: kenya­taan bahwa (sebenarnya) rakyat tak mendengarkan hiruk-pikuk itu. Politisi berkendaraan besar itu tak sadar, dalam keadaan tertindas, orang tak hanyut dalam diam. Ia akan bergerak, meletakkan diri sebagai subyek: bertindak.

Inilah yang terjadi. Andre, juga Arsid, dengan gayanya yang santai, rileks, ternyata lebih mampu menyapa dan menyatu dengan masyarakat. Keduanya bukan tipe pemimpin yang ketika bepergian dikawal tiga atau empat mobil lain: bukan tipe juragan. Saya rasa, Andre tahu benar, karena tak seorang pun ingin ketakutan, dan tak seorang pun boleh dibiarkan ketakutan, maka ia harus ikut mencalonkan diri menjadi salah satu kandidat. Toh, kebangkitan mereka yang teraniaya untuk mencapai keadilan dan kebebasan pada akhirnya hanya berarti ketika keadilan dan kebebasan itu ditujukan buat siapa saja. Sejarah bergerak karena sebanyak-banyaknya orang ikut bergerak.

Bagi saya, Arsid maupun Andre, telah melakukannya begitu baik dalam pilkada Tangerang Selatan. Keduanya berhasil menjadi ikon perlawanan terhadap “kekuasaan yang serakah”. (*)

Aru Wijayanto

Tangerang Selatan, 15 Januari 2011

Setelah mempertimbangkan saran teman untuk menulis tentang Arsid-Andre.

Yang bisa menikmati tulisan tersebut silahkan terlena, yang belum bisa, nanti saya bantu jelasin secepatnya, tentunya versi saya bukan versi IJ Piliang lah.

:)

Pamulang,.. dini hari

(mata sudah sepet buanget, tapi kalau nggak diselesaikan malah nggeser urusan lain, ya sudahlah lanjut sebentar)

Rabu, 19 Januari 2011

PS : buat yang sudah mau berbagi denganku ya dina ini, saya hanya bisa mem-pastekan cuplikan sajak Alm. WS Rendra "Sebatang Lisong"

inilah sajakku

pamplet masa darurat

apakah artinya kesenian

bila terpisah dari derita lingkungan

apakah artinya berpikir

bila terpisah dari masalah kehidupan

Asyik ya :))



Benarkah Aru Wijayanto (AW) Menutup Akun FB-nya Karena Terprovokasi cahPamulang? Bukan Karena Merasa Terintimidasi? (3)

Lanjutan tuisan sebelumnya : Benarkah Aru Wijayanto (AW) Menutup Akun FB-nya Karena Terprovokasi cahPamulang? Bukan Karena Merasa Terintimidasi? (1) dan (2)

  1. http://www.facebook.com/note.php?note_id=487824347342 (1)
  2. http://www.facebook.com/note.php?note_id=488294387342 (2)

Berikut saya post tulisan sdr Aru Wijanto yang dipermasalahkan oleh pak Bayu Saylendra :

(IKUT) MENULIS AIRIN

ADA YANG HIDUP DENGAN "PLEONOXIA" : PENYAKIT JIWA YANG DIDERA KEINGINAN (BERKUASA) YANG TAK PERNAH CUKUP; LAGI, LAGI, LEBIH, DAN LEBIH.

Saya tak kenal Airin (Rachmi Diany). Maka, satu hal yang hingga ini sulit kita jawab dari keberadaan Airin adalah: andai Airin bukan menantu “Sang Gubernur Jenderal Banten” Tubagus Chasan Sochib, apakah ia—setelah kalah dalam pilkada Kabupaten Tangerang—masihkah punya cukup “kekuatan” (anggaran dan jaringan) untuk berlaga dalam pilkada Kota Tangerang Selatan, yang kenyataannya juga harus diulang? Atau jangan-jangan ia sama sekali tak pernah berurusan dengan publik (politik)? Wallahu’alam.

Yang kita tahu, dalam hidup ini memang ada manusia-manusia yang peruntungannya di dunia cukup baik. Airin hanyalah salah satunya—terlepas ia juga memiliki “kapasitas” tersendiri, yang bisa mendukung atau melemahkan. Toh, Airin tak memiliki nama belakang Bhutto. Keluarga Bhutto adalah tragedi Pakistan; tragedi demokrasi. Riwayat hidupnya telah menjadi bagian dari sejarah kekerasan politik, sejarah kegagalan dalam mengelola konflik, sejarah kekecewaan.

Diawali pada pagi hari 4 April 1979, tak jauh dari taman lokasi tewasnya Benazir Bhutto, di penjara Rawalpindi, Zulfikar Ali Bhutto--ayah Benazir--bekas presiden dan perdana menteri, digantung mati oleh pemerintahan militer Jenderal Zia ul-Haq. Zulfikar Ali dituduh telah membunuh seorang lawan politiknya. Tahun 1985, Shanawaz, si putra bungsu, ditemukan mati di Riviera Prancis dalam umur 28. Keluarganya mengatakan ia diracun. Di tahun 1996, adik Benazir yang juga jadi musuh politiknya, Murtaza, mati dalam tembak menembak dengan polisi Pakistan. Airin tak mengenal situasi demikian.

Di sini, politik “lebih santun” karena banyak politisi menghormati “garis turunan”—bahkan ketika akan berurusan dengan publik. Di sini, politik tak ubahnya sebuah melodrama. Seperti sinetron yang silih berganti kita saksikan di televisi, lakonnya ya itu-itu saja. Politik sebagai melodrama bisa juga bicara tentang ”moral” meski pada saat yang sama, ia juga (sangat) tak meyakinkan. Sebab melodrama adalah konflik manusia dengan manusia lain, bergantung pada permusuhan dengan sesuatu yang di luar sana—si jahat atau si bakhil.

Mungkin sebab itu Daoed Joesoef mengatakan (2005), “Demokrasi, di mana pun, menderita suatu penyakit. Penyakit ini semakin parah dengan semakin banyaknya jumlah orang yang tidak terdidik di kalangan penduduk dari negara yang menerapkannya sebagai sistem politik hingga membuatnya sangat semu dan simbolis belaka”. Saya yakin, Airin menyadari hal itu ketika ia (telah) terlibat dalam politik yang terbentuk sebagai kalkulasi manusia dalam kefanaan dengan anasir utamanya mencapai—juga “mempertahankan”—kekuasaan, hingga tak ada lagi pengertian “baik” atau “buruk”.

Sebab itu terlihat, negara, yang bekerja untuk kepentingan umum, tak berdaya menghadapi kekuasaan yang tamak, yang tak mengacuhkan res publica. Yang terjadi adalah cepatnya gerak kekuasaan pada zaman ini seiring sejalan dengan cepatnya alur kekayaan dari tempat tertentu ke tempat yang itu-itu saja—hingga terjadilah akselerasi hasrat yang tak pernah terhenti. Kepuasan akan satu kekuasaan dengan segera terhapus oleh hasrat kekuasaan baru. Terus-menerus seperti itu. Ada yang patologis dalam gejala itu—meminjam istilah Goenawan Mohammad--kita hidup dengan ”pleonoxia”, penyakit jiwa yang didera keinginan segera mendapatkan lagi, lagi, lebih, dan lebih.

Dan, maaf, saya merasa inilah yang sedang terjadi di Banten: ada yang hidup dengan “pleonoxia”. Maka Airin (pasti) menyadari bahwa politik, di dalamnya ada “jual-beli”, lengkap dengan konsekuensi bahwa apa dan siapa seketika bisa jadi pembelot. Bahkan, “kebersamaan”—yang dikemas dalam berbagai format atau koalisi—pun bisa berubah-ubah, mengingat ”kita” adalah pertautan antara ”aku atau kami” dengan ”engkau atau kalian” dalam multiplisitas yang tak terhingga. ”Aku” dan ”engkau” hanya seakan-akan “tunggal” pada waktu ke waktu, tapi sebenarnya tak pernah utuh dan selesai dimaknai. Pada kenyataannya, ”kita” (memang) sulit untuk sepenuhnya terwakili dalam identitas apa pun. Inilah mengapa banyak orang menyebut politik terlalu penuh dengan warna abu-abu.

Ini mengingatkan saya atas pernyataan Clinton tentang Shakespeare yang disampaikan kepada Stephen Greenblatt yang kemudian menuliskannya dalam The New York Review of Books, 12 April 2007. Menurut Clinton, karya Shakespeare adalah kisah tentang seseorang dengan ambisi yang amat besar dengan ”obyeknya secara ethis tak memadai”. Artinya, bukan sosok Macbeth—karena membunuh raja dan pengawalnya--yang ”secara ethis tak memadai”, melainkan sasarannya: “kekuasaan” yang ingin direbut Macbeth. Dalam lakon ini, kekuasaan bukan saja tampak tak sah, tapi juga tak ada tujuannya. Atau lebih tepat: kekuasaan dipertahankan demi menyembunyikan sifatnya yang tak sah.

Saya merasa, yang mesti dikembangkan adalah rasa kecintaan kita kepada Tangerang Selatan, tapi bukan kecintaan yang pongah. Kita mencintai Tangerang Selatan justru karena kota ini belum selesai, belum apa-apa. Kita tak bisa melepaskan diri dari ikatan kita kepadanya; kita tak bisa melupakannya; kita terkadang bangga terkadang risau oleh karenanya. Sebab Tangerang Selatan bukan hanya sebuah tempat tinggal, bukan sekadar “rumah kita bersama”. Tangerang Selatan adalah sebuah amanat. Ada daftar nama orang yang sudah berkorban untuk waktu, tenaga, materi, dan pikiran, yang membuat daerah ini lahir. Mereka itu yang sesungguhnya benar-benar memiliki kota yang sempit ini.

Maka jangan mencoba melupakan: ketika ribuan persoalan hanya dianggap statistik, ketika lupa menghapusnya sebagai tragedi, ketika kebuasan tak diingat sebagai akibat kesalahan fatal mereka sendiri. Lupa, seperti ingat, adalah soal bagaimana memilih mana yang disimpan dan mana yang dibuang. Yang disimpan dan yang terhapus akan saling susup-menyusupi: ”Seperti orang-orang yang melawan, juga aku—kucoba sekuat tenaga melawan. Karena sikap acuh tak acuh yang mungkin aku ambil kelak, merupakan bentuk persekongkolan dengan kehancuran yang akan dihadapkan kepada orang lain di kota ini.”

Saya tak kenal Airin, dan, saya juga tak berharap (saya) layak dimaafkan. (*)

Aru Wijayanto

Tangerang Selatan, 15 Januari 2011,

Setelah “sesak nafas” membaca dua tulisan lain tentang Airin.

Tulisan sdr Aru Wijayanto tersebut merupakan respons terhadap tulisan IJ Piliang berjudul : Menulis Airin (1) dan (2)

Selanjutnya saya akan mencari postingan kedua sdr AW yang berjudlu "Menulis Andre Taulany" yang diposting dialamat ini http://www.facebook.com/notes/aru-wijayanto/menulis-andre-taulany/190958450915780 sebelum akun AW lenyap dari peredaran.

Sekiranya ada yang dapat mengontak Aru Wijayanto secara offline, barangkali saya bisa mendapatkan copy tulisan tersebut untuk saya arsip.

Pamulang, ba'da Dhuhur

Senin, 17 Januari 2011