BERAWAL dari sebuah tempat pemancingan yang tak ramai, konon—kata seorang teman--Arsid memantapkan langkahnya untuk maju sebagai calon wali kota Tangerang Selatan, setelah sempat ditimbang-timbang kembali. Entah kalimat apa yang mampu menepis cemas seorang Arsid hingga berubah menjadi yakin—campur nekat, tentunya—untuk tetap maju menjadi salah satu kandidat sebuah perhelatan besar yang tegang hingga ke saraf kaki itu. Pada awalnya, banyak orang--termasuk saya--menganggap Arsid hanya main-main saja. Toh, Arsid bukan tokoh partai dan bukan anggota dinasti pemimpin partai. Sebagai birokrat, ia juga tak terlampau tersohor dalam pasaran media. Mampukah ia menandingi popularitas pesaingnya?.
Situasi ini sempat mengingatkan saya akan legenda pertarungan antara Sutawijaya dengan Aryo Penangsang dalam perebutan takhta Kesultanan Demak abad ke-16. Sutawijaya, anak muda yang hanya bermodal nyali cukup itu datang menghadapi Aryo Penangsang yang jauh lebih ulung dalam perang tanding. Tapi, agaknya pendekar muda ini punya sisi hidup yang lain: ia selalu tampak diberkahi. Setelah menang melawan Aryo Penangsang tanpa perlu membunuhnya, Sutawijaya kembali sukses menyingkirkan Sultan Pajang--yang semula disembahnya—pada tahun 1584, hingga ia berhasil mendirikan Kerajaan Mataram Baru dua tahun kemudian.
Nasib memang bisa tak terduga-duga, tapi layakkah bila kita hanya mengandalkan hal “yang-tak-terduga” dalam sebuah ajang pilkada?. Kita sadar, seorang birokrat sangat akrab dengan image kekurangan dan kelemahan, seorang yang selalu bertemu dengan segala macam bentuk kerumitan. Apalagi Arsid tak mengawali perjalanannya dengan “kami” yang pasti, juga tanpa bendera partai politik besar. Namun, keyakinan dan kemampuannya memposisikan diri senasib sepenanggungan dengan arus bawah, bicara langsung dengan orang ramai itu, ternyata membuat Arsid langsung memukau dan didukung mereka.
Dari sini politik populis Arsid kian terang benderang. Arsid sadar: manusia ada dan tak bisa bebas dari kekurangan, bahkan keburukan. Nobody’s perfect. Sebab itu ia berbincang kepada masyarakat bahwa tiap keadaan, tiap keburukan, sebenarnya bisa diubah, toh, manusia sebenarnya bisa memilih apa yang baik untuk diri sendiri. Maka yang tak disangka-sangka menjadi kenyataan: di jalanan, di tanah lapang, di kawasan permukiman padat penduduk, bendera Arsid dikibarkan dengan rasa bangga. Ia langsung jadi tokoh yang diharapkan memimpin Kota Tangerang Selatan.
Perlahan tapi pasti, masyarakat mulai membuat dan memasang sendiri bendera Arsid dengan ikhlas, lembar demi lembar. Apakah arti sebuah bendera? Selembar bendera adalah soal harga untuk menandai ”kami” yang ”bukan-mereka” dan ”mereka” yang ”bukan-kami”. Bendera adalah saksi sejarah bahwa identitasku punya arti karena ada perbatasan dengan ”dia” yang di luar diriku. Dalam arti itu, ”aku”—juga yang lain--jadi sebuah totalitas yang seakan-akan utuh, meski identitas bisa menjadi genting.
Yang menarik di sini ialah bahwa Arsid—yang tak dipacak oleh konsep kampanye yang lengkap—tiba-tiba dapat menjadi dahsyat dalam sebuah proses pilkada di mana seakan-akan kegelisahan akan kebenaran dan rasa keadilan, telah menggugah tiap-tiap hati warga. Hari itu, 13 November 2010, Tangerang Selatan seolah-olah mengalami sebuah kejadian yang transformatif: ada subyek yang bangkit. Saya mencoba membayangkan: pagi hari, di sekitar lokasi pemungutan suara, semua yang hadir telah paham; mereka akan melakukan sesuatu yang luar biasa. Hari itu memang bakal ada yang bangkit dan ada yang runtuh.
Namun yang runtuh bukanlah sebuah kekuasaan politik, toh, ini kali pertama pilkada digelar. Otoritas yang ada hanya bersifat sementara. Bagi saya, yang ambruk saat itu adalah sebuah wacana: bangunan perumusan. Sebuah wacana yang dibangun dan ditopang kekuasaan, dan sebaliknya membangun serta menopang kekuasaan itu, dengan mencengkeram. Pada kertas selembar yang dimasukkan ke kotak berbahan alumunium itu, warga menyatakan kegundahannya dan menegaskan diri. Kita tahu, dalam keadaan diabaikan, dipinggirkan, orang memang tak akan hanyut dalam keheningan. Ia akan meletakkan diri sebagai subyek dan bertindak.
Karena itu Arsid dipilih dengan dukungan yang antusias dan disambut dengan perasaan ahlan wa sahlan wa marhaban; penuh suka cita dan bahagia. Disadari atau tidak, diakui atau tidak, Arsid—bersama Andre Taulany--telah menjadi simbol kebangkitan Tangerang Selatan, terutama ketika dusta menguasai percakapan sehari-hari. Meski kita tahu, kebangkitan itu bukanlah suatu mukjizat: tak datang dari langit. Toh, kota ini muncul bukan dari ketiadaan total. Ada masa lalu yang tetap membayang—sebuah masa silam yang traumatik. Tangerang Selatan saat ini adalah sebuah kota yang belum lengkap, belum utuh, sebab memang begitulah ia dibentuk: dari pemotongan.
Maka Tangerang Selatan pun belum berhenti mendamba, berhasrat, agar dirinya utuh. Kota ini belum selesai, belum apa-apa, tapi tiap kali kita bisa memberinya arti: mengukir sejarah. Dan, Arsid telah ikut membuat sejarah itu; sebuah sejarah dengan demokrasi yang ternyata bisa mengembangkan diri. Sebuah proses demokrasi yang sedang menunjukkan bahwa kelompok yang tak diunggulkan—karena tidak berasal dari partai politik besar—ternyata bisa bergerak, mendesak, hingga nyaris mencapai puncak.
Arsid, terutama jika ia menang dalam pemungutan suara ulang 27 Februari mendatang, akan menjadi indikator bahwa demokrasi Tangerang Selatan telah membuat antagonisme dalam politik tak memutlakkan dasar antagonisme itu sendiri. Toh, demokrasi adalah satu proses perubahan yang bisa memberikan inspirasi bagi siapa saja, selama politik dipahami sebagai sebuah proses pencarian dan artikulasi tentang apa yang universal: suatu pergulatan antar kelompok yang mau tak mau terdorong membentuk “kita”, juga tak mengacuhkan persoalan ketidakadilan.
Saudara Arsid, Anda telah memulihkan kembali harapan warga kota ini; mengukir perubahan wacana. Kami percaya—sungguh hanya kepada Anda--bila menang nanti, Anda tak akan menyia-nyiakan amanat itu.
ARU WIJAYANTO
Tangerang Selatan, 4 Februari 2011
Source :
Download :
cahPamulang: CATATAN UNTUK ARSID (1)