Sabtu, 05 Februari 2011

Berdemokrasi Tanpa Kecurangan (Lagi) - Aru Wijayanto

KITA tak akan pernah dapat kembali lagi ke keadaan sebelum tindakan dilakukan, sebab, tindakan, sekali dilaksanakan maka tidak akan pernah dapat dibalikkan lagi. Begitu kata Hannah Arendt dalam bukunya The Human Condition (1958). “Manusia bukan hanya tak selalu mampu mengetahui dan mengontrol efek dari tindakannya,” tulis Arendt, “tapi ia juga seringkali tak bisa menghentikan rangkaian tindakan yang muncul, begitu ia memulainya”.

Agaknya ini yang dilupakan sejumlah birokrat Pemerintah Kota Tangerang Selatan saat “bertindak” dalam pilkada lalu: berpihak pada salah satu kandidat. Akibatnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan pilkada harus diulang karena terjadi kecurangan secara sistematis dan terstruktur. Maka yang tak terhindarkan, pemungutan suara ulang diawali dari suasana gerah, kemarahan yang setengah ditelan, juga hancurnya sikap saling percaya-mempercayai; bukan hanya kepada pemerintah daerah, tapi juga terhadap lembaga penyelenggara dan pengawas pemilihan yang kenyataannya (memang) tak mampu mencegah tindakan melenceng itu agar tak terjadi.

Akibat selanjutnya mudah ditebak: sebagian orang “tergiring” situasi bahwa manusia hanya patut berpolitik bila tampil dengan wajah sengit, kalap, dan marah yang tak reda-reda. Bentrok dalam pendapat menjadi bagian dari ketegangan sehari-hari yang (seakan-akan) tak pernah dapat diselesaikan dalam hidup. Permusuhan “ideologis”—seperti rasa benci yang melembaga dan memiliki organisasi--diletakkan di wilayah terbuka dengan “korban” yang ditentukan: sebuah gerak rasa dan sifat bengis yang menjadi impersonal, seolah telah tertanam kesumat berabad-abad lamanya.

Kita tak tahu lagi apa peran politik ketika orang bicara tentang manusia bukan lagi sebagai “sesama”, tapi sebagai “lawan”. Dalam situasi begini, komunikasi kritis tentu tidak laku. Toh, menurut Mikhail Bakhtin, debat terbuka yang kritis tidak dengan sendirinya mampu membuka pintu ke sebuah ruang di mana orang bisa bertemu dan bersepakat. Tak jarang, yang terjadi justru sebaliknya: makin beragamnya pendapat dan pandangan. Bagi Bakhtin, orang yang berbeda, punya pandangan dunia yang berbeda pula, dan ketika mereka sadar bahwa intuisi mereka tentang realitas berbeda, maka mereka akan semakin ketat dalam pilihan posisi mereka.

Yang menarik di situ adalah kenyataan bahwa manusia—saat berpolitik--justru sering menggunakan “kemampuannya” untuk bertindak tak menggunakan nalar. Politik diasumsikan hanya sebagai urusan perasaan optimis atau pesimis yang tak logis, termasuk ketika tak ada dasar yang kuat untuk sebuah perhitungan yang masuk akal—meski sah. Seperti saat kita nekat membuat prediksi politik—dalam jajak pendapat, misalnya—yang tak ubahnya kisah Ramayana dengan akhir bahagia: Shinta kembali mendampingi suaminya setelah Dasamuka yang jahat itu mati.

Kita lupa, manusia adalah makhluk yang bisa meleset dalam memprediksi. Kita menyamarkan ketidakpastian dari diri kita sendiri dengan berasumsi bahwa apa yang kita raih nanti, masa depan, serupa dengan masa lalu. Kita lupa bahwa manusia (sesungguhnya) sulit menjadi subyek­ yang seutuhnya dapat diterjemahkan oleh bahasa: ia bisa berganti-ganti maknanya, sosoknya, suaranya, juga lakunya—kapan saja ia berkehendak. Toh, tak selamanya perjalanan hidup manusia merupakan buah dari “sebab-dan-akibat”.

Barangkali, ini sama artinya dengan tiap manusia memiliki saat-saat kritis untuk memilih apa yang “benar” atau “tak benar”, memilih untuk berbuat “curang” atau “tak curang”. Pertanyaannya, dalam konteks kecurangan yang terjadi pada pilkada Tangerang Selatan, dapatkah kata “maaf” memulihkan hubungan? Dapatkah kita (kembali) percaya--katakanlah kepada Pemerintah Kota Tangerang Selatan--setelah apa yang telah dilakukan sebelumnya?.

Menurut Arendt, “maaf” adalah sebuah “tindakan baru” yang tidak lagi diikat oleh tindakan sebelumnya, sehingga maaf membebaskan kedua belah pihak (yang dimaafkan maupun yang memaafkan) dari konsekuensi tindakan sebelumnya. Tapi jangan lupa, “pemaafan” selalu terkait dengan “janji”. Artinya, pemaafan mungkin bisa melahirkan pengharapan, tapi tak serta-merta menyembuhkan “kerusakan” yang sudah ditimbulkan oleh perbuatan masa lalunya.

Filsuf politik ini juga mengingatkan, orang tidak mungkin memaafkan apa yang tidak bisa mereka hukum; sebaliknya, orang juga tidak bisa menghukum orang yang terlibat dalam tindakan yang ternyata tak bisa dimaafkan. Inilah yang sudah sejak zaman Immanuel Kant dikenal sebagai kedurjanaan radikal (radical evil); suatu tindak kejahatan yang pada hakikatnya tetap saja sukar untuk dimengerti, sulit dilumrahkan. Lucunya, tak ada satu pihak pun yang mengungkapkan rasa maaf, rasa sesalnya, setelah Hakim Konstitusi menyatakan pilkada Kota Tangerang Selatan bermasalah hingga harus diulang.

Tapi sudahlah, di sini kedewasaan kita sebagai warga diuji. Meski setelah dibohongi, kita masih harus (mampu) menumbuhkan rasa percaya. Sulit, tapi sungguh mati memang hanya seperti itu caranya: percaya, sekali lagi, kepada pengelola kota ini. Dengan modal itu kita bisa datang ke lokasi pemungutan suara ulang: membangun jaminan atas Tangerang Selatan dengan harapan--“yakin-tak-yakin”--bahwa besok apa yang dibangun ini tak akan dikhianati (lagi).

Saya rasa begitulah rasa percaya-mempercayai selalu diuji; benarkah begitu kuat usaha kita untuk menjaganya, ataukah rasa itu terlalu mudah menyerah karena berbagai macam halangan yang sebenarnya bisa saja diatasi. Toh, rasa percaya memang sesuatu yang selalu diperjuangkan terus-menerus agar tetap bertahan. Jangan lupa, Tangerang Selatan sudah berada di posisi injury time, juga nyaris kehabisan waktu dan tenaga. Hingga saya hanya bisa mengatakan alangkah memilukannya, bila kecurangan--kejahatan sistematis dan terstruktur itu--kembali dilakukan dalam pemungutan suara ulang 27 Februari mendatang, persis seperti pilkada yang lalu.

Sungguh, alangkah nistanya, bila kita bergegas menuju takhta kekuasaan—meminjam istilah Nietzsche; “will to power”—dengan menghalalkan segala cara. Saya rasa, hidup terlalu berharga bila hanya diisi dengan sikap curang, culas, dan korup. (*)

ARU WIJAYANTO

Tangerang Selatan, 1 Februari 2011


Source :
Download :

cahPamulang: BERDEMOKRASI TANPA KECURANGAN (LAGI)