Senin, 28 Februari 2011

Pesta Ini Pesta Kami Rakyat Tangsel Bukan Sekedar Pesta Para Petarung

undefined
Usai sudah gelar Pilkada Ulang Tangsel 27 Feb 2011 yang berdasar hasil Quick Count dimenangkan pasangan no.4 Airin - Benyamin.
Ada masa saya tak peduli siapa para petarung itu, ada masa saya tertarik mencermati mereka satu persatu dan ada masanya saya harus menentukan pilihan karena ini Pesta Kami, Pesta Rakyat bukan Pesta Para Calon Elite Penguasa.

Pesta ini layak dinikmati, walau harap tak serta merta terwujud seperti mimpi yang diimpikan.

Ada suka, ada puja, ada hujat ada maki, semua ditabur hanya demi masa depan penuh harap.


Ada tali yang tersambung, ada utas yang terputus, tapi bukan menghilangkan keduanya, masih ada salam yang tak lekang, masih banyak kesamaan yang terlupa, masih ada sapa diatara kecam sesaat.

Pilhan ini bukan semata mencari pemenang, pilihan ini langkah awal jelang pertarungan yang sebenarnya, pertarungan panjang mengawal percaturan elite kekuasaan., pertarungan menyamakan tujuan antara Rakyat dan Pimpinannya.


Bila aku memilih A hari ini, aku memilihnya dengan bersiap untuk kecewa. Aku juga memilihnya bukan untuk selama-lamanya. Aku hanya memilihnya sebagai sarana yang saat ini kurang cacat di antara yang amat cacat – sarana sementara untuk mencegah luka lagi, meskipun pencegahan itu tak pernah pasti.
Politik adalah tugas merambah jalan di belukar membuka celah agar keadilan itu datang. Terkadang tangan jadi kotor, hati jadi keras--dan itu menyebabkan rasa sedih tersendiri.
Di depan belukar itu, kita berjudi dengan masa depan. Siapa yang menuntut kepastian penuh dari sejarah akan mendustai diri sendiri. Selalu ada saat untuk bertindak dan memihak – juga ketika kita menolak untuk bertindak dan memihak.
Tapi pada saat yang sama juga ada saat untuk berdiri agak menjauh. Terkadang dengan ironi, terkadang dengan penyesalan, tapi selamanya dengan kesetiaan: di dunia yang berdosa, pilihan kita bisa salah, tapi tugas tak henti-hentinya memanggil dan politik selamanya meminta. Kita mungkin gagal. Meski demikian, tetap ada yang berharga yang kita perkelahikan.
(Cuplikan dari Catatan Pinggir Gunawan Muhammad/Tempo, 08 Juni 2009).
Sebagai masyarakat yang menjadi obyek pecatur poltik, keadaan memaksa saya harus memahami perilaku para pelakunya, bukan ingin menjerat kekuasaan atau menjala kehidupan melaluinya.

Dan dengan adanya Pilkada ini saya mulai menulis, belajar berpikir dalam rangkai kata, merajut duga dibalik kata.

Selamat Bagi Para Pemenang, Salam Buat Para Simpatisan, Salut Buat Para Petarung, Terima Kasih Buat Para Sponsor. Anda semua telah mebuat Tangsel bersinar dan kami pun bangga menjadi penghuninya.

:)

cahPamulang

Pamulang, dini hari
(menunggu hasil Real Count dengan harapan ada keajaiban diesok hari walau itu mustahil terjadi sambil menulis setelah sekian waktu menjadi jalang tak kepalang)
28 Feb 2011


Notes :
  1. Wangsit penulisan, GM Quote by TI , Image 3 by AW
  2. Catatan Pilkada versi cahPamulang dan kawan ada di http://pilkadahebat.blogspot.com/
  3. FB cP Tobat dibuat sebagai ganti akun ori yang ditelan jalangnya Pilkada :)

Versi LSI Juga Unggulkan Airin-Benyamin



Jakarta
-Lembaga Survei Indonesia (LSI) memprediksi kemenangan pasangan Airin Rachmi Diany dan Benyamin Davnie dalam pemilihan Wali Kota Tangerang Selatan melalui hitung cepat (quick count) yang digelar lembaganya.

"Airin unggul dengan 54,31 persen sementara Arsyid memperoleh 43,4 persen," ujar Deni Irvani, peneliti LSI dalam konferensi pers yang digelar di kantor LSI, Jalan Lembang Terusan, Menteng, Jakarta Pusat, sore ini (27/2). Sementara itu Yayat Sudrajat memperoleh 1,1 persen suara, dan Rodhiyah memperoleh 1,19 suara.

"Dengan demikian diprediksikan Airin dan Davnie memenangkan Pilkada dalam satu putaran, karena memperoleh lebih dari 30 persen suara," ujarnya menambahkan.

Dari hitung cepat ini, pasangan Airin-Davnie menyapu bersih kemenangan di tujuh kecamatan di Tangerang Selatan. Di Ciputat, Airin memenangi 56,67 persen suara, Ciputat Timur 52,74 persen, Pamulang 53,46 persen, Pondok Aren 54,62 persen, Serpong 51,11 persen, Serpong Utara 54,82 persen, dan Setu 58,95 persen.

Sementara itu di Ciputat kubu Arsyid memperoleh 40,26 persen, di Ciputat Timur 45,09 persen ,di Pamulang 44,04 persen, Pondok Aren 43,42 persen, Serpong 46,89 persen, Serpong Utara 43,46 persen dan Setu 38,76 persen.

Hitung cepat ini dilaksanakan dengan mengolah hasil penghitungan suara dari 410 TPS dan dianggap mampu merepresentasikan hasil penghitungan di seluruh TPS di Tangerang Selatan yang berjumlah 1890 buah.

Dalam survey ini sample dipilih dengan menggunakan metode kombinasi Stratified-Cluster Random Sampling dan toleransi kesalahan sebesar +/- 1 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.

Dari 410 TPS yang direncanakan, baru 406 TPS yang bisa diolah datanya oleh LSI untuk memperoleh hasil hitung cepat. "Empat TPS datanya masih belum masuk, tapi itu tidak mempengaruhi hasil quick count," ujarnya.

Untuk Sementara, PUSKAPTIS Unggulkan Airin



Tangerang -Pasangan calon walikota dan wakil walikota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany –Benyamin Davnie unggul sementara dalam perolehan pemungutan suara ulang pemilihan walikota dan wakil walikota Tangerang Selatan yang berlangsung hari ini.

Berdasarkan hasil hitung cepat (Quick Count) yang dilakukan oleh Pusat Kajian kebijakan dan Pembangunan Strategis (PUSKAPTIS), pasangan nomor urut empat ini memperoleh suara mencapai 51,67 persen atau 11.311 suara dari 90 persen (21.891 total suara yang masuk) . Sementara pasangan urut nomor 3, Arsyid-Andreas Taulany, memperoleh 46,22 persen atau 10.117 suara.
Dengan selisih 5,45 persen, Airin unggul untuk sementara. Disusul pada posisi ketiga dan keempat oleh pasangan nomor urut 2 Radiyah Najibah-Sulaiman Yasin 1,09 persen dan Yayat Sudrajat-Norodom Sukarno 1,02 persen.
Direktur PUSKAPTIS Husin Yazid mengatakan hitung cepat yang dilakukan pihaknya menggunakan metedologi multi stage random sampling dengan margin error satu persen.” Dengan tingkat kepercayaan 99 persen,” katanya di Pusat perhitungan cepat yang dilakukan di restoran Bukit Pelayangan Cilenggang, kecamatan Serpong sore ini.
PUSKAPTIS mengerahkan 175 relawan di 175 TPS dari 1.890 TPS yang ada ditujuh kecamatan di Tangerang Selatan.” TPS kami ambil secara acak dan proposional,”katanya. Sementara untuk tingkat partisipasi pemilih, menurut Husin, mencapai 81 persen.
Tempointeraktif.Com - Untuk Sementara, PUSKAPTIS Unggulkan Airin

Minggu, 27 Februari 2011

CATATAN UNTUK ARSID (9)

ARSID BUKAN PENGUSAHA, maka ia tak akan menemui kendala untuk memisahkan antara kepentingan pemerintah (public) dengan kepentingan bisnis (private) yang self-serving dan self-seeking. Itulah salah satu keunggulan Arsid, di samping pengalamannya sebagai camat telah membuatnya memiliki kesadaran moral tentang kekuasaan sebagai alat untuk melayani masyarakat, dan bukan sebaliknya: merampas hak warga. Ia juga sosok yang kuat secara kategoris, prinsipil dalam semangat pelayanan dan pengorbanan serta mampu berkomitmen pada kemaslahatan umum--dan bukan kepentingan parsial.

Pernah ada pertanyaan, apakah seorang camat itu sebenarnya lebih berperan sebagai sosok perwakilan penguasa yang birokratik dan otokratik, ataukah ia justru cenderung berfungsi sebagai bagian dari kekuatan baru yang dikehendaki agar ikut mendorong proses demokratisasi?. Saya melihatnya tiap camat memiliki peluang besar untuk ikut mendorong proses demokratisasi. Sebab kita tahu, camat—meski tak selalu mudah—adalah orang yang bertugas di garis terdepan untuk selalu bertatap muka dengan warga, hingga ia tak akan bisa menghindar dari posisinya sebagai public servant (abdi masyarakat) dalam kehidupan bernegara.

Artinya, dengan segala kemampuan yang berbeda-beda, tiap-tiap camat akan selalu dituntut untuk memiliki kemampuan serta menjalankan fungsi sebagai pemecah masalah di wilayahnya sesuai dengan prinsip-psinsip demokrasi: from the people, by the people, for the people. Dan, Arsid telah berhasil melewati “tahapan” itu dengan melihat demokrasi sebagai sebuah sarana untuk mendorong terciptanya ruang-ruang publik yang dapat digunakan oleh tiap warga yang merdeka, baik dalam arti pribadi-individual maupun kelompok, untuk menandai dirinya dari segala tujuan hidup—baik yang mayoritas maupun minoritas.

Maka tak heran bila Arsid—yang memiliki karakter nafsul mutmainnah; jiwa yang tenang dan bersih--berhasil mendorong apa yang disebut sebagai ruang yang “soliter” untuk digantikan oleh yang “solider” di kota ini. Ia berhasil membangun rasa kebersamaan yang kuat di tengah situasi kota yang terus mendorong kita untuk makin berjarak dengan banyak hal, ketika penderitaan (seakan-akan) milik masing-masing: tak punya kesempatan untuk dibagi. Ketika banyak orang melihat kemeja necis Emiglio Zegna, Ralph Lauren, atau Hugo Boss, tanpa pernah peduli siapakah nama-nama itu: apakah ia seorang desainer atau selebriti yang namanya dipinjam untuk merk.

Kita tahu, pernah ada cita-cita untuk membangun pilihan lain agar manusia bisa kembali menikmati hidup bukan sebagai komoditas belaka. Arsid berkampanye dengan menggugah kesadaran bahwa tak selamanya hal ikhwal harus melulu punya “nilai-tukar”. Ia mencoba membangun pemahaman: manusia tak selama-lamanya makhluk yang hidup dengan subyektivitasnya sendiri, melainkan juga dengan “inter-subyektivitas”—dan sebab itu, bahkan dalam keadaan berat, kita (mestinya) masih bisa menyempatkan diri untuk memikirkan perasaan orang lain.

Tapi mungkin juga yang hendak dipertahankannya adalah Tangerang Selatan sebagai ingatan yang berharga. Seperti Indonesia, sejak kanak-kanak, kita diberi rasa bangga akan sebuah negeri yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Kenangan itu sangat intim dan telah menjadi bagian dari identitas kita. Kenangan tentang sebuah “Indonesia” yang merekam niat mulia yang hendak menjabat tangan orang lain yang berbeda dengan ikhlas. Toh, Arsid melihat demokrasi sebagai way of life, pandangan hidup, serta tata nilai yang mampu mendorong terbangunnya sikap egaliter dan transparan.

Saya rasa itulah jawaban mengapa pasangan Arsid-Andre memperoleh suara yang signifikan pada pilkada 13 November 2010. Keduanya tak berkonsentrasi pada “aku” sebagai pusat situasi, tapi “kita”—dengan cita-cita bersama. Arsid melawan monolog. Baginya, kemerdekaan berpikir, kemerdekaan berpendapat, akhirnya juga berarti kemerdekaan untuk jadi percakapan yang tulus, lengkap dengan kerendahan hati. Ia percaya, dalam diri tiap manusia ada yang menyebabkan orang—dengan otonomi penuh—menghormati dan mematuhi panggilan hukum moral: ketika diam-diam kita menolak suap untuk memilih kandidat tertentu, juga menolak untuk turut serta dalam rekayasa persoalan agar dapat dituduhkan ke lawan politik.

Kita tahu, siapa pun tak dapat meniadakan persaingan politik, tapi kita juga menyadari tak mungkin—juga tak boleh--ada kekuasaan yang mutlak membentuk masyarakat. Saya melihat ini sebagai sebuah sikap yang dapat diterima semua orang yang berakal-budi. Toh, dalam ketiadaan tempat berpegang, orang umumnya akan berpihak pada nurani. Kita sama-sama tahu, saat ini di Tangerang Selatan, kegelisahan bukan hanya hinggap di dada para aktivis lembaga swadaya masyarakat maupun kelompok prodemokrasi, tapi juga di hati warga biasa: bahkan yang sehari-harinya membaca Esquire, Dewi atau Cosmopolitan—tapi kini merasa terpanggil untuk memikirkan sesama yang lain.

Sebab kita tahu, di kota ini, monster bernama totalitarianisme sedang merangkak keluar dari sarangnya untuk melumat apapun yang bisa dilumat, terutama demokrasi. Dan orang segera cepat merasakan ada ketidakadilan dengan tajam, terutama saat menyaksikan demokrasi—secara terbuka--sedang dirampok pelbagai kepentingan demi kuasa dan harta melalui politik uang. Kita sadar, politik yang terjangkit mental totalitarianisme akan (selalu) sulit membangun pranata hukum, bisnis, demokrasi, bahkan kekuasaan yang tahan zaman, sebab hubungan sosial yang dikedepankan adalah semangat untuk saling menjegal, bahkan menghancurkan.

Pada tataran ini, konsep persaudaraan hanya dijadikan retorika. Bagi saya, totalitarianisme mengingatkan kita pada konsep “kesatuan” yang diimani Hitler, Stalin, dan Mao—yang terasa sebagai horor. Kesatuan bisa terasa sebagai palu godam yang menghantam mereka yang disingkirkan karena dianggap tak satu golong­an, tak cocok untuk ”bersatu”: mereka yang berbeda pendapat. Yang merisaukan dalam pandangan itu adalah ketika ia tak mengakui fondasi bersama manusia yang kekal dan dapat dijadikan pegangan semua.

Situasi ini tentu tak menyehatkan bagi Tangerang Selatan ke depan, dan sebab itu mesti dicegah. Hal ini menjadi penting mengingat, seperti kata Richard Goldstone dalam Human Right in Political Transitions, yakni without justice, without acknowledgement, future evil leaders will more easily be able to manipulate historic grievances: tanpa keadilan, tanpa pengakuan, pemimpin-pemimpin yang jahat di masa depan akan dapat lebih mudah memanipulasi keluhan-keluhan historis. Arsid memang sedang mencoba mengatasi kerumitan ini. Ia, bagai ninja yang menyelinap di sebuah kastil agung mencoba memulai perlawanan: menghentikan angkara murka. Dan sebab itu, kita (juga) melawan.

Mereka mungkin punya banyak uang, tapi, kita punya satu “senjata” yang paling ampuh dari senjata apapun di belahan bumi ini. Senjata itu adalah penolakan kita untuk tunduk pada otoritas “luar” selain otoritas kita sendiri. Penolakan kita pada totalitarianisme yang sedang diusung beramai-ramai di kota ini. (*)

ARU WIJAYANTO
Tangerang Selatan, 26 Februari 2011

CATATAN UNTUK ARSID (8)

Saya beberapa kali ditanya oleh sejumlah orang: mengapa Arsid tidak pernah membicarakan isu pendidikan sebagai materi kampanye? Apakah Arsid tidak punya konsep tentang pendidikan?. Awalnya saya malas menjawab karena pertanyaan diajukan dengan sikap yang kurang bersahabat, tapi akhirnya saya jawab: Arsid meletakkan paradigma pendidikan—baik kebijakan, sistem, maupun praksis—bukan sebagai sarana pemenangan politik pragmatis. Ia lebih melihat pendidikan sebagai sebuah rekayasa budaya—mendambakan manusia memiliki prinsip hidup—dan tidak sebagai kendaraan kampanye politik. Sebab itu kita menghormatinya.

Bagi saya, reformasi pendidikan adalah sebuah rekayasa besar yang tidak dapat dikerjakan setengah hati, apalagi bila hanya pada masa kampanye saja, juga bila hanya sepenggal-sepenggal. Dalam era otonomi pendidikan saat ini sebenarnya telah membuka peluang bagi sektor pendidikan di daerah agar lebih berkualitas—yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Arsid pasti memahami bahwa kepala daerah memiliki kewenangan penuh dalam menentukan kualitas pendidikan di daerahnya—bahkan hingga soal teknis seperti penentuan sistem evaluasi.

Artinya, meminjam terminologi school based management, kualitas pendidikan untuk masa mendatang memang lebih bergantung pada komitmen daerah untuk merumuskan visi dan misi di daerahnya masing-masing. Bila daerah cukup visioner dan memiliki political will yang kuat—disertai kebijakan yang mengedepankan arti penting pendidikan sebagai upaya human investment di daerah—maka kualitas praksis pendidikan akan dapat ditingkatkan sesuai harapan stakeholders.

Pertanyaannya, bagaimana sistem pendidikan yang sekiranya tepat untuk Tangerang Selatan?. Saya yakin, Arsid, seperti kita semua, akan mengawalinya dengan menggunakan parameter keberhasilan peserta didik bukan saja dari IQ (intelligence quotient)--perolehan aspek kognitif, yang tercermin dari perolehan nilai—tapi juga EQ (emotional quotient); sebuah kemampuan menahan diri, mengendalikan emosi, memahami emosi orang lain, bermotivasi tinggi, memiliki ketahanan dalam menghadapi kegagalan, dan sebagainya.

Toh, ini menjadi penting mengingat Tangerang Selatan sebagai kota multikultur, maka pendidikan yang dibangun harus berorientasi pada sistem pembelajaran dengan mengembangkan kepribadian yang dewasa, terbuka, dan toleran terhadap kultur di luar dirinya tanpa mengabaikan budaya sendiri. Ini sama artinya dengan kesadaran bahwa tiap manusia adalah pribadi-pribadi yang unik serta mempunyai bakat yang berbeda dengan yang lainnya.

*****

Saya melihat ada dua hal utama yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan upaya membangun pendidikan di Tangerang Selatan, di antaranya: (1) Sistem pendidikan yang berorientasi pada nilai (wertorientier). Ini harus diawali dengan pemahaman bahwa tujuan pendidikan adalah untuk memerdekakan manusia; maka pribadi yang merdeka bukanlah yang laissez-faire, tetapi yang mampu mempertanggungjawabkan hasil kemerdekaannya. Sebuah situasi bahwa peserta didik memiliki kemampuan mengritik—juga dikritik—serta mempunyai sensibilitas dan kreativitas, yang menjadi kompetensi social dalam menyikapi nilai-nilai dasar kebersamaan.

(2) Sistem pendidikan yang berorientasi pada dunia praksis (praxisbezogen). Ini berkaitan dengan ilmu pengetahuan pencerdas manusia, meski bukan berarti melulu bicara tentang “materilisasi” pendidikan yang mengedepankan konsep “siap pakai”. Saya melihat, praksis pendidikan harus diawali dengan suasana belajar-mengajar yang menggunakan metode dialogis untuk membuka pintu bagi proses pencarian kebenaran yang lebih tinggi.

Bagi saya, itulah tantangan dunia pendidikan ke depan, di mana kita harus mampu memadukan antara ilmu pengetahuan pencerdas manusia dengan ilmu humaniora yang menyentuh manusia secara menyeluruh. Ketika sekolah melahirkan manusia yang mampu menyadari dirinya sebagai makhluk sosial yang hidup dalam dimensi tanggung jawab pribadi dan sosial. Pada tataran ini, pendidikan memiliki tujuan menghasilkan manusia-manusia yang berkepribadian utuh dan tidak mudah diombang-ambingkan oleh pelbagai desas-desus yang meresahkan ketenangan dalam hidup sosial.

Sebuah pemahaman bahwa manusia adalah makhluk yang tidak mudah diadu domba, tidak mudah dihasut, serta tidak mudah ditipu oleh pelbagai skenario sosial-politik yang terjadi—baik dalam skala regional maupun nasional. Toh, seperti yang pernah disinggung Arsid, ini sama artinya kita mendambakan manusia yang memiliki prinsip hidup, agar dapat membedakan apa yang bisa, boleh, dan seharusnya dilakukan. Ketika manusia (selalu) ditantang untuk berani menghadapi dan menerima perbedaan personal dan sosial: bahwa tiap manusia adalah unik.

Buat saya, apa artinya kecerdasan bila kita bersikap seperti Hitler—yang lebih mempersoalkan “identitas ethnis”?. Dalam Mein Kampf, ada kisah tentang Hitler muda. Pada suatu malam di pusat kota Wina, ia berjalan dan bertemu dengan sesosok bayangan hitam dengan rambut hitam dikepang. Hitler bertanya pada diri sendiri: “Yahudikah ini?. Setelah ia amati lebih jauh, ia kembali bertanya dalam hati: “Orang Jermankah ini?”. Hitler tak pernah berpikir apakah si Bayangan itu seorang dokter, tentara, atau seniman. Yang penting baginya hanya “identitas ethnis”.

Maka segera kita tahu: ia sesungguhnya tak memiliki kesadaran akan diri sendiri yang menyatu dengan kesadaran akan orang lain. Hitler menganggap identitas adalah sesuatu yang dibawa dari lahir, karena antagonisme yang diyakininya adalah sesuatu yang permanen. Ia lupa, identitas sebenarnya tak pernah datang sendiri. Ia hadir karena dirumuskan oleh nama dan bahasa: bangunan simbol yang disusun masyarakat—yang kadang dengan kekerasan. Bahkan ketika ada orang yang mengatakan: “Aku telah menemukan jati diriku”, sesungguhnya ia tak sadar bahwa “diri” yang “sejati” itu mustahil ia peroleh.

Di sinilah, kita terus paham mengapa kita memilih Arsid untuk menjadi pemimpin di Tangerang Selatan. Ia melihat Tangerang Selatan adalah sebuah sejarah masa depan yang berharga bukan untuk diri sendiri—dan dengan demikian memberi makna bagi hidup kita. Kota ini, baginya, adalah sebuah sejarah harapan dan pengorbanan—dari orang yang berbeda-beda, bagi orang yang berlain-lainan--yang tak merasa perlu memberi batas mutlak tentang ”luar” dan ”asing”. Ia selalu melihat bahwa masyarakat manusia juga mengandung benih-benih perkawanan. Tak cuma antagonisme. Itulah kecerdasan yang sesungguhnya dari seorang pemimpin. (*)

ARU WIJAYANTO
Bogor, 24 Februari 2011

Kamis, 24 Februari 2011

Saran Buat JPTS : Real Count via Facebook, Manfaatkan Fasilitas Upload Via Email, Hasilnya Tertayang Langsung di Wall JPTS

Pilkada Ulang besok 27 Feb 2011 adalah momen yang dinanti semua pihak, baik yang terlibat langsung maupun sekedar pantau. Untuk itu sudah selayaknya bila JPTS pun berpartisipasi melakukan pemantauan secara independen dengan memanfaatkan jaringan relawan yang dimiliki yang bersedia berkolaborasi membuat semacam Real Count bayangan dengan memanfaatkan fasilitas Facebook yang ada.

Bila ada 2 (dua) Surveyor yang akan melakukan Quick Count kelak, tentu tak ada salahnya bila JPTS cs melakukan hal yang sama dengan cara-cara yang sederhana dan dapat diakses oleh semua pihak.
Langsung ke topik bahasan :
1. Akifkan fasilitas "upload via email" untuk akun Facebook anda melalui Setting Akun berikut :

2. Pilih Panel "Mobile" lanjutkan ke "Go To Facebook Mobile" dipojok kanan

3. Setelah anda akan mendapatkan alamat email akun Facebook anda, catat baik-baik dan jangan disebar ke publik, kecuali untuk petugas input data yang dipercaya

4. Siapkan draft untuk pengiriman data melalui email personal relawan input data anda, sebanyak TPS yang ada, yang dikelompokkan berdasar eEcamatan dan Kelurahan, dengan Fromat sederhana, contoh :
.

Kec. Pamulang, Kel. Benda Baru, TPS XX : A. (kosongin) B. (Kosongin) C. (Kosongin) D. (Kosongin) E. (Kosongin) F. (Kosongin)
.

A s/d D = suara sah, E = suara Rusak, F = Total Surat Suara
Pada contoh dibawah saya hanya buat A-D saja
5. Susun semua dalam draft email anda untuk siap edit begitu data masuk dan segera kirim ke alamat Email Akun Facebook anda.
6. Begitu input data selesai segera kirim ke alamat akun Facebook anda maka dalam sekian detik data tersebut akan tampil di Wall Anda. Pastikan Wall anda set Read Only, artinya kontak anda tidak dapat melakukan posting ke Wall anda kecuali reply saja. Seting ini penting agar kiriman Real Count tersebut tidak tertiban/ditiban oleh komentar orang lain, namun mereka masih dapat memberikan respon terhadap data yang masuk utamanya untuk koreksi bila diperlukan.
Gambar berikut ilustrasi Tampilan Real Count versi Wall yang didapat, dimana visitor masih dapat merespons postingan tersebut.
Catatan :
  1. Email Personal adalah Email Para Relawan
  2. Email Akun Facebook adalah alamat tujuan pengiriman data Facebook melalui email personal para relawan (email ini jangan disebar ke publik)
  3. Setting Wall agar publik sementara tidak dapat melakukan posting pada hari H atau H-1 untuk melakukan Simulasi dapat dilihat digambar berikut
Demikian Saran dan Harapan yang dapat saya sampaikan kepada JPTS cs, semoga anda semua masih mampu bergerak dan mengambil Kans dari Tutorial singkat ini. Perihal pembagian kolekting data, tentunya JPTS dapat mengukur kondisi internal nya sendiri. Apakah data diinput per Kecamatan, atau per-Kelurahan disesuaikan saja dengan kemampuan yang ada.

Tiga hari untuk koordinasi mengani hal ini rasanya cukup, bila JPTS cs, berkonsentrasi untuk menggalang semua relawannya, JPTS dapat pula memanfaatkan kontak akun JPTS yang dapat dipercaya untuk menjadi bagian dari input-er tersebut.

Salam
:)
cahPamulang, jelang dini hari
(lagi nggak ditempat tapi tetep semangat menyambut Pilkada Ulang kelak)
24 Feb 2011


Saran Buat JPTS : Real Count via Facebook, Manfaatkan Fasilitas Upload Via Email, Hasilnya Tertayang Langsung di Wall JPTS
cahPamulang: Saran Buat JPTS : Real Count via Facebook, Manfaatkan Fasilitas Upload Via Email, Hasilnya Tertayang Langsung di Wall JPTS

Refleksi Peran Media Menjelang Pemilukada

Oleh: Iwan Awaluddin Yusuf 1]

Dalam sebuah tulisan di Majalah Time, Henry Gunward pernah menulis jargon: no democracy without free press. Statemen ini senada dengan pidato Presiden Thomas Jefferson yang sangat populer: “Jika saya disuruh memilih antara pemerintah tanpa pers yang bebas dan pers bebas tanpa pemerintah, maka saya akan memilih pers bebas tanpa pemerintah”.

Di tengah semangat desentralisasi dan kebebasan informasi, bangkitnya industri pers lokal telah memberi kontribusi dan warna baru dalam tradisi bermedia dan kehidupan demokrasi di Indonesia. Namun demikian, lanskap kehidupan bermedia, terutama di ranah lokal masih menunjukkan karut marut persoalan yang berkelindan dan pelik untuk diurai. Netralitas pers lokal dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) misalnya, atau eksistensinya yang lebih mengutamakan fungsi ekonomi daripada aspek informatif-edukatif bagi publik daerah adalah dua isu utama yang mengemuka, bahkan berpotensi mereduksi peran pers; alih-alih menjadi lembaga keempat (fourth estate) yang mengawal proses demokratisasi, justru misfungsi menjadi kepanjangan tangan “raja-raja” daerah yang menyokong kepentingan kekuasaan jangka pendek, nasionalisme kesukuan, dan primordialisme lokal.

Tulisan ini akan mengelaborasi tiga bahasan: Pertama, tinjauan teoritik mengenai relasi media, demokrasi, dan proses menuju demokratisasi di ranah lokal. Kedua, sebagai respon dari penyelenggaraan otonomi daerah, media mau tidak mau memegang peran vital sebagai mediator informasi antarpemimpin politik pemerintahan lokal dengan konstituennya, maka diskusi tentang netralitas media dalam pemilihan kepala daerah menjadi penting untuk dikemukakan. Ketiga, bagian terakhir tulisan ini berusaha merumuskan pentingnya peran pers lokal dalam proses demokratisasi di Indonesia, sekaligus memberikan tawaran alternatif bagaimana seharusnya format pers lokal di masa mendatang, terutama sebagai subsistem demokrasi.

Pers Lokal, Reformasi, dan Otonomi

Maraknya pers lokal atau media daerah sesungguhnya merupakan reaksi simultan dari reformasi politik tahun 1998. Gerakan reformasi sendiri berhasil mendorong setidaknya dua perubahan signifikan.

Pertama, era kebebasan pers yang menggantikan tirani-autoritatif pemerintah melalui rezim surat perizinan. Sejarah mencatat, penguasa Orde Baru meneguhkan kekuasaan dalam mengintervensi pers melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers perihal Surat Izin Terbit (SIT) dari Departemen Penerangan dan Surat Izin Cetak (SIC) dari Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Tanpa kedua surat izin tersebut, sebuah terbitan dianggap ilegal. Pada kondisi tertentu, jika izin dicabut (lagi-lagi oleh pemerintah), terbitan itu otomatis diberangus. Tradisi SIT dan SIC berlaku lebih dari 15 tahun, sampai tahun 1982 saat SIT yang dikeluarkan oleh Departemen Penerangan diganti dengan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Esensi SIUPP sama persis dengan SIT, hanya berubah dalam sebutan. Ketika SIUPP sebuah terbitan dicabut oleh Departemen Penerangan, terbitan itu langsung ditutup oleh pemerintah.

Hiruk pikuk reformasi berhasil melenyapkan urusan perizinan ini. Berawal dari kelonggaran pengurusan SIUPP hingga pencabutan SIUPP dan berpuncak pada pengesahan Undang-undang Pers No. 42 Tahun 1999. Kini, cukup dengan secarik kertas bertajuk Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP-dengan satu P) yang sangat mudah diperoleh, siapapun yang memiliki modal dan berbadan hukum, berhak menerbitkan media cetak, tanpa birokrasi berbelit.

Kedua, perubahan mendasar dari reformasi adalah agenda otonomi daerah yang mengusung asas desentralisasi. Kebijakan yang dituangkan dalam UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerinthan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah ini menjadi titik balik perkembangan sistem pemerintahan di Indonesia, terutama pemerintahan di daerah. Bagi mekanisme penyelenggaran negara, kebijakan desentralisasi yang sejatinya pernah dituangkan gradatif dalam peratuan perundangan mulai tahun 1945 dan seterusnya, yaitu tahun 1948, 1957, 1959, 1965, 1974, 1999 dan yang terakhir Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004[2] membawa dua tujuan yang tidak dapat dilepaskan dari peran media (1) tujuan politik dan (2) tujuan administratif Tujuan politik memposisikan pemerintah daerah sebagai medium pendidikan politik bagi masyarakat tingkat lokal yang secara agregat akan berkontribusi pada pendidikan poliltik tingkat nasional dalam rangka mempercepat terwujudnya civil society. Sedangkan tujuan administratif memposisikan pemerintah daerah sebagai unit pemerintahan di tingkat lokal yang berfungsi menyediakan pelayanan masyarakat secara efektif, efisien, dan memberi hasil yang lebih baik dibanding pemerintahan sebelum reformasi (Mawardi, 2002: 2). Di satu sisi, otonomi daerah mempunyai kecenderungan ideinetik dengan kebebasan di daerah (freedom of locality) untuk menentukan nasib sendiri (self determination) atau demokrasi lokal (Akbar dan Khan, 1982, seperti dikutip Sarundajang, 2000: 57).
Di mata Hoessein (2002: 4), otonomi daerah membawa pergeseran sejumlah model dan paradigma pemerintahan lokal yang telah ada sebelumnya. Structural effiency model yang menekankan efisiensi dan keseragaman ditinggalkan dan diganti local democracy model yang menekankan nilai demokrasi dan keberagaman dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal. Seiring dengan pergeseran model tersebut, terjadi pula gugatan dari pengutamaan dekonsentrasi ke pengutamaan desentalisasi. Hubungan pemerintahan yang semula “dependent” dan “subordinate” kini menjadi “independent” dan “coordinate”. Pola hubungan tersebut tercipta sebagai konsekuensi perubahan makro dari integrated prefectoral system yang utuh ke integrated prefectoral system yang parsial, dalam hal ini berlangsung di tataran provinsi.

Dua perubahan elementer di atas mendorong media lokal mengartikulasikan kebutuhan informasi masyarakat sekaligus mengisi ceruk pasar (market niche). Mengingat kondisi masyarakat yang beraneka ragam, media lokal lahir dengan mengusung kebernekaragaman pula. Fungsi desentralisasi dan local autonomy bagi pers daerah ditunjukkan dengan kemampuan mengakomodasi kemajemukan aspirasi masyarakat lokal-komunitas. Desentalisasi media pada tingakan ini melahirkan kemajemukan politik (political variety) yang sangat berguna untuk menyalurkan dan menampung local voice dan local choice.

Hubungan media dan good local governance dalam konteks otonomi menjadi sangat penting karena pengambilan keputusan pemerintah tidak mungkin dilakukan tanpa partisipasi masyarakat. Media menjadi wahana informasi yang strategis dalam menampung aspirasi grassroot atas berbagai keputusan yang akan diambil pemerintah, sekaligus menginformasikan keputusan itu sendiri (Tim LSPP, 2005: x). Kondisi partisipatif seperti ini digambarkan oleh Page (1991):

To be local implies some control over decisions by the community. The principles of representative democracy suggest that this influence is exercised at least in part through democratically elected officials who may be expected to representative can also provide the focus for form of participatory democracy through direct citizen involvement or interest group activity

Senada dengan Page, Riyanto (2005: 229) melihat bahwa inti dari poyek desentralisasi dan otonomi daerah adalah bagaimana membangun demokrasi di tingkat lokal dan secara simultan, pada waktu bersamaan membangun civil society yang kuat. Kondisi seperti ini tentu tidak dapat terwujud tanpa partisipasi masyarakat yang terinformasi dengan baik (well informed). Dengan meningkatnya atmosfer keterlibatan dan partisipasi subsistem di tingkat lokal dan institusi-institusi lain di luar pemerintahan, terutama dalam pengambilan keputusan, maka pembangunan akan semakin responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat (De Gusman dan Referma, 1993: 3)

Pendapat yang sama diungkapkan Masyarakat Transparansi Indonesia (2002: 17). Menurut MTI, salah satu kunci keberhasilan otonomi daerah adalah partisipasi aktif masyarakat lokal, yang salah satunya dijembatani saluran media massa lokal. Partisipasi pers menjadi penentu kesuksesan otonomi daerah karena di dalamnya mengandung aspek pengawasan dan aspirasi.

Jack Snyder (2003, sebagaiamana dikutip Tim LSPP, 2005: 8 ) juga melihat peran positif yang dapat dimainkan media lokal, seperti sebagai pendidik, pengidentifikasi masalah, penyedia forum, dan penguat (revitalitator) sosiokultural bagi komunitasnya. Robert Dahl (seperti dirujuk Oetama, 2001: 76) menyebut peran pers yang bebas sebagai “the availability of alternative and independent sources of information”. Peran utama ini bersinergi dengan prinsip-prinsip good local governance seperti partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas di tingkat lokal. Partisipasi berarti adanya peran aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan. Transparansi didasarkan pada adanya mekanisme penjaminan akses umum bagi pengabilan keputusan. Sedangkan akuntabilitas menyatakan seberapa besar efektifitas pengaruh dari pihak yang diperintah (objek) terhadap pihak pemerintah (subjek). Sementara itu Keane (1991:116-117) menggarisbawahi pentingnya media sebagai pelayan publik (public servant) yang memiliki andil besar dalam negara demokrasi. Andil ini terutama menyangkut ketersediaan informasi yang berguna bagi kehidupan publik.

Selain kontribusi dalam menjamin proses demokratisasi, di satu sisi, media lokal juga membawa efek ambivalen karena kuatnya nilai primordialisme dan keterdekatan sosiokultural-ekonomi pemodal media dengan stakeholder daerah yang menyebabkan media lokal juga memiliki posisi dilematis, misalnya dalam peliputan Pilkada (Kandyawan, 2005). Synder (2003) dengan berbagai penelitiannya bahkan menyimpulkan pers lokal bisa mengobarkan kepentingan jangka pendek, terutama karena pada masa awal demokratisasi-bermedia terjadi, suasana berpendapat bebas terjadi, pers lebih mudah didirikan, dan semuanya bisa menjadi alat bagi para maniak kekuasaan untuk menaikkan posisinya (Haryanto, 2005; Tim LSPP, 2005: 8).
Dengan kata lain, pers daerah kadang-kadang gagal menjaga jarak dan ikut larut secara emosional dengan dinamika kompetisi sosial politik dan konflik di wilayahnya, akibatnya liputan menjadi kurang berimbang. Di sisi lain, tekanan pasar, baik yang berupa ketatnya persaingan antarmedia maupun kehausan publik bawah terhadap tuntutan sensasionalitas berita, sering memperkeruh proses dan wajah liputan pers daerah (Kandyawan, 2005) .

Netralitas Pers dalam Pemilihan Kepala Daerah

Prasyarat bagi terwujudnya proses demokratisasi adalah kebebasan ekspresi dan informasi, oleh karena itu diperlukan subsistem berupa media massa yang independen. Dimulai dengan memberikan informasi yang benar, relevan, dan objektif bagi masyarakat sampai pada fungsi pengawas kekuasaan. Pengertian kekuasaan dalam konteks masyarakat demokratis tidak hanya berorientasi pada kekuasaan pemerintah, melainkan ada ruang lingkup yang cukup luas yang meliputi kegiatan politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Ini sinkron dengan apa yang dikemukakan Schieck (2003: 8 ) bahwa kehadiran media yang independen dapat mengarah pada dua peran; Pertama, menjadi “anjing penjaga” (watchdog) bagi pemerintah. Kedua, mengedukasi publik atas berbagai isu yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka sehari-hari.

Interaksi ini terlihat di banyak sektor kehidupan. Dalam konteks yang lebih politis, pemilu misalnya, menurut survei The Asia Foundation yang dikeluarkan pada 2004, lebih dari 90 persen masyarakat menggunakan media sebagai sumber informasi pemilihan umum (Tim LSPP, 2005: 2). Dari besarnya angka ini tentu sangat membuka penyalahgunaan media sebagai sarana “main mata” antara pemilik media dan elit politik daerah. Mulai dari kesepakatan transaksioal untuk menyediakan space iklan politik, meliput pelantikan pejabat daerah, hingga publikasi yang mem-blow up aktivitas kampanye pemilu. Kondisi ini lebih parah jika kebetulan pemilik media atau orang kuat di struktur organisasi media adalah salah satu kandidat peserta pilkada. Yang terjadi tidak lain pers menjadi aparatus kepentingan sesaat guna menggalang konstituen di daerah komunitasnya. Jelas dari bentuk-bentuk penyimpangan seperti ini, pers tidak lagi dapat berfungsi sebagaimana konsepsi tradisional pers: majelis keempat demokrasi.

Kekuasaan keempat (the fourth estate), tidak berarti pers harus memposisikan diri “beroposisi” terhadap pemerintah atau “melawan” pemerintah. Kedudukan pers dalam konsep majelis keempat sama dengan parlemen, yang lebih ditekankan pada sifat independensi atau kebebasan menyebarkan informasi dan pendapat tanpa rintangan dari pemerintah. Pers hanya bertanggung jawab secara yuridis kepada pengadilan, dan juga bertanggungjawab etika kepada organisasi wartawan (Muis (2000: 56-57).

Tarik-menarik kepentingan antara pers dengan elite lokal dan penyalahgunaan fungsi pers lokal dalam proses pemilihan kepala daerah dapat dimungkinkan terjadi karena beberapa penyebab yang berpangkal pada satu hal, minimnya profesionalisme. Profesionalisme pers dapat diindikasi dari tiga tataran: mikro, meso, dan makro. Meski kadang di antara tiga level ini tidak tegas pembedaanya karena saling tumpang tindih dan dipertautkan satu sama lain, namun secara sederhana pengkategorian di atas dapat mempermudah dalam pembahasan.

Pertama, level mikro, yaitu produk akhir media berupa isi atau teks, yang secara sederhana terlihat dari berita yang disajikan. Ketidakprofesionalan pers lokal terutama sangat terlihat dari berbagai pemberita tentang proses penyelengaraan pemilihan kepala daerah yang ditampilkan kurang berimbang. Terbukti dari penelitian yang dirilis LSPP tahun 2005 tentang isu transparansi (korupsi) dan pelayanan publik terhadap 8 media cetak lokal di 4 wilayah (Lampung, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat) memperlihatkan ketergantungan suratkabar lokal tersebut yang masih tinggi dengan kekuasaan lokal. Kondisi ini jelas mempersempit ruang gerak media cetak sebagai pengontrol kekuasaan (Tim LSPP, 2005: x). Pada penelitian tahun sebelumnya (2004), LSPP melakukan monitoring terhadap 1.136 berita dari 10 suratkabar terkemuka Indonesia pada periode 11-25 Maret 2004. Hasil yang diperoleh adalah kesimpulan bahwa media kurang memperhatikan asas keberimbangan (cover both sides) dalam menyajikan berita. Isu seputar KKN dan uapaya reformasi militer misalnya, atau isu Dewan Perwakilan Daerah yang kandidatnya mencapai ribuan orang, hanya memperoleh perhatian peliputan yang sangat minim dibanding peristiwa-peristiwa lain yang diberitakan (Luwarso. ed, 2004).

Padahal secara teoritik, profesionalisme dalam berita mensyaratkan beberapa kondisi, terutama objektivitas. Dalam konsepsi yang cenderung positivistik ini, definisi objektivitas dirumuskan dalam dua prinsip, yaitu kesesuaian dengan kenyataan (factuality) dan tidak memihak (impartiality). Prinsip factuality terdiri dari dua unsur, yaitu benar (truth) dan relevan (relevance). Unsur benar (truth) ditentukan oleh ketepatan (accuracy) dalam mendeskripsikan fakta. Kebenaran akan kuat jika disertai akurasi pada seluruh unsur berita (5W+1H). Keakuratan ini dalam praktiknya memerlukan kelengkapan (completeness) berbagai instrumen. Sementara itu, unsur-unsur yang digunakan untuk mengukur tingkat relevance meliputi: (1) proximity psikografis, (2) proximity geografis, (3) timeliness, (4) significance, (5) prominence dan (6) magnitude. Item-item tersebut dikenal sebagai news values. Prisip tidak memihak (impartiality) juga menentukan tingkat objektivitas. Ada dua unsur yang mendukung ketidakberpihakan, yaitu seimbang (balance) dan neutral. Seimbang adalah memberi tempat yang adil pada pandangan yang berbeda, sering disebut dengan istilah cover both sides, sedangkan netral berarti harus ada pemisahan antara fakta dan opini pribadi wartawan (McQuail, 2000: 196 – 222).

Mengungkap fakta dengan objektivitas sesuai unsur-unsur yang telah disebutkan di atas, maka dengan sendirinya media akan menjadi anjing penjaga (watchdog) terhadap berbagai penyelewengan, baik di level negara (state) maupun masyarakat (public), termasuk perorangan. Dalam kondisi ini masyarakat akan berpikir serta menentukan sendiri, mana yang benar dan mana yang salah. Pers tidak perlu mendikte atau mengarahkan, cukup mengungkap fakta apa adanya, dan masyarakatlah yang memberi penilaian.
Kedua, indikasi profesionalisme pers lokal dapat dilihat dari elemen meso. Aspek ini meliputi dinamika proses-proses memproduksi dan mengonsumsi teks media. Hal mencolok dalam pembahasan ini adalah lemahnya manajemen pers lokal dengan SDM yang kurang kompeten serta tidak profesional. Selain itu, lemahnya manajemen media ini juga berujung pangkal pada rendahnya kesejahteraan hidup jurnalis lokal, yang dalam banyak kasus diberi gaji di bawah standar UMR. Bahkan, ada sebagian wartawan daerah yang hanya memperoleh kartu pers tanpa gaji tetap dari medianya (lihat misalnya Tim LSPP, 2005: 102). Pada kasus lain, pendirian pers merupakan agenda politik elite lokal yang membawa misi menjadikan media sebagai corong membela kepentingannya. Ini tampak dari nama-nama elite poltik lokal yang tercantum dalam masshead (struktur redaksional) suratkabar.

Kurangnya profesionalisme pers lokal juga diperlihatkan dari kondisi wartawan yang tidak memiliki kompetensi dan idealisme sehingga hanya menjadikan institusi media lokal sebagai lahan mencari keuntungan. Kolaborasi mutualisme wartawan dengan pemerintah daerah mengarah pada kesepakatan-kesepakatan yang menyimpang dari idealisme dan etika jurnalistik dilegalkan dalam anggaran pemerintah daerah (ABPD), mulai dari biaya perwatan gedung PWI, pembinaan ini itu, hingga mensponsori sejumlah kegiatan fiktif bagi para wartawan. Inilah yang seharusnya dihapuskan dalam anggaran pemerintah daerah sekaligus ditolak oleh wartawan. Penghapusan pos tersebut dapat mendudukkan pers pada posisi yang proporsional sebagai lembaga independen.

Ketiga, indikasi untuk melihat profesionalisme pers lokal adalah pada tataran makro yang merujuk pada dinamikan sosial budaya, ekonomi politik, konteks sejarah, dan regulasi media. Isu yang mencolok dari aspek makro adalah ketidakjelasan aturan main bagi pers lokal dalam mengartikulasikan fungsinya. Penegakan etika yang kurang tegas, siapa yang memeberi sanksi dan sanksi apa yang dilakukan jika terjadi pelanggaran tampaknya belum sepenuhnya diakomodasi dengan baik oleh berbagai sistem hukum di negara kita, dalam pengertian lemah pada aspek penegakan, bukan pada bunyi pasal-pasal perundang-undangan. Di sisi lain, dari segi historis, menjamurnya pers lokal juga tidak sepenuhnya berangkat dari basis pemikiran kontemplatif bagi kemanfaatan publik, melainkan tak lebih sebagai tren, bahkan euforia kebebasan yang pada titik tertentu ternyata tidak dipahami maknanya oleh baik pengelola pers maupun publik media itu sendiri. Inilah yang mendorong perlunya lembaga pengawas media (media watch) yang independen guna mengingatkan jika terjadi penyelewengan oleh pers. Selain itu bagi masyarakat diperlukan edukasi bermedia melalui pendidikan literasi media sehingga mereka tidak hanya menjadi objek pasif media, melainkan memiliki kesadaran peran sebagai stakeholder aktif yang berhak terlibat dalam proses produksi dan distribusi informasi.

Penutup

Demokrasi mengandung makna independensi dan otonomi. Dengan kata lain, kehidupan politik disangga oleh berbagai institusi yang memiliki tingkat kebebasan dan otonomi, namun saling bersinergi satu sama lain. Dalam kondisi semacam ini kehadiran media pers merupakan keniscayaan (conditio sine qua non). Keberadaan pers lokal sebagai subsistem arena percaturan politik di tingkat lokal mengharuskan adanya landasan profesionalisme dan idealisme yang kuat. Tanpa profesionalisme, media pers tidak akan memperoleh kepercayaan masyarakat. Berkembangnya pers lokal harus dimaknai secara bijaksana oleh stakeholder media sehingga fungsi “memberdayakan” (empowering) masyarakat lewat media tidak berubah makna menjadi “memperdayakan” (disempowering) sebagaimana euforia kebebasan pers di awal era reformasi beberapa waktu lalu: “Yang penting terbit, urusan lain belakangan”.

Di sisi lain, sebagai sebuah institusi bisnis, pers lokal juga harus meningkatkan mutu manajemen media yang pada gilirannya mampu menyehatkan perusahaan dan meningkatkan kesejahteraan para pekerja media yang bersangkutan. Gempuran persaingan dengan media-media lain juga akan menguji sampai sejauh mana eksistensi pers daerah di masa-masa mendatang. Dalam menyikapinya maka peningkatan kapasitas manajerial harus dilakukan melalui berbagai pendidikan dan pelatihan yang intensif.

Terakhir, publik pembaca juga harus berupaya meningkatkan pemahaman tentang melek media (media literacy) sehingga dapat meningkatkan apresiasi dan partisipasi bermedia secara sehat dan kritis guna mendorong terciptanya good local government dalam arti sesungguhnya, yaitu menjamin adanya partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas, termasuk pada pelaksanaan pilkada 2010 yang berlangsung di berbagai daerah di Indonesia.

--------
[1] Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, peneliti di Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP) Yogyakarta.
[2] Undang-udang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan revisi atas UU No. 22 Tahun 1999. Revisi lewat produk undang-undang yang baru ini oleh sebagian kalangan cenderung dipandang sebagai bentuk ”re-sentralisasi” (Lihat misanya Haris., dkk, Membangun Format Baru Otonomi Daerah, 2006).
---------
sumber, digotong dari
http://bincangmedia.wordpress.com/2010/03/30/refleksi-peran-media-menjelang-pilkada-2010/
Ketika media menyuarakan kepentingan dan menjadi tunggangan yang dikangkangi kandidat

Refleksi Peran Media Menjelang Pemilukada
cahPamulang: Refleksi Peran Media Menjelang Pemilukada

Menyoal Peran Pers dalam Pilkada

Oleh: Iwan Awaluddin Yusuf


Prasyarat bagi terwujudnya proses demokratisasi adalah kebebasan ekspresi dan informasi, oleh karena itu diperlukan subsistem berupa media massa yang independen. Independensi dapat dilihat dari sejauh mana media memberikan informasi yang benar, relevan, dan objektif bagi masyarakat, sampai pada berjalannya fungsi media sebagai pengawas kekuasaan.

Pengertian kekuasaan dalam konteks masyarakat demokratis tidak hanya berorientasi pada kekuasaan pemerintah, melainkan ruang lingkup yang luas meliputi kegiatan politik, sosial, dan ekonomi. Ini sinkron dengan dua peran pokok pers yang independen: pertama, menjadi “anjing penjaga” (watchdog) bagi pemerintah; kedua, mengedukasi publik atas berbagai isu yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka sehari-hari. Contoh yang paling aktual dapat dikaji dari peran pers daerah dalam meliput penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada).

Menurut survei The Asia Foundation yang dikeluarkan pada 2004, lebih dari 90 persen masyarakat menggunakan media sebagai sumber informasi pemilihan umum (Tim LSPP, 2005). Dari besarnya angka ini tentu sangat membuka penyalahgunaan media sebagai sarana “main mata” antara pemilik media dan elit politik daerah. Mulai dari kesepakatan transaksional untuk menyediakan space iklan politik, meliput pelantikan pejabat daerah, hingga publikasi yang mem-blow up aktivitas kampanye pemilu. Kondisi ini menajdi lebih buruk jika kebetulan pemilik media atau orang kuat di struktur organisasi media adalah salah satu kandidat peserta pilkada. Yang terjadi tidak lain pers lokal menjadi aparatus kepentingan sesaat guna menggalang konstituen di daerah pemilihan. Jelas dari bentuk-bentuk penyimpangan seperti ini, pers tidak lagi dapat berfungsi sebagaimana konsepsi tradisional pers: majelis keempat demokrasi yang artinya pers sebagai pilar pengawas kekuasaan.

Tarik-menarik kepentingan antara pers dengan elite lokal dan penyalahgunaan fungsi pers lokal dalam proses pemilihan kepala daerah dapat dimungkinkan terjadi karena beberapa penyebab yang berpangkal pada satu hal, yaitu minimnya profesionalisme. Profesionalisme pers dapat diindikasi dari tiga tataran: mikro, meso, dan makro.


Pertama, level mikro, yaitu produk akhir media berupa isi atau teks, yang secara sederhana terlihat dari berita yang disajikan. Ketidakprofesionalan pers lokal terutama sangat terlihat dari berbagai pemberita tentang proses penyelengaraan pemilihan kepala daerah yang ditampilkan kurang berimbang. Dari penelitian yang dirilis Lembaga Studi Pers Pembangunan (LSPP) tahun 2005 tentang isu transparansi dan pelayanan publik terhadap 8 media cetak lokal di 4 wilayah (Lampung, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat) memperlihatkan ketergantungan suratkabar lokal tersebut yang masih tinggi dengan kekuasaan lokal. Kondisi ini jelas mempersempit ruang gerak media cetak sebagai pengontrol kekuasaan (Tim LSPP, 2005). Pada penelitian tahun sebelumnya (2004), LSPP melakukan monitoring terhadap 1.136 berita dari 10 suratkabar terkemuka Indonesia pada periode 11-25 Maret 2004. Hasil yang diperoleh adalah kesimpulan bahwa media kurang memperhatikan asas keberimbangan (cover both sides) dalam menyajikan berita. Isu seputar KKN dan uapaya reformasi militer misalnya, atau isu Dewan Perwakilan Daerah yang kandidatnya mencapai ribuan orang, hanya memperoleh perhatian peliputan yang sangat minim dibanding peristiwa-peristiwa lain yang diberitakan (Luwarso. ed, 2004).

Dalam kaitan ini, terdapat dua unsur yang mendukung ketidakberpihakan, yaitu seimbang (balance) dan netral (neutral). Seimbang adalah memberi tempat yang adil pada pandangan yang berbeda, sering disebut dengan istilah cover both sides, sedangkan netral berarti harus ada pemisahan antara fakta dan opini pribadi wartawan. Mengungkap fakta dengan objektif dengan sendirinya menjadikan media akan menjadi anjing penjaga (watchdog) terhadap berbagai penyelewengan, baik di level negara (state), masyarakat (public), termasuk perorangan. Dengan memenuhi kaidah ini, masyarakat akan berpikir serta menentukan sendiri, mana yang benear dan mana yang salah. Pers tidak perlu mendikte atau mengarahkan, cukup mengungkap fakta apa adanya, dan masyarakatlah yang memberi penilaian.

Kedua, indikasi profesionalisme pers lokal dapat dilihat dari elemen meso. Aspek ini meliputi dinamika manajerial perusahaan pers. Sorotan tajam dalam persoalan ini adalah lemahnya manajemen pers lokal dengan SDM yang tidak kompeten. Selain itu, lemahnya manajemen media ini juga berujung pangkal pada rendahnya kesejahteraan hidup jurnalis lokal, yang dalam banyak kasus diberi gaji di bawah standar UMR. Pada aspek lain, pendirian pers merupakan agenda politik elite lokal yang membawa misi menjadikan media sebagai corong membela kepentingannya. Ini tampak dari nama-nama elite poltik lokal yang tercantum dalam masshead (struktur redaksional) suratkabar.

Kurangnya profesionalisme pers lokal juga diperlihatkan dari kondisi wartawan yang tidak memiliki kompetensi dan idealisme sehingga hanya menjadikan institusi media lokal sebagai lahan mencari keuntungan. Kolaborasi mutualisme wartawan dengan kandidat pejabat daerah mengarah pada kesepakatan-kesepakatan yang menyimpang dari idealisme dan etika jurnalistik. Misanya pembinaan ini-itu, hingga mensponsori sejumlah kegiatan fiktif bagi para wartawan. Inilah yang seharusnya dihapuskan dalam anggaran pengeluaran kampanye pilkada sekaligus ditolak oleh wartawan. Penghapusan pos tersebut dapat mendudukkan pers pada posisi yang proporsional sebagai lembaga independen.

Ketiga, indikasi untuk melihat profesionalisme pers lokal adalah pada tataran makro yang merujuk pada dinamika sosial budaya, ekonomi politik, konteks sejarah, dan regulasi media. Isu yang mencolok dari aspek makro adalah ketidakjelasan aturan main bagi pers lokal dalam mengartikulasikan fungsinya. Penegakan etika yang kurang tegas, siapa yang memberi sanksi dan sanksi apa yang diberlakukan jika terjadi pelanggaran tampaknya belum sepenuhnya diakomodasi dengan baik oleh berbagai sistem hukum di negara kita, dalam pengertian lemah pada aspek penegakan, bukan pada bunyi pasal-pasal aturan mainnya. Di sisi lain, dari segi historis, menjamurnya pers lokal juga tidak sepenuhnya berangkat dari basis pemikiran kontemplatif bagi kemanfaatan publik, melainkan tak lebih sebagai tren, bahkan euforia kebebasan yang pada titik tertentu ternyata tidak dipahami maknanya oleh baik pengelola pers maupun publik media itu sendiri.

Ketiga kondisi di atas mendorong perlunya lembaga pengawas media (media watch) yang independen guna mengingatkan jika terjadi penyelewengan oleh pers selama proses pilkada. Selain itu, bagi masyarakat diperlukan edukasi bermedia melalui pendidikan literasi media sehingga masyarakat tidak hanya menjadi objek pasif media, melainkan memiliki kesadaran peran sebagai stakeholder aktif yang berhak terlibat dalam proses produksi dan distribusi informasi.

-----------

Iwan adalah dosen ilmu komunikasi, Universitas Islam Indonesia
Tulisan ini dimuat di Harian Bernas Jogja,12 Desember 2006.
-----------

sumber, diboyong dari:
http://bincangmedia.wordpress.com/2009/06/14/menyoal-peran-pers-dalam-pilkada/

Press yang sejatinya menyuarakan kebenaran, independen dan objektif dalam menyajikan berita, jika menjadi media alat kampanye suatu kandidat adalah kejahatan moral dan pembohongan publik yang merusak demokrasi. Kandidat pelaku press untuk melacurkan diri dengan membelinya jelas dan nyata adalah kandidat berjiwa kadal.

Menyoal Peran Pers dalam Pilkada
cahPamulang: Menyoal Peran Pers dalam Pilkada

Intelektual Pengkhianat

Tentunya tidak haram jika kaum intelektual/cendekiawan memasuki dunia politik seperti menjadi aktitifis atau kader partai. Bahkan kehadiran kaum intelektual diharapkan bisa membangun dan memperkuat fungsi serta peran partai politik yang tengah dilanda krisis kepercayaan karena diguncang berbagai skandal korupsi dan prilaku menyimpang secara bertubi tubi. Politik bisa menjadi sarana bagi seorang intelektual untuk menyuarakan dan mewujudkan idealismenya dalam menegakkan nilai nilai kebenaran.

Masalahnya seringkali terjadi penyimpangan pada kalangan intelektual yang terjun ke dunia politik atau menjadi birokrat. Mereka bukannya memperbaiki keadaan yang bobrok dalam dunia politk dan birokrasi, malah seorang intelektual seringkali berfungsi menjadi legitimator untuk membenarkan dan memoles prilaku korup. Alih alih memperbaiki keadaan yang bobrok, malah dirinya larut dan ikut menjadi bobrok. Lebih parah lagi, sang inteletektual gadungan ini acapkali menyerang kalangan intelektual kritis dan gerakan aktifis idealis yang dulu teman seiring sejalan dengan dirinya dalam meneriakkan kebenaran, melawan kezaliman.

Seringkali kita dikejutkan, dibuat terheran heran, oleh “manuver” mantan aktifis yang semasa mahasiswa sangat idealis. Mereka yang lantang dan gagah berani melawan korupsi. Tapi begitu jadi pejabat, ternyata menjadi koruptor jua. Penyimpangan semacam ini bukan hal baru memang. Sudah `berlangsung sejak lama. Bahkan mungkin sejak peradaban manusia ada. Seperti wabah pelacuran yang tidak pernah bisa punah.
Muchtar Lubis pernah berrtutur. Dia ditanya oleh wartawan asing, “Apakah Anda yakin mereka tidak akan korup kalau menjabat?” Dengan tegas Muchtar Lubis menyatakan yakin. Tapi ternyata dia kecele. Para pejuang yang semula dia kagumi itu berlaku korup. Tahun 1927, Julian Benda telah menyuarakan menggejalanya intelektual yang melacurkan diri dengan menjual idelismenya semacam ini di Prancis. Benda menyebutnya sebagai Intelektual Pengkhianat.

Intelektual Pengkhianat
cahPamulang: Intelektual Pengkhianat

Rabu, 23 Februari 2011

CATATAN UNTUK ARSID (7)

SYAHDAN di Italia Utara, tahun 1176, satu pasukan para kesatria Jerman yang hidup sebagai rampok datang menyerbu untuk menjarah isi kota Legnano. Tapi, berbeda dengan di tempat lain, di Legnano ternyata para penyerbu mendapatkan perlawanan sengit, lalu dikalahkan, oleh warga yang mempersenjatai diri dan bersiap-siaga tanpa rasa gentar. Sebuah tindak sukarela dengan mengandalkan pertalian yang tumbuh dari rasa ikut memiliki. Tapi zaman telah berubah: kekuatan semacam itu sulit ditemukan, meski tak hilang sepenuhnya.

Kota-kota makin rentan oleh konflik di dalam kancahnya sendiri. Bahkan bila ia segemerlap Paris atau Madrid, sebuah kota bukan lagi tempat yang selama-lamanya longgar, dan enak untuk bernafas. Ketika tiap jengkal yang kita miliki berarti tiap jengkal yang tak dimiliki orang lain—juga sebaliknya. Tak ada bagian kota yang dapat bebas dari kelangkaan dan kekurangan: itulah sebabnya ada ekonomi, orang berproduksi, dan tukar-menukar tak henti-henti dilakukan. Saya kira itulah yang traumatis dalam sebuah masyarakat kota saat ini—termasuk di Tangerang Selatan.

Di sini, orang membeli satu-dua unit apartemen di Singapura, menikahkan anak di Convention Hall Jakarta, memberi kado calon istri dengan berlian 300 juta, bukanlah hal aneh. Bahkan ada yang tak risau meski setelah kalah judi 5.000 poundsterling di London atau ludes 50.000 ringgit di Genting, Malaysia. Juga hal biasa ketika kamar rumah sakit internasional seharga 1,5 juta per hari dipenuhi pasien yang (sebenarnya) hanya menderita masuk angin, atau radang tenggorokan.

Tapi kita juga tahu, puskesmas, meski dengan pelayanan ala kadarnya—bahkan cenderung buruk—tiap hari selalu penuh oleh warga ber-KTP Tangerang Selatan, lengkap dengan rasa putus asanya masing-masing. Belum lagi saudara-saudara kita yang terlalu lama menganggur hingga akhirnya berubah menjadi perusuh kecil di jalanan, atau di pasar. Maka kita tahu apa artinya: apa yang ada di balik kota ini, yakni kekayaan yang begitu timpang dan kesempatan yang selisih jauh.

Kita segera tahu: persoalan ini tak mungkin selesai hanya dengan memberi sumbangan kepada si fakir. Kota ini butuh pemimpin, bukan penyumbang—itu pun kalau sungguh-sungguh menyumbang untuk kemanusiaan. Mungkinkah ada warga yang ingin selamanya menjadi fakir meski disantuni saban hari?. Saya tak yakin ada yang mau. Di sini Arsid sesungguhnya telah mengajari kita kearifan: betapa mustahilnya kita untuk tak menjadi ”manusia kecil”, tapi pada saat yang sama, kita toh dapat—bila mau—mengubah diri sendiri agar tak senantiasa ”lintang pukang”.

Arsid tahu persoalan kesenjangan sosial harus dapat diatasi, sebab itu ia tak bisa memilih sikap acuh tak acuh, yang sama artinya telah bersekongkol dengan ketimpangan. Ia paham, seperti kata James C Scott (1981), kemiskinan telah menyebabkan masyarakat rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup, safety life, mempertaruhkan tenaga fisik dan menerima upah yang tidak sepadan dengan biaya tenaga yang dikeluarkannya. Ini tentu menyedihkan.

Maka tepat sekali bila Arsid mengawali pembenahan Tangerang Selatan dengan menegakkan good government governance; sebagai good exercise of power—yang juga erat kaitannya dengan program pengentasan kemiskinan (social safety net), tingkat keamanan finansial, serta potensi pertumbuhan daerah. Konsep ini akan terbangun ketika kita memulainya dengan pendekatan holistik serta melibatkan banyak lembaga dan cara pandang: melibatkan berbagai unsur di dalamnya, seperti; sistem yang dibangun, kultur, publik, industri, dan sebagainya.

Ini bermakna bahwa program pengembangan daerah diharapkan memenuhi kaidah penyusunan rencana yang sistematis, terpadu, transparan, dan akuntabel--konsisten dengan rencana lainnya yang relevan--serta bermuatan adanya kepemilikan rencana (sense of ownership) bersama. Kita tahu, Arsid sangat memahami bahwa pengembangan daerah adalah sebuah proses kemitraan antara pemerintah daerah dengan stakeholders dalam mengelola berbagai sumber daya setempat secara lebih baik.

Dengan kemitraan itu program yang disusun akan mendapat dukungan optimal bagi implementasinya—tentu selama mempertimbangkan karakteristik daerah (ekonomi, social, budaya, dan politik) serta memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang (forward and backward linkage) secara kuat. Sebab menurut Blakely, ciri utama pengembangan ekonomi lokal adalah bagaimana pemerintah menitikberatkan pada kebijakan “endogenous development" mendayagunakan potensi sumber daya manusia, institutional, dan fisik setempat.

Orientasi ini mengarahkan perencana daerah untuk fokus pada proses pembangunan dalam menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang pertumbuhan kegiatan ekonomi (Blakely, 1989). Pada tataran ini, Arsid tak akan menemui kendala. Ia begitu mengenali kekuatan dan kelemahan Tangerang Selatan--di samping ia juga sosok yang inovatif dan visioner--hingga memudahkan proses transformasi gagasan dan pengetahuan baru dalam kaitannya dengan pengembangan daerah ke depan.

Meski bagi saya, salah satu yang (selalu) menarik dari sosok Arsid adalah: di dalam hatinya selalu ada kehendak untuk mengubah keadaan, ke arah emansipasi sosial dan memusnahkan ketidakadilan. Arsid muncul ketika (nyaris) tak ada yang melihat bahwa ada jalan yang bisa ditempuh untuk menyelamatkan daerah ini. Saya menyebutnya sebagai sebuah upaya untuk menghentikan persekutuan jahat yang bisa kapan saja menguasai kota ini, yang dapat menambah kerumitan persoalan di kemudian hari.

Kita tahu, untuk menghentikan persekutuan jahat itu pada akhirnya harus melalui sebuah alat: kekuasaan. Maka saya hanya ingin mengatakan: jika kita pura-pura tidak tahu (akan) ada persekutuan jahat, jika kita tidak merasa bersalah bila nanti daerah ini runtuh akibat kita merasa tak perlu berurusan dengan apa yang akan terjadi hari ini atau nanti, itu berarti kita tak lagi punya hati. Sebab pada dasarnya kita semua bisa memilih saat ini: untuk merasa gentar, terpesona, terhina, atau tidak sama sekali.

Saya yakin, Arsid tak pernah berjanji bakal membuat kota ini segemerlap Singapura atau Milan—dalam lima tahun ke depan, atau serupa Baghdad pada abad ke-10; ketika Khalifah Harun Al-Rasyid memimpin negeri Aladin itu. Ia juga tak berjanji akan menyulap Tangerang Selatan menjadi Madinat al-Munawarah (kota yang bersinar kebenaran)—seperti sebutan Rasulullah Muhammad atas kota Yastrib. Tapi kita tahu, meski tak dikatakan, Arsid—seperti kita semua—hanya ingin memulai pembenahan kota ini sebagai Madinat al-Salam; Kota Perdamaian. Bukan Madinat al-Harb; Kota Peperangan, kekacauan, dan pada akhirnya kehancuran.
Agaknya, ini waktu yang tepat bila ingin membangun sikap ethis kita: mencegah hadirnya persekutuan jahat di Tangerang Selatan.

ARU WIJAYANTO
Tangerang Selatan, 23 Februari 2011

CATATAN UNTUK ARSID (7)
cahPamulang: CATATAN UNTUK ARSID (7)

Selasa, 22 Februari 2011

Sekilas Drs. H. Arsid MSi

SEJAK awal Arsid mendapatkan perhatian orang bukan karena kemewahan, melainkan karena kesederhanaannya: bersepeda ontel, berpakaian adat Betawi, dan selalu ramah pada orang ramai. Toh, ia bukannya tak punya jas dan pantalon, tapi ia memang rendah hati dan tak jumawa, di samping memiliki sikap tenggang rasa yang tinggi. Untuk ukuran calon kepala daerah, ia termasuk orang yang enak ditemui dan tak banyak sesumbar. Baginya, yang penting adalah bekerja seraya mencapai hasil maksimal.

Arsid tak mahir melakukan akrobat panggung politik, seperti umumnya politisi atau calon kepala daerah lainnya di Indonesia. Tapi, Arsid punya komitmen: tak mungkin ia mengabaikan nilai-nilai serta tak mengacuhkan apa yang baik dan yang benar. Ia juga paham, tak mungkin dirinya menampik persoalan ketakadilan, toh, seperti kita semua, ia juga punya daftar panjang tentang hal-hal yang tak mungkin diabaikan: korupsi, kecurangan, juga ketimpangan sosial.

Pengalamannya sebagai camat di beberapa wilayah Tangerang Selatan telah meningkatkan pemahamannya tentang karakter daerah ini sebagai sebuah tatanan masyarakat yang tersusun dari berbagai macam bentuk kehidupan dan orientasi nilai: masyarakat kota multikultural. Maka tak heran bila Arsid berhasil membangun politik populis yang bersifat lintas agama, lintas etnis-kultural, dan berlaku umum (universal)—seraya tak melupakan kultur sendiri.

Ia juga memahami demokrasi lebih dari sekadar perangkat aturan dan prosedur konstitusional yang menentukan bagaimana suatu pemerintahan berfungsi. Arsid pernah mengatakan, “Dalam sistem demokrasi, pemerintah adalah salah satu unsur yang hidup berdampingan dalam suatu struktur sosial dari lembaga-lembaga yang variatif, partai politik, juga asosiasi”. Artinya, tata yang diupayakan di Tangerang Selatan adalah sebuah tata yang selalu terbuka untuk langkah alternatif, selalu bersedia mencoba cara yang berbeda dengan sumber kreatif yang beraneka.

Ia tahu, untuk menuju ke sana, kita perlu menegakkan good government governance, yang dapat dipahami sebagai good exercise of power--yang erat kaitannya dengan program pengentasan kemiskinan (social safety net), tingkat keamanan finansial, serta potensi pertumbuhan daerah. Setidaknya ada sejumlah prinsip yang harus dipenuhi dalam GGG di antaranya; Sustainability, Subsidiarity, Equity, Efficiency, Transparency dan Accountability, Civil Engagement and Citizenship, dan Security.


Sebagai seorang birokrat, Arsid memahami bahwa dirinya tak bisa abai dengan konsep Max Weber, yang mempertautkan birokrasi dengan keniscayaan dunia modern: lembaga yang memiliki arah atau sasaran yang terfokus, dan dengan demikian bersifat impersonal. Karena itu mencoba lebih fokus pada kualitas tingkat pelayanan yang diberikan kepada publik: bagaimana menata ulang prosedur pelayanan, penataan organisasi lembaga pengelolanya agar lebih efisien dan efektif, peningkatan kompetensi personil yang bekerja, dan kajian kebijakan yang mendukung peningkatan kinerja pelayanan.

Meski ia menyadari, sebuah kota—bahkan bila segemerlap Paris atau Madrid—bukanlah tempat yang selama-lamanya longgar. Tak ada bagian kota yang dapat bebas dari kelangkaan dan kekurangan. Tapi, percayalah, bahwa tiap keadaan, sebenarnya bisa diubah, toh, kita sebenarnya bisa memilih apa yang baik untuk diri sendiri dan orang lain. Apa yang akan terjadi nanti, Anda juga yang menentukannya.

COBLOS ULANG, 27 Februari 2011

Beranikah kita kehilangan pemimpin yang dapat memahami segala keterbatasan manusia: dirinya, juga orang lain?.


cahPamulang: SEKILAS DRS. H. ARSID, M.SI

Politik Dinasti. Feodalisme di Lorong Demokrasi


Oleh SUBHAN SD

Pada zaman feodal di China kuno, kekuasaan politik dibagikan di antara keluarga dan sanak saudara. Ketika feodalisme hancur sekitar kurun 200 sebelum Masehi, takhta kekuasaan menjadi obyek yang diperebutkan pemburu kekuasaan. Di Indonesia hari ini, ketika pemilu kepala daerah menjadi bagian penting sistem demokrasi, rezim keluarga menjadi pemburu kekuasaan itu.

Fenomena pasca-kehancuran feodalisme pada akhir Dinasti Chou itu sepertinya menggambarkan fenomena kekinian Indonesia. Pascafeodalisme di China, betapa kaum nonbangsawan terjangkiti syahwat berkuasa. Kisah yang dituturkan ahli sejarah, Chien Ssu-ma, yang hidup pada zaman Dinasti Chin (255-207 SM), menjadi catatan menarik. Sewaktu menyaksikan arak-arakan raja di jalan umum, kepada temannya, ia mengatakan, ”Ini (kekuasaan) bisa kurebut.”

Hasrat berkuasa seperti itu mirip dengan semangat berkuasa di alam demokrasi karena setiap orang punya hak sama. Namun, runyamnya, jalur pertalian darah atau keluarga yang merupakan ciri masyarakat tradisional justru tersemai subur di lorong-lorong demokrasi yang terus dibangun di negeri ini.
Tak mengherankan, sejak pemilu kepala daerah (pilkada) menjadi proses demokrasi di tingkat lokal pascaera otonomi daerah 10 tahun silam, politik dinasti atau rezim keluarga justru makin fenomenal. Pilkada yang melahirkan elite daerah (oligarki) kian disesaki dengan lakon suami-istri, orangtua-anak, atau kakak-adik.
Saat bupati petahana (incumbent) tidak bisa lagi ”naik ring” karena sudah dua periode, seperti diatur Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, para istri yang naik pentas. Itulah yang dilakukan Sri Suryawidati (Ida), istri Bupati Bantul, DI Yogyakarta, Idham Samawi; Titik, istri Bupati Sukoharjo, Jawa Tengah, Bambang Riyanto; dan Widya Kandi Susanti, istri Hendy Boedoro, Bupati Kendal, Jateng.

Bahkan, kasus di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, mirip gaya total football Belanda. Bupati Irianto MS Syaifuddin memberikan restu kepada istrinya, Anna Sophana, dan anaknya, Daniel Mutaqien, untuk mencalonkan diri bersama. Mereka berebut tiket dari Partai Golkar. Kasus rezim keluarga terlihat pula pada pilkada di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, atau Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Sebagai bagian dari lingkaran dalam penguasa petahana, pasti mereka memiliki modal kuat.

Nafsu kuasa tampaknya tak mudah dibatasi. Sepenggal ungkapan klasik Lord Acton (1834-1902), ”kekuasaan cenderung korup”, pun tak mampu menjadi pengingat. Tak heran, aturan UU No 32/2004 pun bisa ”diakali”. Salah satu modusnya adalah bertukar jabatan. Kepala daerah petahana memilih ”turun takhta” ke posisi wakil agar bisa ”bertarung” lagi.

Wali Kota Surabaya Bambang DH turun menjadi wakil wali kota. Sebetulnya Bambang ingin mencalonkan lagi sebab merasa pada periode pertama, ia menggantikan Wali Kota Sunarto Sumoprawiro yang meninggal. Namun, uji materi terhadap UU itu yang diajukannya kandas di Mahkamah Konstitusi.
Di Jembrana, Bali, Bupati Gede Winasa yang sudah menjabat dua periode dikabarkan akan menduduki wakil bupati mendampingi anaknya, Patriana Krisna.

Karut-marut politik rezim keluarga di pilkada kian ruwet. Contoh mutakhir adalah kasus di Bone Bolango, Gorontalo. Bupati Ismet Mile (petahana) yang bertarung kembali untuk periode kedua justru ditantang istri pertamanya, Ruwaida Mile. Pertarungan ini terpicu persoalan dalam rumah tangga.

Fenomena rezim keluarga itu, menurut pengajar Ilmu Politik Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago, tak beda dengan feodalisme pada masa silam. Hal itu membuat penyaluran aspirasi masyarakat menjadi semu. Fenomena itu, ungkap Guru Besar Kebijakan Publik Universitas Brawijaya, Malang, Solichin Abdul Wahab, memperlihatkan demokrasi belum selesai sepeninggal Orde Baru yang otoritarian. ”Pada masa Orde Baru, dinasti (rezim) keluarga menguasai sektor ekonomi. Tetapi, sekarang masuk di bidang politik,” kata Solichin. Dalam konteks rezim keluarga itu menunjukkan banyaknya penunggang gelap yang akhirnya membuat kualitas demokrasi menurun.

Apabila kondisi ini terus terjadi, kata Andrinof, tak pelak akan merusak sistem demokrasi. Padahal, tahun ini akan digelar pilkada di 244 daerah, yaitu 7 provinsi, 202 kabupaten, dan 35 kota.
Fungsi parpol
Demokrasi menjamin hak setiap orang untuk maju di pilkada, termasuk artis. Namun, sebagai bagian penahapan peradaban yang menjunjung nilai kemanusiaan, demokrasi tak melulu menjamin hak individu, tetapi juga tidak boleh melanggar hak publik dalam mencari figur pemimpin yang ideal.

Persamaan hak dalam demokrasi semestinya diikuti persyaratan bagi seorang pemimpin publik, antara lain, kualitas, kapasitas, kapabilitas, integritas, dan tentu moralitas. Dalam beberapa kasus, justru banyak parpol mencalonkan sosok populer yang sama sekali tak mengenal suatu daerah. Ini memperlihatkan, parpol lebih serius dalam urusan merebut kekuasaan ketimbang tujuan akhir pesta demokrasi, yaitu mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Runyamnya lagi, rezim keluarga juga menimbulkan pertarungan tidak fair. Rezim keluarga justru lebih diuntungkan, antara lain modal kuat, atribusi kedekatan incumbent, hingga kemungkinan pemanfaatan instrumen politik. Tak sedikit orang potensial yang kalah sebelum bertanding. Bayangkan saja, betapa muramnya demokrasi ketika muncul ”calon boneka”.

Kita tidak boleh lupa unsur demokrasi yang diintroduksi Montesquieu (1689-1755), trias politika (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), tentu agar tak terjadi pemusatan kekuasaan di satu pihak. Bahkan, Deklarasi Hak Manusia dan Warga Negara di Perancis pada 1789 menyebutkan, ”kedaulatan ada di tangan bangsa”, bukan keluarga.

Jika kondisi sekarang yang terjadi, bukan saja pembenaran kritikan Immanuel Kant (1724-1804), sesungguhnya demokrasi di negeri ini tengah menukik tajam.

----
sumber: http://cetak.kompas.com/read/2010/05/11/02513565/feodalisme.di.lorong.demokrasi

cahPamulang: Politik Dinasti. Feodalisme di Lorong Demokrasi

Catatan Untuk Arsid (6)

KAU BENAR ARSID, bahwa fitnah tak perlu dilawan dengan fitnah: keadilan tak dengan sendirinya lahir ketika kekejaman diselesaikan dengan kebengisan serupa. Bahkan riwayat Keris Empu Gandring dari Jawa abad ke-11 pada akhirnya adalah kisah tentang kepedihan, ketika Ken Arok membunuh Tunggul Ametung, lalu—atas nama “keadilan”—Ken Arok dibunuh Anusapati, dan selanjutnya Anusapati dibunuh Tohjaya. Kita tahu, keadilan bukan dendam: “mata bayar mata”. Kesabaran, pada gilirannya juga bisa menyentuh banyak orang.

Jangan lupa, banyak mata saat ini sedang menyaksikan dengan decak kagum ketika ratusan ribu penduduk Tangerang Selatan memenuhi lokasi pemungutan suara untuk memilihmu. Ketika mereka merogoh kocek sendiri untuk membuat selembar bendera bergambar fotomu, menyetak selebaran sederhana, serta membeli kopi-gula-rokok untuk menerima tamu yang bakal mendukungmu. Ketika dengan kesadaran penuh warga menghalau yang selama ini mengganggu kehidupan kota di mana pun: saat orang hanya memikirkan diri sendiri.

Memang, yang merisaukan dari sebuah fitnah bukanlah karena kebohongan itu dikhawatirkan dapat menyesatkan. Ia dirisaukan karena lahir dari ketidakadilan dan kebencian, serta berpotensi memicu gagalnya banyak pihak—yang memfitnah maupun yang difitnah, yang marah atau yang dimarahi—untuk tak tertular borok itu. Toh, fitnah—yang dirangkai dalam berbagai tulisan atau pemberitaan dengan ungkapan yang buruk--merupakan sesuatu yang diringkas dari prasangka, antusiasme, kepanikan, kepada pihak lain yang berbeda, dengan tujuan mempermalukan dan merendahkan.

Tapi kita juga paham, siapa pun yang melakukan itu pada akhirnya akan berhadapan dengan kenyataan bahwa “moralitas” yang ingin ditegakkannya justru menjadi absurd. Karena “moralitas” tersebut dibangun dengan mengedepankan hasrat untuk menguasai secara brutal dan takabur. Maka satu pertanyaan yang terganjal: beranikah warga Tangerang Selatan menyerahkan kepemimpinan kota ini kepada orang-orang yang isi kepalanya selalu dipanasi rasa asyik terhadap syak wasangka kepada tiap hal yang berbeda dengan dirinya?.

Kau pasti tahu Arsid, dengan pemahamanmu tentang kota ini, sikap purbasangka itu merupakan bentuk pengingkaran dari nilai-nilai multikultural, keragaman, yang telah lama mendasari kota ini. Penebar fitnah—seperti kelompok ekstrem kanan lainnya di mana pun--cenderung mengedepankan kebencian yang dilebih-lebihkan ketimbang kerukunan, dengan menegakkan apa yang “baik” dan “tak baik” dalam masyarakat hanya berdasarkan keyakinannya sendiri: dominasi total.

Hannah Arendt pernah menulis dalam bukunya The Human Condition (1958): “Dalam konteks upaya penguasaan secara total, proses penghancuran kekuatan pesaing tidak perlu lagi dilakukan dengan menyerang berdasarkan kejahatan yang secara obyektif dilakukan, tetapi cukup merekayasa kesalahan untuk (kemudian) dituduhkan”. Mengerikan, memang. Ada yang lupa bahwa hidup tak melulu soal penghancuran dan penguasaan, seraya memaksakan satu-dua azas saja.

Ini mengingatkan saya pada zaman kelam ketika Cesare, putra Kardinal Borgia yang terkenal rupawan dan gagah, membantu sang ayah untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Nafsu lelaki yang dikagumi kaum perempuan karena ketampanannya ini hanya satu: kekuasaan. Maka bisa ditebak bagaimana perilakunya. Ia menjadi sosok kontroversial: keji, brutal, cerdik, culas, sekaligus dapat “menenangkan” rakyat.

Cesare adalah tipe penguasa yang tegas dan efektif dalam menipu, menjebak, dan membinasakan siapa pun yang menghambat jalannya menuju penguasaan. Namun dalam memerintah, Cesare—yang hidup menyendiri, setengah sembunyi, di Roma—dapat begitu pintar mengambil hati rakyat di bawahnya. Sebab itu sejarah kekuasaannya, seperti kekuasaan ayahnya, menjadi sejarah perdebatan yang tak berkesudahan—bahkan bukan hanya di Italia.

Meski banyak orang mengakui, dorongan utama Cesare dalam hidup hanyalah dorongan politik semata: kekuasaan dan ketertiban, sebab itu tak heran bila Machiavelli sangat mengaguminya. Sebuah tindakan yang sesungguhnya merendahkan proses politik itu sendiri, ketika politik (hanya) dianggap sebagai sesuatu yang dipandangi secara was-was terus-menerus: pertempuran yang tak pernah selesai dan dengan menghalalkan segala cara.

Agaknya kita lupa, cepat atau lambat--kata Weber--penilaian lain (akan) menonjol: penilaian berdasarkan rasa tanggung jawab atas keselamatan masyarakat umum dengan segala beda keyakinan tentang apa yang “baik” dan “tak baik” yang diterima keramaian itu. Artinya, ini adalah soal “pengakuan” bagaimana memahami kehadiran orang lain dalam perkara “ada” dan “tiada”, yang pada gilirannya akan menggiring kita untuk lebih peka terhadap “batas”.

Diakui atau tidak, kita akan segera menyadari bahwa tiap kekuatan, juga kekuasaan—sebesar apapun--sesungguhnya memiliki batas. Benar, manusia dapat mengakali dunia, namun sifatnya tak abadi. Manusia menyusun proyeksi, langkah dan skala prioritas, seraya menyadari bahwa ia (sesungguhnya) tak pernah tahu apa-apa saja yang akan berubah bersama waktu serta bagaimana proses perubahan itu sendiri. Di sini kita tahu, akan selalu ada hal-hal yang tak bisa hadir lagi.


Maka teror bahasa yang belakangan ini dialami Arsid—seperti di Burma, atau Mesir sebelum Mubarak lengser, dengan koran lokalnya yang muram dan tak mencerahkan--sesungguhnya telah mengambil alih posisi hukum dan menghancurkan hal terbaik dari apa yang kita punya: martabat manusia. Sebagai korban, tentunya Arsid tahu benar, betapa bedanya “dipermalukan” dengan bentuk “kekerasan” lain. Dipermalukan dapat membangkitkan rasa sakit yang bisu. Bahkan untuk berapa waktu, kita bisa saja tak sanggup membicarakannya dengan keluarga, atau juga teman.

Tapi bisakah kita hapuskan apa yang lebih berarti dalam diri Arsid, yakni sikap rendah diri seorang korban? Seorang yang tak kunjung selesai “dihabisi” dengan bahasa-bahasa yang muram, namun menyikapinya dengan ketenangan?. Bukankah di saat seperti itu, Arsid—“sang korban”—justru bisa mendapatkan auranya sendiri?. Kelirukah saya bila menerka bahwa akibat dari semua ini, maka saya katakan: “Saudara Arsid, besok akan lebih banyak lagi yang ikut serta denganmu”. Maka tak perlu cemas pada 27 Februari nanti.

Dan, saya juga ingin bertanya kepada para pembuat teror bahasa: Apakah Anda sangat yakin—dengan memfitnah secara bertubi-tubi—maka jadi dekatkah Anda dengan pemilih? atau justru jadi tambah kacau?. (*)

ARU WIJAYANTO
Bogor, 20 Februari 2011



cahPamulang: CATATAN UNTUK ARSID (6)

Catatan Untuk Arsid (5)

SUKA tidak suka, mesti kita akui bahwa Tangerang Selatan nyaris berada di titik rawan situasi urban sprawling, yakni pembangunan yang tidak terpola dengan baik, hingga berakibat munculnya sejumlah persoalan tata ruang yang kompleks, di mana permasalahan di satu subsistem akan mempengaruhi subsistem lainnya. Seperti kota-kota besar lainnya di Indonesia, Tangerang Selatan kian dirundung macetnya lalu lintas: sebuah indikasi bahwa ruas jalan tak (pernah) cukup. Maka kita seringkali begitu lebih lama di jalanan ketimbang di kamar.

Saya melihat, permasalahan tata ruang bukan sekadar soal bagaimana melakukan tahapan pengembangan wilayah yang terdiri dari perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ruang, tetapi juga tentang itikad baik dan komitmen dalam mengedepankan kepentingan publik. Sebab itu saya, juga ratusan ribu orang di kota ini, memercayai Arsid—dengan bermodalkan itikad baiknya--dapat mengatasi sejumlah program pengembangan selama lima tahun pertama kota ini.

Toh, bukankah selama ini kita sudah belajar dari Arsid bahwa politik juga berarti sebuah sikap gotong-royong, kebersamaan yang tulus?. Maka, sesibuk apa pun sebuah kota, pada akhirnya kita akan membutuhkan ruang, sebagiannya tersembunyi dalam hati, yang tak hendak dan tak bisa diperjual-belikan: sebuah pojok di taman, sebuah sudut kota yang menyimpan kenangan, sebuah pasar yang menambat hati, sebuah kedai, sebuah stasiun bis, juga sebuah tempat pertemuan yang ramah. Karena kota ini juga bukanlah sebuah ruang transit—bahkan bila ia sungguh-sungguh mampu menjadi “Singapura” di Banten.

Negeri Singa itu juga mengawali pembangunannya dengan itikad baik, ketika tiap hal dilaksanakan secara transparan dan terbuka untuk publik. Tiap warga dapat dengan mudah mengakses masterplan pembangunan Singapura, baik di kantor The Urban Redevelopment Authority (URA) maupun lewat internet. Pemerintah Singapura pun cukup disiplin saat menjaga konsep dasar pembangunannya yang telah disusun sejak tahun 1971, dengan beberapa bagian direvisi untuk menyesuaikan perkembangan zaman. Kereta api cepat atau MRT yang dibangun pada era 1990-an, misalnya, telah tercantum di rencana tata ruang kota Singapura sejak 1971.

Maka dokumen rencana tata ruang wilayah (RTRW) sebagai landasan pembangunan sektoral yang berbasis ruang agar terjadi sinergi dan efisiensi pembangunan, jangan sampai menjadi macan kertas. Sebab kedisiplinan terhadap RTRW sangat penting untuk menghindari kemungkinan terjadinya konflik pemanfaatan ruang antarsektor yang berkepentingan dan menciptakan urban sprawling—yang dapat mendorong Tangerang Selatan menjadi sebuah “kampung besar” yang sumpek, dengan tingkat kemerosotan daya dukung lingkungan yang signifikan dan rentan dengan penyakit sosial yang makin beragam.

*****

SAYA rasa Arsid paham sekali bahwa rendahnya daya tawar pemerintah daerah terhadap pengembang swasta bakal menimbulkan resiko munculnya opportunity cost—baik nilai ekonomi langsung maupun tidak langsung. Opportuniy cost adalah peluang ekonomi yang hilang akibat kekeliruan dalam pengambilan keputusan terhadap alokasi pemanfaatan ruang suatu kawasan. Akibatnya, ekstraksi terhadap suatu kawasan sering diikuti dengan timbulnya anggaran eksternalitas yang bukan tidak mungkin nilainya bisa melampaui angka keuntungan jangka pendek dari praktik ekstraksi tersebut.

Hal ini dapat dilihat ketika pemerintah daerah harus mengeluarkan anggaran penanganan banjir atau bencana alam lainnya—seperti peristiwa Situ Gintung, misalnya--sebagai akibat dari kekeliruan pengambilan kebijakan dalam penetapan tata guna lahan. Artinya, dibutuhkan kejelian dan kecermatan para perencana daerah maupun pengambil kebijakan dalam melakukan pengembangan dan pemanfaatan ruang ke depan. Kita harus sungguh-sungguh pandai berhitung, yang mengacu pada studi dan penelitian, mengenai nilai ekonomi bersih dari setiap alokasi pemanfaatan ruang sebelum mengambil keputusan.

Memikirkan kembali konsekuensi dari apa yang diputuskan, sebagai dampak positif-negatif sebuah penataan ruang, termasuk bagaimana mengelola dampak terburuk yang diperkirakan bakal muncul. Karena pada dasarnya, apa yang akan terjadi dalam sebuah perencanaan tata ruang, pokok pertimbangannya bukan sekadar perbandingan antara “nilai manfaat” (nilai ekonomi peranan ekologis dalam mendukung perekonomian lokal jika dapat mempertahankan keutuhan ekosistem) dengan “nilai biaya” (nilai finansial dari praktik ekstraksi sumber daya lokal yang dilakukan swasta).

Maka yang terbaik dari apa yang kita punya adalah, perencana daerah harus mempertimbangkan konsep pembangunan partisipatif--dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders)--serta tidak mengabaikan pendekatan ekologis. Pada tataran ini, dengan penguasaannya yang tinggi terhadap karakter Tangerang Selatan, Arsid akan jauh lebih mudah merealisasikannya, ketika ia mengawali program pembangunan daerah dengan sebuah perencanaan tata ruang yang memperhitungkan pola pembangunan berkelanjutan dengan dimensi ekonomi, sosial, dan ekologi, serta kebijakan transportasi baru yang bersifat efektif dan komprehensif.

Setidaknya ada beberapa prinsip yang harus menjadi pertimbangan dalam konteks pembangunan kota berkelanjutan, di antaranya; environment (lingkungan), enforcement (penegakan hukum), employment (lapangan kerja), engagement (partisipasi masyarakat), enjoyment (warga menikmati suasana kota), energy concervation (bangunan dan transportasi yang hemat energi atau ramah lingkungan), ethic (etika dalam membangun), dan equity (hak yang sama terhadap sesama warga kota).

*****

TERKAIT dengan era globalisasi saat ini, banyak kota dan wilayah--mau tidak mau—akan terintegrasi dalam suatu jejaring (networks) di mana satu wilayah dengan wilayah lainnya akan saling terkait erat. Maka, kebijakan tata ruang menjadi sangat berkaitan dengan kebijakan sistem prasarana transportasi yang diterapkan. Prasarana transportasi merupakan sebuah sistem jaringan yang secara fisik menghubungkan satu ruang kegiatan dengan ruang kegiatan lainnya. Antara ruang kegiatan dan transportasi terjadi hubungan yang disebut siklus penggunaan ruang transportasi.

Dengan demikian, perencanaan transportasi dan rencana tata ruang—dalam konteks hubungan timbal balik—harus dapat dihubungkan secara terpadu (integral) sehingga interaksi transportasi di dalam jaringan mampu mendukung roda perekonomian masyarakat, meningkatkan produktifitas, mengurangi waktu tempuh perjalanan, melancarkan arus lalu lintas, mengurangi potensi kecelakaan lalu lintas, meningkatkan harga properti, dan menciptakan lingkungan yang sehat.

Ini yang disebut perencanaan tata ruang dengan konsep jejaring kota (network of city), di mana kota dirancang secara bersama-sama yang akan menghubungkan dengan kota-kota lain di sekitarnya melalui jaringan transportasi umum. Di sini, perencana daerah harus mampu mengembangkan kebijakan tata ruang secara terpadu yang mampu mengatur hubungan antarwilayah. Meski kita tahu, kota dan wilayah yang terimbas serta terintegrasi ke dalam jejaring itu sebenarnya bersifat selektif. Artinya, hanya kota dan wilayah yang memiliki keunggulan (competitiveness) saja yang dapat masuk ke dalam sistem tersebut—setelah terjadi kompetisi dalam menarik minat investasi.

Kita sama-sama tahu, ini prasyarat yang tidak mudah, dan sebab itu--sekali lagi--kita memilih Arsid untuk memimpin kota ini. Karena kita tak ingin kota ini dipenuhi dengan masyarakat yang bukan masyarakat, sehimpun orang ramai yang berhubungan satu sama lain tapi saling tak mempercayai. Karena kita tak ingin Tangerang Selatan menjadi sebuah kota yang dibuat tak berdaya oleh korupsi yang bukan sekadar mencuri. Ketika korupsi bukan sekadar perbuatan jahat yang “membangun” wilayah dengan menyulap biaya sampai melambung maupun pembuatan proyek fiktif atau tanpa guna untuk mendapatkan anggaran.

Korupsi pada sebuah kota adalah jumlah dari semua itu ditambah dengan efek sampingnya yang tak terelakkan: kelumpuhan di tengah krisis. Pada saat itulah, kota ini akan runtuh, pelan-pelan. Saya rasa soal ini bisa diselesaikan dengan memilih pemimpin yang sungguh-sungguh mencintai Kota Tangerang Selatan. (*)


ARU WIJAYANTO
Tangerang Selatan, 18 Februari 2011
cahPamulang: CATATAN UNTUK ARSID (5)