SEJAK awal Arsid mendapatkan perhatian orang bukan karena kemewahan, melainkan karena kesederhanaannya: bersepeda ontel, berpakaian adat Betawi, dan selalu ramah pada orang ramai. Toh, ia bukannya tak punya jas dan pantalon, tapi ia memang rendah hati dan tak jumawa. Untuk ukuran calon kepala daerah, ia termasuk orang yang enak ditemui dan tak banyak sesumbar. Baginya, yang penting adalah bekerja seraya mencapai hasil maksimal. Ia memang tak pernah mengelakkan tugas dan cenderung pragmatis, sebab itu Arsid tak mahir melakukan akrobat panggung politik—seperti umumnya politisi atau calon kepala daerah lainnya di Indonesia.
Sikap pragmatik itu, sebagai sebuah keniscayaan, tak berarti sikap yang hanya mengutamakan hasil dan tak mempedulikan nilai-nilai, tak mengacuhkan apa yang baik dan yang benar. Arsid paham, tak mungkin ia mengabaikan persoalan ketakadilan dalam aturan main, toh, seperti kita semua, ia juga punya daftar panjang tentang hal-hal yang tak mungkin diabaikan. Ia tahu, di tengah gegap-gempitanya Tangerang Selatan, ada juga warga yang mengaduh, Mereka yang terkungkung dalam ketiadaan. Mereka yang ada dari protes, kemudian jadi subyek. Mereka lemah, mungkin, tapi tekad mereka sebenarnya tak mengherankan.
Arsid tahu betul, bila ia tak maju menjadi kandidat, siapapun bisa mengabaikan apa yang berarti di hari ini. Ia memahami daerah ini sebagaimana ia memahami dirinya dan orang lain. Kesadaran akan diri sendiri sekaligus kesadaran untuk orang lain. Sebab itu percayakah Anda bila dikatakan seorang Arsid, yang sangat memahami karakter wilayah ini--bahkan sebelum dinamai Tangerang Selatan—sebagai daerah yang tidak pernah homogen, tidak tunggal, disebut-sebut hanya (akan) memperjuangkan kelompok etnis tertentu, namun ternyata berhasil mendulang angka 187.778 suara pada pilkada lalu? Sungguhkah suara sebanyak itu hanya dari satu etnis?
Sungguh mati saya tak percaya. Yang lebih masuk akal adalah, Arsid berhasil mendulang suara sebab ia mampu membangun politik populis yang bersifat lintas agama, lintas etnis-kultural, dan berlaku umum (universal)—sesuai dengan karakter kota ini—seraya tak melupakan kultur sendiri. Toh kultur, juga pengalamannya sebagai camat di Pamulang, Serpong, dan Cisauk—serta sekretaris camat di Pondok Aren—telah menggemblengnya untuk memahami wilayah Tangerang Selatan sebagai sebuah tatanan masyarakat yang tersusun dari berbagai macam bentuk kehidupan dan orientasi nilai; masyarakat kota multikultural.
Dengan demikian, upaya pembangunan Tangerang Selatan sebagai manifestasi praksis ide politik memang harus bersifat menyeluruh dan sistematik dalam kerangka pikir holistik. Arsid berhasil, setidaknya bila kita melihatnya dari hasil perolehan suara. Semangat universal ini yang membuat Arsid menjadi sosok perjuangan, jadi panggilan yang menggugah. Sebab bukan ”aku berontak, maka aku ada”, melainkan, seperti tulis Albert Camus dalam l’Homme Révolté, ”aku berontak, maka kita ada”. Dari sini pula solidaritas lahir dan Arsid—selamanya sebuah gerak bersama—bangkit.
Seperti kata Bung Karno: ”…cacing pun tentu bergerak berkeluget-keluget kalau merasakan sakit!”.
* * * * *
BAGI saya, wacana etnisitas yang sering dikaitkan dengan Arsid merupakan sebuah pengertian yang gegabah terhadap pemahaman konsep optimalisasi peran lokal di era otonomi daerah, yang juga dilakukan di berbagai daerah di Indonesia. Saya yakin, jauh-jauh hari Arsid pasti sudah hancur sebagai birokrat bila ia tidak berhasil memahami bahwa Tangerang Selatan lahir dan kokoh karena faktor kemajemukan (pluralism) dan keanekaragaman (diversity).
Namun kenyataannya, ia mampu bertahan dan berkembang; karena tidak terjebak pada perasaan yang berorientasi pada kebesaran masa lampau yang cenderung bersifat feodal-diskriminatif. Bila kita masih ingat, dalam acara debat terbuka di Metro TV saat masa kampanye lalu, Arsid sempat menyinggung mengenai bagaimana ia nanti bakal menyoroti pola pertumbuhan sektoral yang diupayakan tidak terjadi kesenjangan, khususnya antara sektor tradable (industri manufaktur) dengan sektor nontradable (properti, telekomunikasi, dan jasa-jasa lainnya).
Saat itu ia bicara mengenai program pengembangan ekonomi daerah, yang berkaitan langsung dengan program peningkatan lapangan kerja, mengurangi angka kemiskinan, dan memperbaiki ketimpangan pendapatan penduduk. Artinya, konsep “inisiatif lokal” ini sesungguhnya telah sejalan dengan semangat UU tentang Pemerintahan Daerah yang secara tegas mencantumkan bahwa penyelenggaraan otonomi daerah diarahkan untuk: “mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Bukankah kita semua juga berharap para entrepreneur lokal di Kota Tangerang Selatan dapat memberikan peran yang signifikan terhadap produktivitas daerah sekaligus menjadi inovator dalam berbagai aspek pembangunan sosial-ekonomi, di samping menjadi pelopor demokrasi?. Bagi saya hal ini menjadi sangat penting dilakukan untuk mencegah terjadinya penyingkiran atas entrepreneur lokal oleh kekuatan ekonomi besar yang dominan, baik dalam konteks daerah maupun negara. Inilah salah satu alasan mengapa desentralisasi perlu dilakukan, agar nilai-nilai individu dan kesejahteraan kolektif masyarakat setempat dapat lebih mudah diwujudkan.
Meski kita tahu upaya ini tidaklah mudah karena berkaitan dengan penegakan konsep good governance government secara utuh, terutama dalam hal birokrasi pemerintahan, lembaga hukum, dan pelayanan umum lainnya. Sebab itu saya—juga Anda—sepakat ketika Arsid berjanji akan melakukan reformasi birokrasi. Menurut Max Weber, birokrasi merupakan bentuk organisasi, kepemimpinan dan kewenangan yang bersumber dari kerangka yang lebih rasional ketimbang kharisma dan tradisi.
Tindakan birokrasi dilakukan untuk pemecahan masalah dan ditujukan untuk efisiensi yang dapat dihitung atau diprediksi. Maka reformasi birokrasi memang perlu dilakukan bila kita menginginkan Kota Tangerang Selatan ke depan menjadi sebuah daerah yang kuat dan berkembang, lengkap dengan birokratnya yang akuntabel, transparan, efisien, dan efektif—demi menunjang optimalisasi pelayanan publik.
Jadi, alangkah naifnya bila hanya karena kegemarannya mengenakan pakaian adat, lantas Arsid dituding sebagai sosok yang tidak plural. Tapi sudahlah, perolehan suara pilkada lalu telah membuktikan bahwa Arsid bisa diterima di seluruh elemen masyarakat. Sebuah bukti bahwa ia—semoga istilah ini tidak terlalu berlebihan—memiliki nafsul mutmainnah; jiwa yang tenang dan bersih.
Ada yang percaya, manusia membuat sejarah karena dilecut hal-hal yang mustahil: hal yang dicita-citakan sebagai alternatif bagi hidup yang tak pernah penuh. Dan, Arsid sudah di dalam sejarah itu, agar kita berhenti cemas. Ayo, Bung, kita ucapkan: La Laisa, No Way, untuk yang lain. Seperti kata Rendra dalam sajaknya:
.....
Kita menyandang tugas
kerna tugas adalah tugas
Bukannya demi sorga atau neraka
Tetapi demi kehormatan seorang manusia
.....
ARU WIJAYANTO
Tangerang Selatan, 5 Februari 2011
cahPamulang: Catatan Untuk Arsid (3) - Aru Wijayanto