Selasa, 08 Maret 2011
Senin, 07 Maret 2011
Menunggu Laporan KPU Tangsel, Tim Arsyid-Andre Tunda Laporan ke MK
Kubu Arsid-Andreas Taulany menunda laporan ke Mahkamah Konstitusi terkait kecurangan dan pelanggaran dalam proses pemungutan suara ulang pilkada Tangerang Selatan. Laporan ke MK yang rencananya dilakukan hari ini Senin ini ditunda besok Selasa 8/3."Karena KPU Tangerang Selatan baru melaporkan hasil ke MK, hari ini, jadi laporan kami akan disampaikan besok,"kata Ketua Tim Sukses Arsyid-Andre, Suryadi Niam, hari ini.
Menurut Suryadi, penundaan tersebut tidak mengurangi materi dan niat pasangan nomor urut 3 itu untuk mengadu ke MK."Intinya, waktunya saja yang ditunda satu hari,"ujar Suryadi.
Secara teknis, ia menambahkan, pihaknya memang harus menunggu hasil pemilukada tangerang Selatan sampai ke MK."Karena yang kita permasalahkan proses dan hasil pilkada ulang tersebut,"ia menambahkan.
Ketua Tim Kuasa hukum Arsid-Andre, Endang Hardian mengatakan untuk mekanisme proses hukum terkait dugaan kecurangan dan pelanggaran dalam pilkada ulang Tangerang Selatan, pihaknya tidak mendaftarkan gugatan baru lagi."Karena ini pilkada ulang, kami tidak mendaftarkan gugatan lagi, nomor gugatan masih yang lama (pilkada 13 November 2010). Untuk saat ini kami hanya membuat laporan jika pilkada ulang masih dipenuhi pelanggaran dan kecurangan, beserta barang-barang bukti yang kuat,"kata Endang.
Endang menjelaskan, ada dua prosedur dan sistem yang dilakukan terkait masalah hukum soal pilkada yaitu, membuat laporan dan melakukan gugatan ke MK. Mahkamah akhirnya mengabulkan permohonan itu karena cukup banyak bukti adanya pelanggaran. Salah satu contohnya, Airin dinilai memanfaatkan para pejabat Tangerang Selatan untuk mempengaruhi massa. Bahkan digambarkan oleh pihak penggugat, sebelum pemilihan, terjadi mutasi besar-besaran agar para pejabat pendukung Airin mendapat pos penting.
Menurut Suryadi, penundaan tersebut tidak mengurangi materi dan niat pasangan nomor urut 3 itu untuk mengadu ke MK."Intinya, waktunya saja yang ditunda satu hari,"ujar Suryadi.
Secara teknis, ia menambahkan, pihaknya memang harus menunggu hasil pemilukada tangerang Selatan sampai ke MK."Karena yang kita permasalahkan proses dan hasil pilkada ulang tersebut,"ia menambahkan.
Ketua Tim Kuasa hukum Arsid-Andre, Endang Hardian mengatakan untuk mekanisme proses hukum terkait dugaan kecurangan dan pelanggaran dalam pilkada ulang Tangerang Selatan, pihaknya tidak mendaftarkan gugatan baru lagi."Karena ini pilkada ulang, kami tidak mendaftarkan gugatan lagi, nomor gugatan masih yang lama (pilkada 13 November 2010). Untuk saat ini kami hanya membuat laporan jika pilkada ulang masih dipenuhi pelanggaran dan kecurangan, beserta barang-barang bukti yang kuat,"kata Endang.
Endang menjelaskan, ada dua prosedur dan sistem yang dilakukan terkait masalah hukum soal pilkada yaitu, membuat laporan dan melakukan gugatan ke MK. Mahkamah akhirnya mengabulkan permohonan itu karena cukup banyak bukti adanya pelanggaran. Salah satu contohnya, Airin dinilai memanfaatkan para pejabat Tangerang Selatan untuk mempengaruhi massa. Bahkan digambarkan oleh pihak penggugat, sebelum pemilihan, terjadi mutasi besar-besaran agar para pejabat pendukung Airin mendapat pos penting.
Tim Arsyid-Andre Laporkan Dugaan Kecurangan ke MK
Tim calon wali kota dan wakil wali kota Tangerang Selatan Arsyid-Andreas Taulany berencana melaporkan adanya kecurangan dan pelanggaran dalam proses pemungutan suara ulang pemilihan kepala daerah Tangerang Selatan ke Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (7/3). ”Besok kami berencana akan lapor ke MK,” ujar Ketua Tim Kuasa Hukum Arsyid-Andre, Endang Hardian kepada Tempo, Ahad (6/3).
Endang mengatakan untuk mekanisme proses hukum terkait dugaan kecurangan dan pelanggaran dalam pilkada ulang Tangerang Selatan, pihaknya tidak mendaftarkan gugatan baru lagi. ”Karena ini pilkada ulang, kami tidak mendaftarkan gugatan lagi, nomor gugatan masih yang lama (pilkada 13 November 2010)," ujarnya. "Untuk saat ini kami hanya membuat laporan jika pilkada ulang masih dipenuhi pelanggaran dan kecurangan, beserta barang-barang bukti yang kuat,” kata Endang.
Sebelumnya, MK menganulir kemenangan Airin-Benyamin sebagai pemenang dalam pemilihan yang berlangsung pada 13 November itu. Saat itu, Airin-Benyamin meraup 46,4 persen suara. Angka itu hanya unggul tipis atas perolehan penggugat, Arsid-Andreas Taulany, yang meraih 46,2 persen suara.
Dalam pilkada ulang Tangerang Selatan yang berlangsung 27 Februari lalu, Airin-Benyamin kembali menang. Berdasarkan data hitungan suara akhir KPU Tangerang Selatan, pasangan nomor urut 4, Airin Rachmi Diany-Benyamin Davnie mengantongi 241,797 suara (53,67 persen), posisi kedua pasangan nomor 3, Arsyid-Andre Taulany adalah 198.660 suara (44, 10 persen), disusul oleh pasangan nomor 2, Rodhiyah Najibah-Sulaiman Yasin adalah 5.106 suara (1,13 persen) dan pasangan nomor 1, Yayat Sudrajat-Moh. Norodom Soekarno adalah 4.933 suara (1,10 persen).
Ketua Tim Sukses Arsyid-Andre, Suryadi Niam menambahkan, pihaknya telah mengantongi banyak bukti-bukti kuat terkait kecurangan dan pelanggaran dalam pilkada ulang Tangerang Selatan. ”Pelanggaran dan kecurangan yang paling nyata adalah money politic yang dilakukan oleh lurah, ketua RT dan RW, ini menunjukkan mobilisasi birokrasi yang struktural, sistemik dan massif,” kata Suryadi.
Secara terpisah, Airin Rachmi Diany tak gentar menghadapi tudingan dan laporan tersebut. ”Kami akan perjuangkan kemenangan ini dan mengikuti proses hukum yang berjalan,” kata Airin kepada wartawan usai rapat pleno KPU Tangerang Selatan di Padang Golf Pondok Cabe, Kamis lalu.
Terkait dengan tudingan kecurangan berupa money politic dan mobilisasi birokrasi yang selama ini ditujukan kepadanya, Airin membantah hal tersebut. ”Kami tidak pernah melakukan hal itu, kami berkaca dan banyak belajar dari pilkada sebelumnya, jadi kami tidak akan melakukan kesalahan yang sama,” kata Airin menjawab pertanyaan Tempo.
Tempointeraktif.Com - Besok, Tim Arsyid-Andre Laporkan Dugaan Kecurangan ke MK
Posko Pengaduan Tim Arsyid-Andre Kebanjiran Laporan
Posko pengaduan warga Tangerang Selatan yang dibuka oleh tim calon wali kota dan wakil wali kota Tangerang Selatan Arsyid-Andreas Taulany sejak lima hari lalu, kebanjiran laporan dari masyarakat. Laporan itu terkait kecurangan dan pelanggaran dalam proses pemungutan suara ulang pemilihan kepala daerah di wilayah itu.
Laporan didominasi oleh dugaan politik uang yang dilakukan oleh lurah dan ketua RT di wilayah Tangerang Selatan. "Hari kelima posko di buka, kami kebanjiran pengaduan dari masyarakat, lebih dari 300 laporan masuk ke posko," ujar Ketua Tim Sukses Pasangan Nomor Urut 3 itu, Suryadi Niam, kepada Tempo, Ahad (6/3).
Dari 300 laporan yang masuk, kata Suryadi, hampir 80 persennya adalah laporan dugaan money politic yang dilakukan oleh lurah , ketua RT dan RW. "Dan ini terjadi hampir di seluruh wilayah di Tangerang Selatan," ujarnya.
Laporan lainnya, ia melanjutkan, adalah masalah pelanggaran yang dilakukan oleh petugas TPS, PPS terkait proses perhitungan suara. "Di sejumlah TPS, surat suara yang tidak dihitung langsung dimasukkan ke kotak, semestinya diletakkan di meja dulu, dihitung dulu, diperlihatkan ke saksi," kata Suryadi.
Suryadi sangat mengapresiasi keberanian dan kejujuran masyarakat Tangerang Selatan yang datang sendiri ke posko pengaduan yang dipusatkan di Arsyid-Andre Center, di kawasan Villa Dago, Pamulang.
Berdasarkan banyaknya laporan tersebut, menurut Suryadi menandakan jika pemungutan suara ulang pilkada Tangerang Selatan yang diselenggarakan 27 Februari lalu diwarnai dengan berbagai kecurangan dan pelanggaran dari politik uang hingga mobilisasi birokrasi yang terjadi secara struktural,sistemik dan massif. "Tak ada bedanya dengan pilkada 13 November 2010, yang harus diulang karena pelanggaran dan kecurangan mobilisasi birokrasi yang terstruktural, sistemik dan massif," katanya.
Laporan didominasi oleh dugaan politik uang yang dilakukan oleh lurah dan ketua RT di wilayah Tangerang Selatan. "Hari kelima posko di buka, kami kebanjiran pengaduan dari masyarakat, lebih dari 300 laporan masuk ke posko," ujar Ketua Tim Sukses Pasangan Nomor Urut 3 itu, Suryadi Niam, kepada Tempo, Ahad (6/3).
Dari 300 laporan yang masuk, kata Suryadi, hampir 80 persennya adalah laporan dugaan money politic yang dilakukan oleh lurah , ketua RT dan RW. "Dan ini terjadi hampir di seluruh wilayah di Tangerang Selatan," ujarnya.
Laporan lainnya, ia melanjutkan, adalah masalah pelanggaran yang dilakukan oleh petugas TPS, PPS terkait proses perhitungan suara. "Di sejumlah TPS, surat suara yang tidak dihitung langsung dimasukkan ke kotak, semestinya diletakkan di meja dulu, dihitung dulu, diperlihatkan ke saksi," kata Suryadi.
Suryadi sangat mengapresiasi keberanian dan kejujuran masyarakat Tangerang Selatan yang datang sendiri ke posko pengaduan yang dipusatkan di Arsyid-Andre Center, di kawasan Villa Dago, Pamulang.
Berdasarkan banyaknya laporan tersebut, menurut Suryadi menandakan jika pemungutan suara ulang pilkada Tangerang Selatan yang diselenggarakan 27 Februari lalu diwarnai dengan berbagai kecurangan dan pelanggaran dari politik uang hingga mobilisasi birokrasi yang terjadi secara struktural,sistemik dan massif. "Tak ada bedanya dengan pilkada 13 November 2010, yang harus diulang karena pelanggaran dan kecurangan mobilisasi birokrasi yang terstruktural, sistemik dan massif," katanya.
Minggu, 06 Maret 2011
Media Centre KPU Tangsel Mubasir - Berdinding Triplek Beratap Seng uk 3x10M2 senilai 100 juta
Media Centre KPU Tangerang Selatan (Tangsel) yang digunakan bagi kepentingan para wartawan untuk meliput kegiatan pilkada Tangsel terkesan mubasir. Karena bangunan yang menghabiskan dana tak kurang dari Rp 100 juta itu jarang digunakan hingga akhir pilkada Tangsel.
Beberapa wartawan mengaku bahwa ruangan seluas 3 x 10 meter persegi itu tidak cukup nyaman dalam menunjang pekerjaan mereka membuat berita. Karena ruangan itu yang terbuat dari triplek dan beratapkan asbes ini hanya memiliki 1 unit komputer yang difasilitasi internet dan 1 unit pendingin udara (AC).
Menurut keterangan salah satu staf KPU Tangsel yang enggan disebutkan namanya, setiap hari media centre ini selalu sepi. Bahkan teman-teman media yang melakukan peliputan tentang pemungutan suara di Kota Tangsel itu pun jarang mau menempati gedung tersebut.
"Teman-teman wartawan terkesan kurang nyaman bila masuk ruang media centre, sehingga tiap hari ruangan ini selalu kosong," kata sumber tersebut. Apalagi KPU Tangsel pun jarang menggelar konfrensi pers di media centre ini.
Sekjen KPU Tangsel, Azhar Syam'un Ranmansyah yang dimintai konfirmasi terkait terbengkalainya media centre tersebut enggan mengomentari hal itu. (tri budi)
Jumat, 04 Maret 2011
Arsid-Andre Tolak Tanda Tangani Hitungan Suara
Pasangan calon wali kota dan wakil wali kota Tangerang Selatan, Banten, Arsid-Andre Taulany menolak menandatangani hasil pleno penghitungan suara manual pemungutan suara pilkada ulang Tangerang Selatan yang dilakukan KPU. Mereka menolak karena terdapat pelanggaran.
"Berdasarkan hasil penghitungan, kami akui bila pasangan Airin-Benyamin lebih unggul. Tetapi, kami menilai masih ada pelanggaran oleh KPUD. Jadi, kami menolak untuk menandatanganinya," kata saksi pasangan Arsid-Andre, Muhammad Acep, seusai rapat pleno di Padang Golf Pondok Cabe, Pamulang, Kamis (3/3).
Acep mengemukakan pelanggaran tersebut yakni keberatan saksi pasangan Arsid-Andre di beberapa TPS yang belum ditindaklanjuti. Kemudian, banyaknya lembaran formulir C1 di masing - masing TPS yang tidak dilengkapi dengan lembaran C3 yang hampir terjadi di semua tempat mencapai 80 persen.
"Pelanggaran itu sudah kami laporkan ke Panwaslu dan rapat pleno ini kami anggap belum final. Ini menyusul keberatan yang kami ajukan," katanya.
Ketua KPU Kota Tangerang Selatan, Iman Perwira Bachsan, mengatakan pihaknya menganggap penolakan penandatanganan itu menjadi hak setiap pasangan. Hanya saja, pernyataan keberatan tersebut harus ditulis dalam lembar yang telah disediakan KPU untuk nanti menjadi bagian laporan KPU ke MK.
"Kami intinya sudah menjalankan proses tahapan rapat pleno. Untuk keberatan atau penilaian pelanggaran, nanti MK yang akan memutuskan," katanya.
KPUD Kota Tangerang Selatan sebelumnya telah melaksanakan rapat pleno dengan SK Nomor 10/KPTS/KPU-Tangsel 2/2011 tentang penetapan hasil penghitungan perolehan suara dalam Pemungutan Suara Ulang.
Dalam keputusan tersebut, Pasangan Airin-Benyamin meraih suara sebanyak 241.797 suara atau 53,67 persen. Kemudian, pasangan Arsid - Andre 198.660 suara atau 44,10 persen.
Lalu, pasangan Yayat-Norodom mendapat 4.933 suara atau 1,10 persen. Sedangkan pasangan Rodiyah Najibah-Sulaeman Yasin mendapat 5.106 suara atau 1,13 persen. Menurut hasil penghitungan di tujuh kecamatan, total suara sah tercatat sebanyak 458.596 dari total Daftar Pemilih Tetap sebanyak 738.181 pemilih.
Arsid-Andre Tolak Tanda Tangani Hitungan Suara | Republika Online
Kamis, 03 Maret 2011
Kubu Arsid Buka Posko Pengaduan Kecurangan Pilkada
Kubu Arsid-Andre Taulany (AA) yang akan menggugat hasil Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Tangerang Selatan (Tangsel) masih terus menggodok sejumlah bukti pelanggaran yang dimiliki. Salah satunya dengan mengumpulkan data dari masyarakat. Untuk itu kubu pasangan AA ini membuka posko pengaduan pelanggaran yang terjadi dalam PSU Pilkada Tangsel.
“Kami masih mempelajari sejumlah bukti pelanggaran yang sudah ada. Termasuk menyiapkan para saksi untuk setiap bukti pelanggaran,” ujar Ketua Tim Kuasa Hukum Pasangan Arsid-Andre Taulany, Endang Hardian.
Dari sejumlah bukti pelanggaran yang tengah dipelajari, sebagian besar terkait masalah money politic, ketidaknetralan birokrat Tangsel dan masalah pemutakhiran DPT. Menurut Endang, gugatan akan dilayangkan bertepatan ketika MK memanggil seluruh pasangan calon, sebelum penetapan pemenang Pilkada Tangsel.
Posko pengaduan sendiri akan dipusatkan di Media Center AA di Perumahan Villa Dago, Pamulang. Bagi setiap warga yang memiliki bukti pelanggaran dalam PSU, diminta untuk segera melapor tanpa perlu merasa takut karena setiap saksi akan mendapatkan perlindungan hukum.
Sementara, M. Basri selaku Ketua Tim Pemenangan pasangan Arsid-Andre Taulany kembali menghimbau kepada seluruh pendukung pasangan nomor urut tiga ini tetap menjaga suasana kondusif, tegar dan bersabar karena perjuangan belum berakhir.
Seperti diberitakan sebelumnya, calon Wali Kota Tangerang Selatan dengan nomor urut 4 Airin Dhiany Rahmi menyatakan pihaknya siap kembali menerima gugatan pilkada ulang tangsel. “Gugatan adalah hak siapa saja, namun kami telah menjalani seluruh kentuan pilkada sejak awal,” ujar Airin seusai pencoblosan. (W-2/LG)
“Kami masih mempelajari sejumlah bukti pelanggaran yang sudah ada. Termasuk menyiapkan para saksi untuk setiap bukti pelanggaran,” ujar Ketua Tim Kuasa Hukum Pasangan Arsid-Andre Taulany, Endang Hardian.
Dari sejumlah bukti pelanggaran yang tengah dipelajari, sebagian besar terkait masalah money politic, ketidaknetralan birokrat Tangsel dan masalah pemutakhiran DPT. Menurut Endang, gugatan akan dilayangkan bertepatan ketika MK memanggil seluruh pasangan calon, sebelum penetapan pemenang Pilkada Tangsel.
Posko pengaduan sendiri akan dipusatkan di Media Center AA di Perumahan Villa Dago, Pamulang. Bagi setiap warga yang memiliki bukti pelanggaran dalam PSU, diminta untuk segera melapor tanpa perlu merasa takut karena setiap saksi akan mendapatkan perlindungan hukum.
Sementara, M. Basri selaku Ketua Tim Pemenangan pasangan Arsid-Andre Taulany kembali menghimbau kepada seluruh pendukung pasangan nomor urut tiga ini tetap menjaga suasana kondusif, tegar dan bersabar karena perjuangan belum berakhir.
Seperti diberitakan sebelumnya, calon Wali Kota Tangerang Selatan dengan nomor urut 4 Airin Dhiany Rahmi menyatakan pihaknya siap kembali menerima gugatan pilkada ulang tangsel. “Gugatan adalah hak siapa saja, namun kami telah menjalani seluruh kentuan pilkada sejak awal,” ujar Airin seusai pencoblosan. (W-2/LG)
Airin-Benyamin Menangkan Pilkada Tangsel
Tangerang Selatan - Perhitungan Pemilihan Umum Kepada Daerah Tangerang Selatan (Tangsel) telah selesai. Hasilnya, pasangan nomor 4, Airin Rachmi Diany-Benyamin Davnie menang!
Penghitungan yang digelar KPU Kota Tangsel di Lapangan Modern Golf Pondok Cabe, Tangsel, berlangsung dari pukul 13.00 WIB sampai pukul 16.00 WIB, Kamis (3/3/2011).
Ada 450.496 suara sah, dan 8.100 suara tidak sah sehingga total suara 458.596. Hasilnya adalah sebagai berikut sesuai urutan nomor pasangan:
1. Yayat Sudrajat-Moch. Norodom Sukarno 4.933 suara
2. Rodhiyah Najibha-Sulaiman Yasin 5.106 suara
3. Arsid-Andreas Taulany 198.660 suara
4. Airin Rachmi Diany-Benyamin Davnie 241.797 suara
"Ditetapkan KPU hari ini hasil perolehan rekapitulasi suara tingkat KPU dicap dan ditandatangani adalah Airin Rachmi Diany dan Benyamin Davnie adalah pemenangnya secara sah," anggota KPUD Tangsel Agus Supadmo saat menetapkan.
Pantauan detikcom, pasangan nomor 1,2,3 tidak hadir melainkan diwakili saksi-saksinya. Yang hadir hanya pemenang. Tampak Airin memakai baju dan jilbab hijau serta baju putih, sedangkan Benyamin memakai batik cokelat panjang. Saat dinyatakan menang, Airin dan Benyamin tampak tersenyum lebar.
(nwk/asy)
Senin, 28 Februari 2011
Pesta Ini Pesta Kami Rakyat Tangsel Bukan Sekedar Pesta Para Petarung
Ada masa saya tak peduli siapa para petarung itu, ada masa saya tertarik mencermati mereka satu persatu dan ada masanya saya harus menentukan pilihan karena ini Pesta Kami, Pesta Rakyat bukan Pesta Para Calon Elite Penguasa.
Pesta ini layak dinikmati, walau harap tak serta merta terwujud seperti mimpi yang diimpikan.
Ada suka, ada puja, ada hujat ada maki, semua ditabur hanya demi masa depan penuh harap.
Ada tali yang tersambung, ada utas yang terputus, tapi bukan menghilangkan keduanya, masih ada salam yang tak lekang, masih banyak kesamaan yang terlupa, masih ada sapa diatara kecam sesaat.
Pilhan ini bukan semata mencari pemenang, pilihan ini langkah awal jelang pertarungan yang sebenarnya, pertarungan panjang mengawal percaturan elite kekuasaan., pertarungan menyamakan tujuan antara Rakyat dan Pimpinannya.
Bila aku memilih A hari ini, aku memilihnya dengan bersiap untuk kecewa. Aku juga memilihnya bukan untuk selama-lamanya. Aku hanya memilihnya sebagai sarana yang saat ini kurang cacat di antara yang amat cacat – sarana sementara untuk mencegah luka lagi, meskipun pencegahan itu tak pernah pasti.Sebagai masyarakat yang menjadi obyek pecatur poltik, keadaan memaksa saya harus memahami perilaku para pelakunya, bukan ingin menjerat kekuasaan atau menjala kehidupan melaluinya.
Politik adalah tugas merambah jalan di belukar membuka celah agar keadilan itu datang. Terkadang tangan jadi kotor, hati jadi keras--dan itu menyebabkan rasa sedih tersendiri.
Di depan belukar itu, kita berjudi dengan masa depan. Siapa yang menuntut kepastian penuh dari sejarah akan mendustai diri sendiri. Selalu ada saat untuk bertindak dan memihak – juga ketika kita menolak untuk bertindak dan memihak.
Tapi pada saat yang sama juga ada saat untuk berdiri agak menjauh. Terkadang dengan ironi, terkadang dengan penyesalan, tapi selamanya dengan kesetiaan: di dunia yang berdosa, pilihan kita bisa salah, tapi tugas tak henti-hentinya memanggil dan politik selamanya meminta. Kita mungkin gagal. Meski demikian, tetap ada yang berharga yang kita perkelahikan.
(Cuplikan dari Catatan Pinggir Gunawan Muhammad/Tempo, 08 Juni 2009).
Dan dengan adanya Pilkada ini saya mulai menulis, belajar berpikir dalam rangkai kata, merajut duga dibalik kata.
Selamat Bagi Para Pemenang, Salam Buat Para Simpatisan, Salut Buat Para Petarung, Terima Kasih Buat Para Sponsor. Anda semua telah mebuat Tangsel bersinar dan kami pun bangga menjadi penghuninya.
:)
cahPamulang
Pamulang, dini hari
(menunggu hasil Real Count dengan harapan ada keajaiban diesok hari walau itu mustahil terjadi sambil menulis setelah sekian waktu menjadi jalang tak kepalang)
28 Feb 2011
Notes :
- Wangsit penulisan, GM Quote by TI , Image 3 by AW
- Catatan Pilkada versi cahPamulang dan kawan ada di http://pilkadahebat.blogspot.com/
- FB cP Tobat dibuat sebagai ganti akun ori yang ditelan jalangnya Pilkada :)
Versi LSI Juga Unggulkan Airin-Benyamin
Jakarta -Lembaga Survei Indonesia (LSI) memprediksi kemenangan pasangan Airin Rachmi Diany dan Benyamin Davnie dalam pemilihan Wali Kota Tangerang Selatan melalui hitung cepat (quick count) yang digelar lembaganya.
"Airin unggul dengan 54,31 persen sementara Arsyid memperoleh 43,4 persen," ujar Deni Irvani, peneliti LSI dalam konferensi pers yang digelar di kantor LSI, Jalan Lembang Terusan, Menteng, Jakarta Pusat, sore ini (27/2). Sementara itu Yayat Sudrajat memperoleh 1,1 persen suara, dan Rodhiyah memperoleh 1,19 suara.
"Dengan demikian diprediksikan Airin dan Davnie memenangkan Pilkada dalam satu putaran, karena memperoleh lebih dari 30 persen suara," ujarnya menambahkan.
Dari hitung cepat ini, pasangan Airin-Davnie menyapu bersih kemenangan di tujuh kecamatan di Tangerang Selatan. Di Ciputat, Airin memenangi 56,67 persen suara, Ciputat Timur 52,74 persen, Pamulang 53,46 persen, Pondok Aren 54,62 persen, Serpong 51,11 persen, Serpong Utara 54,82 persen, dan Setu 58,95 persen.
Sementara itu di Ciputat kubu Arsyid memperoleh 40,26 persen, di Ciputat Timur 45,09 persen ,di Pamulang 44,04 persen, Pondok Aren 43,42 persen, Serpong 46,89 persen, Serpong Utara 43,46 persen dan Setu 38,76 persen.
Hitung cepat ini dilaksanakan dengan mengolah hasil penghitungan suara dari 410 TPS dan dianggap mampu merepresentasikan hasil penghitungan di seluruh TPS di Tangerang Selatan yang berjumlah 1890 buah.
Dalam survey ini sample dipilih dengan menggunakan metode kombinasi Stratified-Cluster Random Sampling dan toleransi kesalahan sebesar +/- 1 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
Dari 410 TPS yang direncanakan, baru 406 TPS yang bisa diolah datanya oleh LSI untuk memperoleh hasil hitung cepat. "Empat TPS datanya masih belum masuk, tapi itu tidak mempengaruhi hasil quick count," ujarnya.
Untuk Sementara, PUSKAPTIS Unggulkan Airin
Tangerang -Pasangan calon walikota dan wakil walikota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany –Benyamin Davnie unggul sementara dalam perolehan pemungutan suara ulang pemilihan walikota dan wakil walikota Tangerang Selatan yang berlangsung hari ini.
Berdasarkan hasil hitung cepat (Quick Count) yang dilakukan oleh Pusat Kajian kebijakan dan Pembangunan Strategis (PUSKAPTIS), pasangan nomor urut empat ini memperoleh suara mencapai 51,67 persen atau 11.311 suara dari 90 persen (21.891 total suara yang masuk) . Sementara pasangan urut nomor 3, Arsyid-Andreas Taulany, memperoleh 46,22 persen atau 10.117 suara.
Dengan selisih 5,45 persen, Airin unggul untuk sementara. Disusul pada posisi ketiga dan keempat oleh pasangan nomor urut 2 Radiyah Najibah-Sulaiman Yasin 1,09 persen dan Yayat Sudrajat-Norodom Sukarno 1,02 persen.
Direktur PUSKAPTIS Husin Yazid mengatakan hitung cepat yang dilakukan pihaknya menggunakan metedologi multi stage random sampling dengan margin error satu persen.” Dengan tingkat kepercayaan 99 persen,” katanya di Pusat perhitungan cepat yang dilakukan di restoran Bukit Pelayangan Cilenggang, kecamatan Serpong sore ini.
PUSKAPTIS mengerahkan 175 relawan di 175 TPS dari 1.890 TPS yang ada ditujuh kecamatan di Tangerang Selatan.” TPS kami ambil secara acak dan proposional,”katanya. Sementara untuk tingkat partisipasi pemilih, menurut Husin, mencapai 81 persen.
Tempointeraktif.Com - Untuk Sementara, PUSKAPTIS Unggulkan Airin
Minggu, 27 Februari 2011
CATATAN UNTUK ARSID (9)
ARSID BUKAN PENGUSAHA, maka ia tak akan menemui kendala untuk memisahkan antara kepentingan pemerintah (public) dengan kepentingan bisnis (private) yang self-serving dan self-seeking. Itulah salah satu keunggulan Arsid, di samping pengalamannya sebagai camat telah membuatnya memiliki kesadaran moral tentang kekuasaan sebagai alat untuk melayani masyarakat, dan bukan sebaliknya: merampas hak warga. Ia juga sosok yang kuat secara kategoris, prinsipil dalam semangat pelayanan dan pengorbanan serta mampu berkomitmen pada kemaslahatan umum--dan bukan kepentingan parsial.
Pernah ada pertanyaan, apakah seorang camat itu sebenarnya lebih berperan sebagai sosok perwakilan penguasa yang birokratik dan otokratik, ataukah ia justru cenderung berfungsi sebagai bagian dari kekuatan baru yang dikehendaki agar ikut mendorong proses demokratisasi?. Saya melihatnya tiap camat memiliki peluang besar untuk ikut mendorong proses demokratisasi. Sebab kita tahu, camat—meski tak selalu mudah—adalah orang yang bertugas di garis terdepan untuk selalu bertatap muka dengan warga, hingga ia tak akan bisa menghindar dari posisinya sebagai public servant (abdi masyarakat) dalam kehidupan bernegara.
Artinya, dengan segala kemampuan yang berbeda-beda, tiap-tiap camat akan selalu dituntut untuk memiliki kemampuan serta menjalankan fungsi sebagai pemecah masalah di wilayahnya sesuai dengan prinsip-psinsip demokrasi: from the people, by the people, for the people. Dan, Arsid telah berhasil melewati “tahapan” itu dengan melihat demokrasi sebagai sebuah sarana untuk mendorong terciptanya ruang-ruang publik yang dapat digunakan oleh tiap warga yang merdeka, baik dalam arti pribadi-individual maupun kelompok, untuk menandai dirinya dari segala tujuan hidup—baik yang mayoritas maupun minoritas.
Maka tak heran bila Arsid—yang memiliki karakter nafsul mutmainnah; jiwa yang tenang dan bersih--berhasil mendorong apa yang disebut sebagai ruang yang “soliter” untuk digantikan oleh yang “solider” di kota ini. Ia berhasil membangun rasa kebersamaan yang kuat di tengah situasi kota yang terus mendorong kita untuk makin berjarak dengan banyak hal, ketika penderitaan (seakan-akan) milik masing-masing: tak punya kesempatan untuk dibagi. Ketika banyak orang melihat kemeja necis Emiglio Zegna, Ralph Lauren, atau Hugo Boss, tanpa pernah peduli siapakah nama-nama itu: apakah ia seorang desainer atau selebriti yang namanya dipinjam untuk merk.
Kita tahu, pernah ada cita-cita untuk membangun pilihan lain agar manusia bisa kembali menikmati hidup bukan sebagai komoditas belaka. Arsid berkampanye dengan menggugah kesadaran bahwa tak selamanya hal ikhwal harus melulu punya “nilai-tukar”. Ia mencoba membangun pemahaman: manusia tak selama-lamanya makhluk yang hidup dengan subyektivitasnya sendiri, melainkan juga dengan “inter-subyektivitas”—dan sebab itu, bahkan dalam keadaan berat, kita (mestinya) masih bisa menyempatkan diri untuk memikirkan perasaan orang lain.
Tapi mungkin juga yang hendak dipertahankannya adalah Tangerang Selatan sebagai ingatan yang berharga. Seperti Indonesia, sejak kanak-kanak, kita diberi rasa bangga akan sebuah negeri yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Kenangan itu sangat intim dan telah menjadi bagian dari identitas kita. Kenangan tentang sebuah “Indonesia” yang merekam niat mulia yang hendak menjabat tangan orang lain yang berbeda dengan ikhlas. Toh, Arsid melihat demokrasi sebagai way of life, pandangan hidup, serta tata nilai yang mampu mendorong terbangunnya sikap egaliter dan transparan.
Saya rasa itulah jawaban mengapa pasangan Arsid-Andre memperoleh suara yang signifikan pada pilkada 13 November 2010. Keduanya tak berkonsentrasi pada “aku” sebagai pusat situasi, tapi “kita”—dengan cita-cita bersama. Arsid melawan monolog. Baginya, kemerdekaan berpikir, kemerdekaan berpendapat, akhirnya juga berarti kemerdekaan untuk jadi percakapan yang tulus, lengkap dengan kerendahan hati. Ia percaya, dalam diri tiap manusia ada yang menyebabkan orang—dengan otonomi penuh—menghormati dan mematuhi panggilan hukum moral: ketika diam-diam kita menolak suap untuk memilih kandidat tertentu, juga menolak untuk turut serta dalam rekayasa persoalan agar dapat dituduhkan ke lawan politik.
Kita tahu, siapa pun tak dapat meniadakan persaingan politik, tapi kita juga menyadari tak mungkin—juga tak boleh--ada kekuasaan yang mutlak membentuk masyarakat. Saya melihat ini sebagai sebuah sikap yang dapat diterima semua orang yang berakal-budi. Toh, dalam ketiadaan tempat berpegang, orang umumnya akan berpihak pada nurani. Kita sama-sama tahu, saat ini di Tangerang Selatan, kegelisahan bukan hanya hinggap di dada para aktivis lembaga swadaya masyarakat maupun kelompok prodemokrasi, tapi juga di hati warga biasa: bahkan yang sehari-harinya membaca Esquire, Dewi atau Cosmopolitan—tapi kini merasa terpanggil untuk memikirkan sesama yang lain.
Sebab kita tahu, di kota ini, monster bernama totalitarianisme sedang merangkak keluar dari sarangnya untuk melumat apapun yang bisa dilumat, terutama demokrasi. Dan orang segera cepat merasakan ada ketidakadilan dengan tajam, terutama saat menyaksikan demokrasi—secara terbuka--sedang dirampok pelbagai kepentingan demi kuasa dan harta melalui politik uang. Kita sadar, politik yang terjangkit mental totalitarianisme akan (selalu) sulit membangun pranata hukum, bisnis, demokrasi, bahkan kekuasaan yang tahan zaman, sebab hubungan sosial yang dikedepankan adalah semangat untuk saling menjegal, bahkan menghancurkan.
Pada tataran ini, konsep persaudaraan hanya dijadikan retorika. Bagi saya, totalitarianisme mengingatkan kita pada konsep “kesatuan” yang diimani Hitler, Stalin, dan Mao—yang terasa sebagai horor. Kesatuan bisa terasa sebagai palu godam yang menghantam mereka yang disingkirkan karena dianggap tak satu golongan, tak cocok untuk ”bersatu”: mereka yang berbeda pendapat. Yang merisaukan dalam pandangan itu adalah ketika ia tak mengakui fondasi bersama manusia yang kekal dan dapat dijadikan pegangan semua.
Situasi ini tentu tak menyehatkan bagi Tangerang Selatan ke depan, dan sebab itu mesti dicegah. Hal ini menjadi penting mengingat, seperti kata Richard Goldstone dalam Human Right in Political Transitions, yakni without justice, without acknowledgement, future evil leaders will more easily be able to manipulate historic grievances: tanpa keadilan, tanpa pengakuan, pemimpin-pemimpin yang jahat di masa depan akan dapat lebih mudah memanipulasi keluhan-keluhan historis. Arsid memang sedang mencoba mengatasi kerumitan ini. Ia, bagai ninja yang menyelinap di sebuah kastil agung mencoba memulai perlawanan: menghentikan angkara murka. Dan sebab itu, kita (juga) melawan.
Mereka mungkin punya banyak uang, tapi, kita punya satu “senjata” yang paling ampuh dari senjata apapun di belahan bumi ini. Senjata itu adalah penolakan kita untuk tunduk pada otoritas “luar” selain otoritas kita sendiri. Penolakan kita pada totalitarianisme yang sedang diusung beramai-ramai di kota ini. (*)
ARU WIJAYANTO
Tangerang Selatan, 26 Februari 2011
Pernah ada pertanyaan, apakah seorang camat itu sebenarnya lebih berperan sebagai sosok perwakilan penguasa yang birokratik dan otokratik, ataukah ia justru cenderung berfungsi sebagai bagian dari kekuatan baru yang dikehendaki agar ikut mendorong proses demokratisasi?. Saya melihatnya tiap camat memiliki peluang besar untuk ikut mendorong proses demokratisasi. Sebab kita tahu, camat—meski tak selalu mudah—adalah orang yang bertugas di garis terdepan untuk selalu bertatap muka dengan warga, hingga ia tak akan bisa menghindar dari posisinya sebagai public servant (abdi masyarakat) dalam kehidupan bernegara.
Artinya, dengan segala kemampuan yang berbeda-beda, tiap-tiap camat akan selalu dituntut untuk memiliki kemampuan serta menjalankan fungsi sebagai pemecah masalah di wilayahnya sesuai dengan prinsip-psinsip demokrasi: from the people, by the people, for the people. Dan, Arsid telah berhasil melewati “tahapan” itu dengan melihat demokrasi sebagai sebuah sarana untuk mendorong terciptanya ruang-ruang publik yang dapat digunakan oleh tiap warga yang merdeka, baik dalam arti pribadi-individual maupun kelompok, untuk menandai dirinya dari segala tujuan hidup—baik yang mayoritas maupun minoritas.
Maka tak heran bila Arsid—yang memiliki karakter nafsul mutmainnah; jiwa yang tenang dan bersih--berhasil mendorong apa yang disebut sebagai ruang yang “soliter” untuk digantikan oleh yang “solider” di kota ini. Ia berhasil membangun rasa kebersamaan yang kuat di tengah situasi kota yang terus mendorong kita untuk makin berjarak dengan banyak hal, ketika penderitaan (seakan-akan) milik masing-masing: tak punya kesempatan untuk dibagi. Ketika banyak orang melihat kemeja necis Emiglio Zegna, Ralph Lauren, atau Hugo Boss, tanpa pernah peduli siapakah nama-nama itu: apakah ia seorang desainer atau selebriti yang namanya dipinjam untuk merk.
Kita tahu, pernah ada cita-cita untuk membangun pilihan lain agar manusia bisa kembali menikmati hidup bukan sebagai komoditas belaka. Arsid berkampanye dengan menggugah kesadaran bahwa tak selamanya hal ikhwal harus melulu punya “nilai-tukar”. Ia mencoba membangun pemahaman: manusia tak selama-lamanya makhluk yang hidup dengan subyektivitasnya sendiri, melainkan juga dengan “inter-subyektivitas”—dan sebab itu, bahkan dalam keadaan berat, kita (mestinya) masih bisa menyempatkan diri untuk memikirkan perasaan orang lain.
Tapi mungkin juga yang hendak dipertahankannya adalah Tangerang Selatan sebagai ingatan yang berharga. Seperti Indonesia, sejak kanak-kanak, kita diberi rasa bangga akan sebuah negeri yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Kenangan itu sangat intim dan telah menjadi bagian dari identitas kita. Kenangan tentang sebuah “Indonesia” yang merekam niat mulia yang hendak menjabat tangan orang lain yang berbeda dengan ikhlas. Toh, Arsid melihat demokrasi sebagai way of life, pandangan hidup, serta tata nilai yang mampu mendorong terbangunnya sikap egaliter dan transparan.
Saya rasa itulah jawaban mengapa pasangan Arsid-Andre memperoleh suara yang signifikan pada pilkada 13 November 2010. Keduanya tak berkonsentrasi pada “aku” sebagai pusat situasi, tapi “kita”—dengan cita-cita bersama. Arsid melawan monolog. Baginya, kemerdekaan berpikir, kemerdekaan berpendapat, akhirnya juga berarti kemerdekaan untuk jadi percakapan yang tulus, lengkap dengan kerendahan hati. Ia percaya, dalam diri tiap manusia ada yang menyebabkan orang—dengan otonomi penuh—menghormati dan mematuhi panggilan hukum moral: ketika diam-diam kita menolak suap untuk memilih kandidat tertentu, juga menolak untuk turut serta dalam rekayasa persoalan agar dapat dituduhkan ke lawan politik.
Kita tahu, siapa pun tak dapat meniadakan persaingan politik, tapi kita juga menyadari tak mungkin—juga tak boleh--ada kekuasaan yang mutlak membentuk masyarakat. Saya melihat ini sebagai sebuah sikap yang dapat diterima semua orang yang berakal-budi. Toh, dalam ketiadaan tempat berpegang, orang umumnya akan berpihak pada nurani. Kita sama-sama tahu, saat ini di Tangerang Selatan, kegelisahan bukan hanya hinggap di dada para aktivis lembaga swadaya masyarakat maupun kelompok prodemokrasi, tapi juga di hati warga biasa: bahkan yang sehari-harinya membaca Esquire, Dewi atau Cosmopolitan—tapi kini merasa terpanggil untuk memikirkan sesama yang lain.
Sebab kita tahu, di kota ini, monster bernama totalitarianisme sedang merangkak keluar dari sarangnya untuk melumat apapun yang bisa dilumat, terutama demokrasi. Dan orang segera cepat merasakan ada ketidakadilan dengan tajam, terutama saat menyaksikan demokrasi—secara terbuka--sedang dirampok pelbagai kepentingan demi kuasa dan harta melalui politik uang. Kita sadar, politik yang terjangkit mental totalitarianisme akan (selalu) sulit membangun pranata hukum, bisnis, demokrasi, bahkan kekuasaan yang tahan zaman, sebab hubungan sosial yang dikedepankan adalah semangat untuk saling menjegal, bahkan menghancurkan.
Pada tataran ini, konsep persaudaraan hanya dijadikan retorika. Bagi saya, totalitarianisme mengingatkan kita pada konsep “kesatuan” yang diimani Hitler, Stalin, dan Mao—yang terasa sebagai horor. Kesatuan bisa terasa sebagai palu godam yang menghantam mereka yang disingkirkan karena dianggap tak satu golongan, tak cocok untuk ”bersatu”: mereka yang berbeda pendapat. Yang merisaukan dalam pandangan itu adalah ketika ia tak mengakui fondasi bersama manusia yang kekal dan dapat dijadikan pegangan semua.
Situasi ini tentu tak menyehatkan bagi Tangerang Selatan ke depan, dan sebab itu mesti dicegah. Hal ini menjadi penting mengingat, seperti kata Richard Goldstone dalam Human Right in Political Transitions, yakni without justice, without acknowledgement, future evil leaders will more easily be able to manipulate historic grievances: tanpa keadilan, tanpa pengakuan, pemimpin-pemimpin yang jahat di masa depan akan dapat lebih mudah memanipulasi keluhan-keluhan historis. Arsid memang sedang mencoba mengatasi kerumitan ini. Ia, bagai ninja yang menyelinap di sebuah kastil agung mencoba memulai perlawanan: menghentikan angkara murka. Dan sebab itu, kita (juga) melawan.
Mereka mungkin punya banyak uang, tapi, kita punya satu “senjata” yang paling ampuh dari senjata apapun di belahan bumi ini. Senjata itu adalah penolakan kita untuk tunduk pada otoritas “luar” selain otoritas kita sendiri. Penolakan kita pada totalitarianisme yang sedang diusung beramai-ramai di kota ini. (*)
ARU WIJAYANTO
Tangerang Selatan, 26 Februari 2011
CATATAN UNTUK ARSID (8)
Saya beberapa kali ditanya oleh sejumlah orang: mengapa Arsid tidak pernah membicarakan isu pendidikan sebagai materi kampanye? Apakah Arsid tidak punya konsep tentang pendidikan?. Awalnya saya malas menjawab karena pertanyaan diajukan dengan sikap yang kurang bersahabat, tapi akhirnya saya jawab: Arsid meletakkan paradigma pendidikan—baik kebijakan, sistem, maupun praksis—bukan sebagai sarana pemenangan politik pragmatis. Ia lebih melihat pendidikan sebagai sebuah rekayasa budaya—mendambakan manusia memiliki prinsip hidup—dan tidak sebagai kendaraan kampanye politik. Sebab itu kita menghormatinya.
Bagi saya, reformasi pendidikan adalah sebuah rekayasa besar yang tidak dapat dikerjakan setengah hati, apalagi bila hanya pada masa kampanye saja, juga bila hanya sepenggal-sepenggal. Dalam era otonomi pendidikan saat ini sebenarnya telah membuka peluang bagi sektor pendidikan di daerah agar lebih berkualitas—yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Arsid pasti memahami bahwa kepala daerah memiliki kewenangan penuh dalam menentukan kualitas pendidikan di daerahnya—bahkan hingga soal teknis seperti penentuan sistem evaluasi.
Artinya, meminjam terminologi school based management, kualitas pendidikan untuk masa mendatang memang lebih bergantung pada komitmen daerah untuk merumuskan visi dan misi di daerahnya masing-masing. Bila daerah cukup visioner dan memiliki political will yang kuat—disertai kebijakan yang mengedepankan arti penting pendidikan sebagai upaya human investment di daerah—maka kualitas praksis pendidikan akan dapat ditingkatkan sesuai harapan stakeholders.
Pertanyaannya, bagaimana sistem pendidikan yang sekiranya tepat untuk Tangerang Selatan?. Saya yakin, Arsid, seperti kita semua, akan mengawalinya dengan menggunakan parameter keberhasilan peserta didik bukan saja dari IQ (intelligence quotient)--perolehan aspek kognitif, yang tercermin dari perolehan nilai—tapi juga EQ (emotional quotient); sebuah kemampuan menahan diri, mengendalikan emosi, memahami emosi orang lain, bermotivasi tinggi, memiliki ketahanan dalam menghadapi kegagalan, dan sebagainya.
Toh, ini menjadi penting mengingat Tangerang Selatan sebagai kota multikultur, maka pendidikan yang dibangun harus berorientasi pada sistem pembelajaran dengan mengembangkan kepribadian yang dewasa, terbuka, dan toleran terhadap kultur di luar dirinya tanpa mengabaikan budaya sendiri. Ini sama artinya dengan kesadaran bahwa tiap manusia adalah pribadi-pribadi yang unik serta mempunyai bakat yang berbeda dengan yang lainnya.
*****
Saya melihat ada dua hal utama yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan upaya membangun pendidikan di Tangerang Selatan, di antaranya: (1) Sistem pendidikan yang berorientasi pada nilai (wertorientier). Ini harus diawali dengan pemahaman bahwa tujuan pendidikan adalah untuk memerdekakan manusia; maka pribadi yang merdeka bukanlah yang laissez-faire, tetapi yang mampu mempertanggungjawabkan hasil kemerdekaannya. Sebuah situasi bahwa peserta didik memiliki kemampuan mengritik—juga dikritik—serta mempunyai sensibilitas dan kreativitas, yang menjadi kompetensi social dalam menyikapi nilai-nilai dasar kebersamaan.
(2) Sistem pendidikan yang berorientasi pada dunia praksis (praxisbezogen). Ini berkaitan dengan ilmu pengetahuan pencerdas manusia, meski bukan berarti melulu bicara tentang “materilisasi” pendidikan yang mengedepankan konsep “siap pakai”. Saya melihat, praksis pendidikan harus diawali dengan suasana belajar-mengajar yang menggunakan metode dialogis untuk membuka pintu bagi proses pencarian kebenaran yang lebih tinggi.
Bagi saya, itulah tantangan dunia pendidikan ke depan, di mana kita harus mampu memadukan antara ilmu pengetahuan pencerdas manusia dengan ilmu humaniora yang menyentuh manusia secara menyeluruh. Ketika sekolah melahirkan manusia yang mampu menyadari dirinya sebagai makhluk sosial yang hidup dalam dimensi tanggung jawab pribadi dan sosial. Pada tataran ini, pendidikan memiliki tujuan menghasilkan manusia-manusia yang berkepribadian utuh dan tidak mudah diombang-ambingkan oleh pelbagai desas-desus yang meresahkan ketenangan dalam hidup sosial.
Sebuah pemahaman bahwa manusia adalah makhluk yang tidak mudah diadu domba, tidak mudah dihasut, serta tidak mudah ditipu oleh pelbagai skenario sosial-politik yang terjadi—baik dalam skala regional maupun nasional. Toh, seperti yang pernah disinggung Arsid, ini sama artinya kita mendambakan manusia yang memiliki prinsip hidup, agar dapat membedakan apa yang bisa, boleh, dan seharusnya dilakukan. Ketika manusia (selalu) ditantang untuk berani menghadapi dan menerima perbedaan personal dan sosial: bahwa tiap manusia adalah unik.
Buat saya, apa artinya kecerdasan bila kita bersikap seperti Hitler—yang lebih mempersoalkan “identitas ethnis”?. Dalam Mein Kampf, ada kisah tentang Hitler muda. Pada suatu malam di pusat kota Wina, ia berjalan dan bertemu dengan sesosok bayangan hitam dengan rambut hitam dikepang. Hitler bertanya pada diri sendiri: “Yahudikah ini?. Setelah ia amati lebih jauh, ia kembali bertanya dalam hati: “Orang Jermankah ini?”. Hitler tak pernah berpikir apakah si Bayangan itu seorang dokter, tentara, atau seniman. Yang penting baginya hanya “identitas ethnis”.
Maka segera kita tahu: ia sesungguhnya tak memiliki kesadaran akan diri sendiri yang menyatu dengan kesadaran akan orang lain. Hitler menganggap identitas adalah sesuatu yang dibawa dari lahir, karena antagonisme yang diyakininya adalah sesuatu yang permanen. Ia lupa, identitas sebenarnya tak pernah datang sendiri. Ia hadir karena dirumuskan oleh nama dan bahasa: bangunan simbol yang disusun masyarakat—yang kadang dengan kekerasan. Bahkan ketika ada orang yang mengatakan: “Aku telah menemukan jati diriku”, sesungguhnya ia tak sadar bahwa “diri” yang “sejati” itu mustahil ia peroleh.
Di sinilah, kita terus paham mengapa kita memilih Arsid untuk menjadi pemimpin di Tangerang Selatan. Ia melihat Tangerang Selatan adalah sebuah sejarah masa depan yang berharga bukan untuk diri sendiri—dan dengan demikian memberi makna bagi hidup kita. Kota ini, baginya, adalah sebuah sejarah harapan dan pengorbanan—dari orang yang berbeda-beda, bagi orang yang berlain-lainan--yang tak merasa perlu memberi batas mutlak tentang ”luar” dan ”asing”. Ia selalu melihat bahwa masyarakat manusia juga mengandung benih-benih perkawanan. Tak cuma antagonisme. Itulah kecerdasan yang sesungguhnya dari seorang pemimpin. (*)
ARU WIJAYANTO
Bogor, 24 Februari 2011
Bagi saya, reformasi pendidikan adalah sebuah rekayasa besar yang tidak dapat dikerjakan setengah hati, apalagi bila hanya pada masa kampanye saja, juga bila hanya sepenggal-sepenggal. Dalam era otonomi pendidikan saat ini sebenarnya telah membuka peluang bagi sektor pendidikan di daerah agar lebih berkualitas—yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Arsid pasti memahami bahwa kepala daerah memiliki kewenangan penuh dalam menentukan kualitas pendidikan di daerahnya—bahkan hingga soal teknis seperti penentuan sistem evaluasi.
Artinya, meminjam terminologi school based management, kualitas pendidikan untuk masa mendatang memang lebih bergantung pada komitmen daerah untuk merumuskan visi dan misi di daerahnya masing-masing. Bila daerah cukup visioner dan memiliki political will yang kuat—disertai kebijakan yang mengedepankan arti penting pendidikan sebagai upaya human investment di daerah—maka kualitas praksis pendidikan akan dapat ditingkatkan sesuai harapan stakeholders.
Pertanyaannya, bagaimana sistem pendidikan yang sekiranya tepat untuk Tangerang Selatan?. Saya yakin, Arsid, seperti kita semua, akan mengawalinya dengan menggunakan parameter keberhasilan peserta didik bukan saja dari IQ (intelligence quotient)--perolehan aspek kognitif, yang tercermin dari perolehan nilai—tapi juga EQ (emotional quotient); sebuah kemampuan menahan diri, mengendalikan emosi, memahami emosi orang lain, bermotivasi tinggi, memiliki ketahanan dalam menghadapi kegagalan, dan sebagainya.
Toh, ini menjadi penting mengingat Tangerang Selatan sebagai kota multikultur, maka pendidikan yang dibangun harus berorientasi pada sistem pembelajaran dengan mengembangkan kepribadian yang dewasa, terbuka, dan toleran terhadap kultur di luar dirinya tanpa mengabaikan budaya sendiri. Ini sama artinya dengan kesadaran bahwa tiap manusia adalah pribadi-pribadi yang unik serta mempunyai bakat yang berbeda dengan yang lainnya.
*****
Saya melihat ada dua hal utama yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan upaya membangun pendidikan di Tangerang Selatan, di antaranya: (1) Sistem pendidikan yang berorientasi pada nilai (wertorientier). Ini harus diawali dengan pemahaman bahwa tujuan pendidikan adalah untuk memerdekakan manusia; maka pribadi yang merdeka bukanlah yang laissez-faire, tetapi yang mampu mempertanggungjawabkan hasil kemerdekaannya. Sebuah situasi bahwa peserta didik memiliki kemampuan mengritik—juga dikritik—serta mempunyai sensibilitas dan kreativitas, yang menjadi kompetensi social dalam menyikapi nilai-nilai dasar kebersamaan.
(2) Sistem pendidikan yang berorientasi pada dunia praksis (praxisbezogen). Ini berkaitan dengan ilmu pengetahuan pencerdas manusia, meski bukan berarti melulu bicara tentang “materilisasi” pendidikan yang mengedepankan konsep “siap pakai”. Saya melihat, praksis pendidikan harus diawali dengan suasana belajar-mengajar yang menggunakan metode dialogis untuk membuka pintu bagi proses pencarian kebenaran yang lebih tinggi.
Bagi saya, itulah tantangan dunia pendidikan ke depan, di mana kita harus mampu memadukan antara ilmu pengetahuan pencerdas manusia dengan ilmu humaniora yang menyentuh manusia secara menyeluruh. Ketika sekolah melahirkan manusia yang mampu menyadari dirinya sebagai makhluk sosial yang hidup dalam dimensi tanggung jawab pribadi dan sosial. Pada tataran ini, pendidikan memiliki tujuan menghasilkan manusia-manusia yang berkepribadian utuh dan tidak mudah diombang-ambingkan oleh pelbagai desas-desus yang meresahkan ketenangan dalam hidup sosial.
Sebuah pemahaman bahwa manusia adalah makhluk yang tidak mudah diadu domba, tidak mudah dihasut, serta tidak mudah ditipu oleh pelbagai skenario sosial-politik yang terjadi—baik dalam skala regional maupun nasional. Toh, seperti yang pernah disinggung Arsid, ini sama artinya kita mendambakan manusia yang memiliki prinsip hidup, agar dapat membedakan apa yang bisa, boleh, dan seharusnya dilakukan. Ketika manusia (selalu) ditantang untuk berani menghadapi dan menerima perbedaan personal dan sosial: bahwa tiap manusia adalah unik.
Buat saya, apa artinya kecerdasan bila kita bersikap seperti Hitler—yang lebih mempersoalkan “identitas ethnis”?. Dalam Mein Kampf, ada kisah tentang Hitler muda. Pada suatu malam di pusat kota Wina, ia berjalan dan bertemu dengan sesosok bayangan hitam dengan rambut hitam dikepang. Hitler bertanya pada diri sendiri: “Yahudikah ini?. Setelah ia amati lebih jauh, ia kembali bertanya dalam hati: “Orang Jermankah ini?”. Hitler tak pernah berpikir apakah si Bayangan itu seorang dokter, tentara, atau seniman. Yang penting baginya hanya “identitas ethnis”.
Maka segera kita tahu: ia sesungguhnya tak memiliki kesadaran akan diri sendiri yang menyatu dengan kesadaran akan orang lain. Hitler menganggap identitas adalah sesuatu yang dibawa dari lahir, karena antagonisme yang diyakininya adalah sesuatu yang permanen. Ia lupa, identitas sebenarnya tak pernah datang sendiri. Ia hadir karena dirumuskan oleh nama dan bahasa: bangunan simbol yang disusun masyarakat—yang kadang dengan kekerasan. Bahkan ketika ada orang yang mengatakan: “Aku telah menemukan jati diriku”, sesungguhnya ia tak sadar bahwa “diri” yang “sejati” itu mustahil ia peroleh.
Di sinilah, kita terus paham mengapa kita memilih Arsid untuk menjadi pemimpin di Tangerang Selatan. Ia melihat Tangerang Selatan adalah sebuah sejarah masa depan yang berharga bukan untuk diri sendiri—dan dengan demikian memberi makna bagi hidup kita. Kota ini, baginya, adalah sebuah sejarah harapan dan pengorbanan—dari orang yang berbeda-beda, bagi orang yang berlain-lainan--yang tak merasa perlu memberi batas mutlak tentang ”luar” dan ”asing”. Ia selalu melihat bahwa masyarakat manusia juga mengandung benih-benih perkawanan. Tak cuma antagonisme. Itulah kecerdasan yang sesungguhnya dari seorang pemimpin. (*)
ARU WIJAYANTO
Bogor, 24 Februari 2011
Kamis, 24 Februari 2011
Saran Buat JPTS : Real Count via Facebook, Manfaatkan Fasilitas Upload Via Email, Hasilnya Tertayang Langsung di Wall JPTS
Pilkada Ulang besok 27 Feb 2011 adalah momen yang dinanti semua pihak, baik yang terlibat langsung maupun sekedar pantau. Untuk itu sudah selayaknya bila JPTS pun berpartisipasi melakukan pemantauan secara independen dengan memanfaatkan jaringan relawan yang dimiliki yang bersedia berkolaborasi membuat semacam Real Count bayangan dengan memanfaatkan fasilitas Facebook yang ada.
Bila ada 2 (dua) Surveyor yang akan melakukan Quick Count kelak, tentu tak ada salahnya bila JPTS cs melakukan hal yang sama dengan cara-cara yang sederhana dan dapat diakses oleh semua pihak.
Langsung ke topik bahasan :
Tiga hari untuk koordinasi mengani hal ini rasanya cukup, bila JPTS cs, berkonsentrasi untuk menggalang semua relawannya, JPTS dapat pula memanfaatkan kontak akun JPTS yang dapat dipercaya untuk menjadi bagian dari input-er tersebut.
Salam
:)
cahPamulang, jelang dini hari
(lagi nggak ditempat tapi tetep semangat menyambut Pilkada Ulang kelak)
24 Feb 2011
Saran Buat JPTS : Real Count via Facebook, Manfaatkan Fasilitas Upload Via Email, Hasilnya Tertayang Langsung di Wall JPTS
cahPamulang: Saran Buat JPTS : Real Count via Facebook, Manfaatkan Fasilitas Upload Via Email, Hasilnya Tertayang Langsung di Wall JPTS
Bila ada 2 (dua) Surveyor yang akan melakukan Quick Count kelak, tentu tak ada salahnya bila JPTS cs melakukan hal yang sama dengan cara-cara yang sederhana dan dapat diakses oleh semua pihak.
Langsung ke topik bahasan :
1. Akifkan fasilitas "upload via email" untuk akun Facebook anda melalui Setting Akun berikut :
2. Pilih Panel "Mobile" lanjutkan ke "Go To Facebook Mobile" dipojok kanan
3. Setelah anda akan mendapatkan alamat email akun Facebook anda, catat baik-baik dan jangan disebar ke publik, kecuali untuk petugas input data yang dipercaya
4. Siapkan draft untuk pengiriman data melalui email personal relawan input data anda, sebanyak TPS yang ada, yang dikelompokkan berdasar eEcamatan dan Kelurahan, dengan Fromat sederhana, contoh :
.
Kec. Pamulang, Kel. Benda Baru, TPS XX : A. (kosongin) B. (Kosongin) C. (Kosongin) D. (Kosongin) E. (Kosongin) F. (Kosongin)
.
A s/d D = suara sah, E = suara Rusak, F = Total Surat Suara
Pada contoh dibawah saya hanya buat A-D saja
5. Susun semua dalam draft email anda untuk siap edit begitu data masuk dan segera kirim ke alamat Email Akun Facebook anda.
6. Begitu input data selesai segera kirim ke alamat akun Facebook anda maka dalam sekian detik data tersebut akan tampil di Wall Anda. Pastikan Wall anda set Read Only, artinya kontak anda tidak dapat melakukan posting ke Wall anda kecuali reply saja. Seting ini penting agar kiriman Real Count tersebut tidak tertiban/ditiban oleh komentar orang lain, namun mereka masih dapat memberikan respon terhadap data yang masuk utamanya untuk koreksi bila diperlukan.
Gambar berikut ilustrasi Tampilan Real Count versi Wall yang didapat, dimana visitor masih dapat merespons postingan tersebut.
Catatan :
- Email Personal adalah Email Para Relawan
- Email Akun Facebook adalah alamat tujuan pengiriman data Facebook melalui email personal para relawan (email ini jangan disebar ke publik)
- Setting Wall agar publik sementara tidak dapat melakukan posting pada hari H atau H-1 untuk melakukan Simulasi dapat dilihat digambar berikut
Demikian Saran dan Harapan yang dapat saya sampaikan kepada JPTS cs, semoga anda semua masih mampu bergerak dan mengambil Kans dari Tutorial singkat ini. Perihal pembagian kolekting data, tentunya JPTS dapat mengukur kondisi internal nya sendiri. Apakah data diinput per Kecamatan, atau per-Kelurahan disesuaikan saja dengan kemampuan yang ada.
Tiga hari untuk koordinasi mengani hal ini rasanya cukup, bila JPTS cs, berkonsentrasi untuk menggalang semua relawannya, JPTS dapat pula memanfaatkan kontak akun JPTS yang dapat dipercaya untuk menjadi bagian dari input-er tersebut.
Salam
:)
cahPamulang, jelang dini hari
(lagi nggak ditempat tapi tetep semangat menyambut Pilkada Ulang kelak)
24 Feb 2011
Saran Buat JPTS : Real Count via Facebook, Manfaatkan Fasilitas Upload Via Email, Hasilnya Tertayang Langsung di Wall JPTS
cahPamulang: Saran Buat JPTS : Real Count via Facebook, Manfaatkan Fasilitas Upload Via Email, Hasilnya Tertayang Langsung di Wall JPTS
Refleksi Peran Media Menjelang Pemilukada
Oleh: Iwan Awaluddin Yusuf 1]
Dalam sebuah tulisan di Majalah Time, Henry Gunward pernah menulis jargon: no democracy without free press. Statemen ini senada dengan pidato Presiden Thomas Jefferson yang sangat populer: “Jika saya disuruh memilih antara pemerintah tanpa pers yang bebas dan pers bebas tanpa pemerintah, maka saya akan memilih pers bebas tanpa pemerintah”.
Di tengah semangat desentralisasi dan kebebasan informasi, bangkitnya industri pers lokal telah memberi kontribusi dan warna baru dalam tradisi bermedia dan kehidupan demokrasi di Indonesia. Namun demikian, lanskap kehidupan bermedia, terutama di ranah lokal masih menunjukkan karut marut persoalan yang berkelindan dan pelik untuk diurai. Netralitas pers lokal dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) misalnya, atau eksistensinya yang lebih mengutamakan fungsi ekonomi daripada aspek informatif-edukatif bagi publik daerah adalah dua isu utama yang mengemuka, bahkan berpotensi mereduksi peran pers; alih-alih menjadi lembaga keempat (fourth estate) yang mengawal proses demokratisasi, justru misfungsi menjadi kepanjangan tangan “raja-raja” daerah yang menyokong kepentingan kekuasaan jangka pendek, nasionalisme kesukuan, dan primordialisme lokal.
Tulisan ini akan mengelaborasi tiga bahasan: Pertama, tinjauan teoritik mengenai relasi media, demokrasi, dan proses menuju demokratisasi di ranah lokal. Kedua, sebagai respon dari penyelenggaraan otonomi daerah, media mau tidak mau memegang peran vital sebagai mediator informasi antarpemimpin politik pemerintahan lokal dengan konstituennya, maka diskusi tentang netralitas media dalam pemilihan kepala daerah menjadi penting untuk dikemukakan. Ketiga, bagian terakhir tulisan ini berusaha merumuskan pentingnya peran pers lokal dalam proses demokratisasi di Indonesia, sekaligus memberikan tawaran alternatif bagaimana seharusnya format pers lokal di masa mendatang, terutama sebagai subsistem demokrasi.
Pers Lokal, Reformasi, dan Otonomi
Maraknya pers lokal atau media daerah sesungguhnya merupakan reaksi simultan dari reformasi politik tahun 1998. Gerakan reformasi sendiri berhasil mendorong setidaknya dua perubahan signifikan.
Pertama, era kebebasan pers yang menggantikan tirani-autoritatif pemerintah melalui rezim surat perizinan. Sejarah mencatat, penguasa Orde Baru meneguhkan kekuasaan dalam mengintervensi pers melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers perihal Surat Izin Terbit (SIT) dari Departemen Penerangan dan Surat Izin Cetak (SIC) dari Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Tanpa kedua surat izin tersebut, sebuah terbitan dianggap ilegal. Pada kondisi tertentu, jika izin dicabut (lagi-lagi oleh pemerintah), terbitan itu otomatis diberangus. Tradisi SIT dan SIC berlaku lebih dari 15 tahun, sampai tahun 1982 saat SIT yang dikeluarkan oleh Departemen Penerangan diganti dengan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Esensi SIUPP sama persis dengan SIT, hanya berubah dalam sebutan. Ketika SIUPP sebuah terbitan dicabut oleh Departemen Penerangan, terbitan itu langsung ditutup oleh pemerintah.
Hiruk pikuk reformasi berhasil melenyapkan urusan perizinan ini. Berawal dari kelonggaran pengurusan SIUPP hingga pencabutan SIUPP dan berpuncak pada pengesahan Undang-undang Pers No. 42 Tahun 1999. Kini, cukup dengan secarik kertas bertajuk Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP-dengan satu P) yang sangat mudah diperoleh, siapapun yang memiliki modal dan berbadan hukum, berhak menerbitkan media cetak, tanpa birokrasi berbelit.
Kedua, perubahan mendasar dari reformasi adalah agenda otonomi daerah yang mengusung asas desentralisasi. Kebijakan yang dituangkan dalam UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerinthan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah ini menjadi titik balik perkembangan sistem pemerintahan di Indonesia, terutama pemerintahan di daerah. Bagi mekanisme penyelenggaran negara, kebijakan desentralisasi yang sejatinya pernah dituangkan gradatif dalam peratuan perundangan mulai tahun 1945 dan seterusnya, yaitu tahun 1948, 1957, 1959, 1965, 1974, 1999 dan yang terakhir Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004[2] membawa dua tujuan yang tidak dapat dilepaskan dari peran media (1) tujuan politik dan (2) tujuan administratif Tujuan politik memposisikan pemerintah daerah sebagai medium pendidikan politik bagi masyarakat tingkat lokal yang secara agregat akan berkontribusi pada pendidikan poliltik tingkat nasional dalam rangka mempercepat terwujudnya civil society. Sedangkan tujuan administratif memposisikan pemerintah daerah sebagai unit pemerintahan di tingkat lokal yang berfungsi menyediakan pelayanan masyarakat secara efektif, efisien, dan memberi hasil yang lebih baik dibanding pemerintahan sebelum reformasi (Mawardi, 2002: 2). Di satu sisi, otonomi daerah mempunyai kecenderungan ideinetik dengan kebebasan di daerah (freedom of locality) untuk menentukan nasib sendiri (self determination) atau demokrasi lokal (Akbar dan Khan, 1982, seperti dikutip Sarundajang, 2000: 57).
Di mata Hoessein (2002: 4), otonomi daerah membawa pergeseran sejumlah model dan paradigma pemerintahan lokal yang telah ada sebelumnya. Structural effiency model yang menekankan efisiensi dan keseragaman ditinggalkan dan diganti local democracy model yang menekankan nilai demokrasi dan keberagaman dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal. Seiring dengan pergeseran model tersebut, terjadi pula gugatan dari pengutamaan dekonsentrasi ke pengutamaan desentalisasi. Hubungan pemerintahan yang semula “dependent” dan “subordinate” kini menjadi “independent” dan “coordinate”. Pola hubungan tersebut tercipta sebagai konsekuensi perubahan makro dari integrated prefectoral system yang utuh ke integrated prefectoral system yang parsial, dalam hal ini berlangsung di tataran provinsi.
Dua perubahan elementer di atas mendorong media lokal mengartikulasikan kebutuhan informasi masyarakat sekaligus mengisi ceruk pasar (market niche). Mengingat kondisi masyarakat yang beraneka ragam, media lokal lahir dengan mengusung kebernekaragaman pula. Fungsi desentralisasi dan local autonomy bagi pers daerah ditunjukkan dengan kemampuan mengakomodasi kemajemukan aspirasi masyarakat lokal-komunitas. Desentalisasi media pada tingakan ini melahirkan kemajemukan politik (political variety) yang sangat berguna untuk menyalurkan dan menampung local voice dan local choice.
Hubungan media dan good local governance dalam konteks otonomi menjadi sangat penting karena pengambilan keputusan pemerintah tidak mungkin dilakukan tanpa partisipasi masyarakat. Media menjadi wahana informasi yang strategis dalam menampung aspirasi grassroot atas berbagai keputusan yang akan diambil pemerintah, sekaligus menginformasikan keputusan itu sendiri (Tim LSPP, 2005: x). Kondisi partisipatif seperti ini digambarkan oleh Page (1991):
To be local implies some control over decisions by the community. The principles of representative democracy suggest that this influence is exercised at least in part through democratically elected officials who may be expected to representative can also provide the focus for form of participatory democracy through direct citizen involvement or interest group activity
Senada dengan Page, Riyanto (2005: 229) melihat bahwa inti dari poyek desentralisasi dan otonomi daerah adalah bagaimana membangun demokrasi di tingkat lokal dan secara simultan, pada waktu bersamaan membangun civil society yang kuat. Kondisi seperti ini tentu tidak dapat terwujud tanpa partisipasi masyarakat yang terinformasi dengan baik (well informed). Dengan meningkatnya atmosfer keterlibatan dan partisipasi subsistem di tingkat lokal dan institusi-institusi lain di luar pemerintahan, terutama dalam pengambilan keputusan, maka pembangunan akan semakin responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat (De Gusman dan Referma, 1993: 3)
Pendapat yang sama diungkapkan Masyarakat Transparansi Indonesia (2002: 17). Menurut MTI, salah satu kunci keberhasilan otonomi daerah adalah partisipasi aktif masyarakat lokal, yang salah satunya dijembatani saluran media massa lokal. Partisipasi pers menjadi penentu kesuksesan otonomi daerah karena di dalamnya mengandung aspek pengawasan dan aspirasi.
Jack Snyder (2003, sebagaiamana dikutip Tim LSPP, 2005: 8 ) juga melihat peran positif yang dapat dimainkan media lokal, seperti sebagai pendidik, pengidentifikasi masalah, penyedia forum, dan penguat (revitalitator) sosiokultural bagi komunitasnya. Robert Dahl (seperti dirujuk Oetama, 2001: 76) menyebut peran pers yang bebas sebagai “the availability of alternative and independent sources of information”. Peran utama ini bersinergi dengan prinsip-prinsip good local governance seperti partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas di tingkat lokal. Partisipasi berarti adanya peran aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan. Transparansi didasarkan pada adanya mekanisme penjaminan akses umum bagi pengabilan keputusan. Sedangkan akuntabilitas menyatakan seberapa besar efektifitas pengaruh dari pihak yang diperintah (objek) terhadap pihak pemerintah (subjek). Sementara itu Keane (1991:116-117) menggarisbawahi pentingnya media sebagai pelayan publik (public servant) yang memiliki andil besar dalam negara demokrasi. Andil ini terutama menyangkut ketersediaan informasi yang berguna bagi kehidupan publik.
Selain kontribusi dalam menjamin proses demokratisasi, di satu sisi, media lokal juga membawa efek ambivalen karena kuatnya nilai primordialisme dan keterdekatan sosiokultural-ekonomi pemodal media dengan stakeholder daerah yang menyebabkan media lokal juga memiliki posisi dilematis, misalnya dalam peliputan Pilkada (Kandyawan, 2005). Synder (2003) dengan berbagai penelitiannya bahkan menyimpulkan pers lokal bisa mengobarkan kepentingan jangka pendek, terutama karena pada masa awal demokratisasi-bermedia terjadi, suasana berpendapat bebas terjadi, pers lebih mudah didirikan, dan semuanya bisa menjadi alat bagi para maniak kekuasaan untuk menaikkan posisinya (Haryanto, 2005; Tim LSPP, 2005: 8).
Dengan kata lain, pers daerah kadang-kadang gagal menjaga jarak dan ikut larut secara emosional dengan dinamika kompetisi sosial politik dan konflik di wilayahnya, akibatnya liputan menjadi kurang berimbang. Di sisi lain, tekanan pasar, baik yang berupa ketatnya persaingan antarmedia maupun kehausan publik bawah terhadap tuntutan sensasionalitas berita, sering memperkeruh proses dan wajah liputan pers daerah (Kandyawan, 2005) .
Netralitas Pers dalam Pemilihan Kepala Daerah
Prasyarat bagi terwujudnya proses demokratisasi adalah kebebasan ekspresi dan informasi, oleh karena itu diperlukan subsistem berupa media massa yang independen. Dimulai dengan memberikan informasi yang benar, relevan, dan objektif bagi masyarakat sampai pada fungsi pengawas kekuasaan. Pengertian kekuasaan dalam konteks masyarakat demokratis tidak hanya berorientasi pada kekuasaan pemerintah, melainkan ada ruang lingkup yang cukup luas yang meliputi kegiatan politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Ini sinkron dengan apa yang dikemukakan Schieck (2003: 8 ) bahwa kehadiran media yang independen dapat mengarah pada dua peran; Pertama, menjadi “anjing penjaga” (watchdog) bagi pemerintah. Kedua, mengedukasi publik atas berbagai isu yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka sehari-hari.
Interaksi ini terlihat di banyak sektor kehidupan. Dalam konteks yang lebih politis, pemilu misalnya, menurut survei The Asia Foundation yang dikeluarkan pada 2004, lebih dari 90 persen masyarakat menggunakan media sebagai sumber informasi pemilihan umum (Tim LSPP, 2005: 2). Dari besarnya angka ini tentu sangat membuka penyalahgunaan media sebagai sarana “main mata” antara pemilik media dan elit politik daerah. Mulai dari kesepakatan transaksioal untuk menyediakan space iklan politik, meliput pelantikan pejabat daerah, hingga publikasi yang mem-blow up aktivitas kampanye pemilu. Kondisi ini lebih parah jika kebetulan pemilik media atau orang kuat di struktur organisasi media adalah salah satu kandidat peserta pilkada. Yang terjadi tidak lain pers menjadi aparatus kepentingan sesaat guna menggalang konstituen di daerah komunitasnya. Jelas dari bentuk-bentuk penyimpangan seperti ini, pers tidak lagi dapat berfungsi sebagaimana konsepsi tradisional pers: majelis keempat demokrasi.
Kekuasaan keempat (the fourth estate), tidak berarti pers harus memposisikan diri “beroposisi” terhadap pemerintah atau “melawan” pemerintah. Kedudukan pers dalam konsep majelis keempat sama dengan parlemen, yang lebih ditekankan pada sifat independensi atau kebebasan menyebarkan informasi dan pendapat tanpa rintangan dari pemerintah. Pers hanya bertanggung jawab secara yuridis kepada pengadilan, dan juga bertanggungjawab etika kepada organisasi wartawan (Muis (2000: 56-57).
Tarik-menarik kepentingan antara pers dengan elite lokal dan penyalahgunaan fungsi pers lokal dalam proses pemilihan kepala daerah dapat dimungkinkan terjadi karena beberapa penyebab yang berpangkal pada satu hal, minimnya profesionalisme. Profesionalisme pers dapat diindikasi dari tiga tataran: mikro, meso, dan makro. Meski kadang di antara tiga level ini tidak tegas pembedaanya karena saling tumpang tindih dan dipertautkan satu sama lain, namun secara sederhana pengkategorian di atas dapat mempermudah dalam pembahasan.
Pertama, level mikro, yaitu produk akhir media berupa isi atau teks, yang secara sederhana terlihat dari berita yang disajikan. Ketidakprofesionalan pers lokal terutama sangat terlihat dari berbagai pemberita tentang proses penyelengaraan pemilihan kepala daerah yang ditampilkan kurang berimbang. Terbukti dari penelitian yang dirilis LSPP tahun 2005 tentang isu transparansi (korupsi) dan pelayanan publik terhadap 8 media cetak lokal di 4 wilayah (Lampung, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat) memperlihatkan ketergantungan suratkabar lokal tersebut yang masih tinggi dengan kekuasaan lokal. Kondisi ini jelas mempersempit ruang gerak media cetak sebagai pengontrol kekuasaan (Tim LSPP, 2005: x). Pada penelitian tahun sebelumnya (2004), LSPP melakukan monitoring terhadap 1.136 berita dari 10 suratkabar terkemuka Indonesia pada periode 11-25 Maret 2004. Hasil yang diperoleh adalah kesimpulan bahwa media kurang memperhatikan asas keberimbangan (cover both sides) dalam menyajikan berita. Isu seputar KKN dan uapaya reformasi militer misalnya, atau isu Dewan Perwakilan Daerah yang kandidatnya mencapai ribuan orang, hanya memperoleh perhatian peliputan yang sangat minim dibanding peristiwa-peristiwa lain yang diberitakan (Luwarso. ed, 2004).
Padahal secara teoritik, profesionalisme dalam berita mensyaratkan beberapa kondisi, terutama objektivitas. Dalam konsepsi yang cenderung positivistik ini, definisi objektivitas dirumuskan dalam dua prinsip, yaitu kesesuaian dengan kenyataan (factuality) dan tidak memihak (impartiality). Prinsip factuality terdiri dari dua unsur, yaitu benar (truth) dan relevan (relevance). Unsur benar (truth) ditentukan oleh ketepatan (accuracy) dalam mendeskripsikan fakta. Kebenaran akan kuat jika disertai akurasi pada seluruh unsur berita (5W+1H). Keakuratan ini dalam praktiknya memerlukan kelengkapan (completeness) berbagai instrumen. Sementara itu, unsur-unsur yang digunakan untuk mengukur tingkat relevance meliputi: (1) proximity psikografis, (2) proximity geografis, (3) timeliness, (4) significance, (5) prominence dan (6) magnitude. Item-item tersebut dikenal sebagai news values. Prisip tidak memihak (impartiality) juga menentukan tingkat objektivitas. Ada dua unsur yang mendukung ketidakberpihakan, yaitu seimbang (balance) dan neutral. Seimbang adalah memberi tempat yang adil pada pandangan yang berbeda, sering disebut dengan istilah cover both sides, sedangkan netral berarti harus ada pemisahan antara fakta dan opini pribadi wartawan (McQuail, 2000: 196 – 222).
Mengungkap fakta dengan objektivitas sesuai unsur-unsur yang telah disebutkan di atas, maka dengan sendirinya media akan menjadi anjing penjaga (watchdog) terhadap berbagai penyelewengan, baik di level negara (state) maupun masyarakat (public), termasuk perorangan. Dalam kondisi ini masyarakat akan berpikir serta menentukan sendiri, mana yang benar dan mana yang salah. Pers tidak perlu mendikte atau mengarahkan, cukup mengungkap fakta apa adanya, dan masyarakatlah yang memberi penilaian.
Kedua, indikasi profesionalisme pers lokal dapat dilihat dari elemen meso. Aspek ini meliputi dinamika proses-proses memproduksi dan mengonsumsi teks media. Hal mencolok dalam pembahasan ini adalah lemahnya manajemen pers lokal dengan SDM yang kurang kompeten serta tidak profesional. Selain itu, lemahnya manajemen media ini juga berujung pangkal pada rendahnya kesejahteraan hidup jurnalis lokal, yang dalam banyak kasus diberi gaji di bawah standar UMR. Bahkan, ada sebagian wartawan daerah yang hanya memperoleh kartu pers tanpa gaji tetap dari medianya (lihat misalnya Tim LSPP, 2005: 102). Pada kasus lain, pendirian pers merupakan agenda politik elite lokal yang membawa misi menjadikan media sebagai corong membela kepentingannya. Ini tampak dari nama-nama elite poltik lokal yang tercantum dalam masshead (struktur redaksional) suratkabar.
Kurangnya profesionalisme pers lokal juga diperlihatkan dari kondisi wartawan yang tidak memiliki kompetensi dan idealisme sehingga hanya menjadikan institusi media lokal sebagai lahan mencari keuntungan. Kolaborasi mutualisme wartawan dengan pemerintah daerah mengarah pada kesepakatan-kesepakatan yang menyimpang dari idealisme dan etika jurnalistik dilegalkan dalam anggaran pemerintah daerah (ABPD), mulai dari biaya perwatan gedung PWI, pembinaan ini itu, hingga mensponsori sejumlah kegiatan fiktif bagi para wartawan. Inilah yang seharusnya dihapuskan dalam anggaran pemerintah daerah sekaligus ditolak oleh wartawan. Penghapusan pos tersebut dapat mendudukkan pers pada posisi yang proporsional sebagai lembaga independen.
Ketiga, indikasi untuk melihat profesionalisme pers lokal adalah pada tataran makro yang merujuk pada dinamikan sosial budaya, ekonomi politik, konteks sejarah, dan regulasi media. Isu yang mencolok dari aspek makro adalah ketidakjelasan aturan main bagi pers lokal dalam mengartikulasikan fungsinya. Penegakan etika yang kurang tegas, siapa yang memeberi sanksi dan sanksi apa yang dilakukan jika terjadi pelanggaran tampaknya belum sepenuhnya diakomodasi dengan baik oleh berbagai sistem hukum di negara kita, dalam pengertian lemah pada aspek penegakan, bukan pada bunyi pasal-pasal perundang-undangan. Di sisi lain, dari segi historis, menjamurnya pers lokal juga tidak sepenuhnya berangkat dari basis pemikiran kontemplatif bagi kemanfaatan publik, melainkan tak lebih sebagai tren, bahkan euforia kebebasan yang pada titik tertentu ternyata tidak dipahami maknanya oleh baik pengelola pers maupun publik media itu sendiri. Inilah yang mendorong perlunya lembaga pengawas media (media watch) yang independen guna mengingatkan jika terjadi penyelewengan oleh pers. Selain itu bagi masyarakat diperlukan edukasi bermedia melalui pendidikan literasi media sehingga mereka tidak hanya menjadi objek pasif media, melainkan memiliki kesadaran peran sebagai stakeholder aktif yang berhak terlibat dalam proses produksi dan distribusi informasi.
Penutup
Demokrasi mengandung makna independensi dan otonomi. Dengan kata lain, kehidupan politik disangga oleh berbagai institusi yang memiliki tingkat kebebasan dan otonomi, namun saling bersinergi satu sama lain. Dalam kondisi semacam ini kehadiran media pers merupakan keniscayaan (conditio sine qua non). Keberadaan pers lokal sebagai subsistem arena percaturan politik di tingkat lokal mengharuskan adanya landasan profesionalisme dan idealisme yang kuat. Tanpa profesionalisme, media pers tidak akan memperoleh kepercayaan masyarakat. Berkembangnya pers lokal harus dimaknai secara bijaksana oleh stakeholder media sehingga fungsi “memberdayakan” (empowering) masyarakat lewat media tidak berubah makna menjadi “memperdayakan” (disempowering) sebagaimana euforia kebebasan pers di awal era reformasi beberapa waktu lalu: “Yang penting terbit, urusan lain belakangan”.
Di sisi lain, sebagai sebuah institusi bisnis, pers lokal juga harus meningkatkan mutu manajemen media yang pada gilirannya mampu menyehatkan perusahaan dan meningkatkan kesejahteraan para pekerja media yang bersangkutan. Gempuran persaingan dengan media-media lain juga akan menguji sampai sejauh mana eksistensi pers daerah di masa-masa mendatang. Dalam menyikapinya maka peningkatan kapasitas manajerial harus dilakukan melalui berbagai pendidikan dan pelatihan yang intensif.
Terakhir, publik pembaca juga harus berupaya meningkatkan pemahaman tentang melek media (media literacy) sehingga dapat meningkatkan apresiasi dan partisipasi bermedia secara sehat dan kritis guna mendorong terciptanya good local government dalam arti sesungguhnya, yaitu menjamin adanya partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas, termasuk pada pelaksanaan pilkada 2010 yang berlangsung di berbagai daerah di Indonesia.
--------
[1] Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, peneliti di Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP) Yogyakarta.
[2] Undang-udang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan revisi atas UU No. 22 Tahun 1999. Revisi lewat produk undang-undang yang baru ini oleh sebagian kalangan cenderung dipandang sebagai bentuk ”re-sentralisasi” (Lihat misanya Haris., dkk, Membangun Format Baru Otonomi Daerah, 2006).
---------
sumber, digotong dari
http://bincangmedia.wordpress.com/2010/03/30/refleksi-peran-media-menjelang-pilkada-2010/
Dalam sebuah tulisan di Majalah Time, Henry Gunward pernah menulis jargon: no democracy without free press. Statemen ini senada dengan pidato Presiden Thomas Jefferson yang sangat populer: “Jika saya disuruh memilih antara pemerintah tanpa pers yang bebas dan pers bebas tanpa pemerintah, maka saya akan memilih pers bebas tanpa pemerintah”.
Di tengah semangat desentralisasi dan kebebasan informasi, bangkitnya industri pers lokal telah memberi kontribusi dan warna baru dalam tradisi bermedia dan kehidupan demokrasi di Indonesia. Namun demikian, lanskap kehidupan bermedia, terutama di ranah lokal masih menunjukkan karut marut persoalan yang berkelindan dan pelik untuk diurai. Netralitas pers lokal dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) misalnya, atau eksistensinya yang lebih mengutamakan fungsi ekonomi daripada aspek informatif-edukatif bagi publik daerah adalah dua isu utama yang mengemuka, bahkan berpotensi mereduksi peran pers; alih-alih menjadi lembaga keempat (fourth estate) yang mengawal proses demokratisasi, justru misfungsi menjadi kepanjangan tangan “raja-raja” daerah yang menyokong kepentingan kekuasaan jangka pendek, nasionalisme kesukuan, dan primordialisme lokal.
Tulisan ini akan mengelaborasi tiga bahasan: Pertama, tinjauan teoritik mengenai relasi media, demokrasi, dan proses menuju demokratisasi di ranah lokal. Kedua, sebagai respon dari penyelenggaraan otonomi daerah, media mau tidak mau memegang peran vital sebagai mediator informasi antarpemimpin politik pemerintahan lokal dengan konstituennya, maka diskusi tentang netralitas media dalam pemilihan kepala daerah menjadi penting untuk dikemukakan. Ketiga, bagian terakhir tulisan ini berusaha merumuskan pentingnya peran pers lokal dalam proses demokratisasi di Indonesia, sekaligus memberikan tawaran alternatif bagaimana seharusnya format pers lokal di masa mendatang, terutama sebagai subsistem demokrasi.
Pers Lokal, Reformasi, dan Otonomi
Maraknya pers lokal atau media daerah sesungguhnya merupakan reaksi simultan dari reformasi politik tahun 1998. Gerakan reformasi sendiri berhasil mendorong setidaknya dua perubahan signifikan.
Pertama, era kebebasan pers yang menggantikan tirani-autoritatif pemerintah melalui rezim surat perizinan. Sejarah mencatat, penguasa Orde Baru meneguhkan kekuasaan dalam mengintervensi pers melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers perihal Surat Izin Terbit (SIT) dari Departemen Penerangan dan Surat Izin Cetak (SIC) dari Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Tanpa kedua surat izin tersebut, sebuah terbitan dianggap ilegal. Pada kondisi tertentu, jika izin dicabut (lagi-lagi oleh pemerintah), terbitan itu otomatis diberangus. Tradisi SIT dan SIC berlaku lebih dari 15 tahun, sampai tahun 1982 saat SIT yang dikeluarkan oleh Departemen Penerangan diganti dengan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Esensi SIUPP sama persis dengan SIT, hanya berubah dalam sebutan. Ketika SIUPP sebuah terbitan dicabut oleh Departemen Penerangan, terbitan itu langsung ditutup oleh pemerintah.
Hiruk pikuk reformasi berhasil melenyapkan urusan perizinan ini. Berawal dari kelonggaran pengurusan SIUPP hingga pencabutan SIUPP dan berpuncak pada pengesahan Undang-undang Pers No. 42 Tahun 1999. Kini, cukup dengan secarik kertas bertajuk Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP-dengan satu P) yang sangat mudah diperoleh, siapapun yang memiliki modal dan berbadan hukum, berhak menerbitkan media cetak, tanpa birokrasi berbelit.
Kedua, perubahan mendasar dari reformasi adalah agenda otonomi daerah yang mengusung asas desentralisasi. Kebijakan yang dituangkan dalam UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerinthan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah ini menjadi titik balik perkembangan sistem pemerintahan di Indonesia, terutama pemerintahan di daerah. Bagi mekanisme penyelenggaran negara, kebijakan desentralisasi yang sejatinya pernah dituangkan gradatif dalam peratuan perundangan mulai tahun 1945 dan seterusnya, yaitu tahun 1948, 1957, 1959, 1965, 1974, 1999 dan yang terakhir Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004[2] membawa dua tujuan yang tidak dapat dilepaskan dari peran media (1) tujuan politik dan (2) tujuan administratif Tujuan politik memposisikan pemerintah daerah sebagai medium pendidikan politik bagi masyarakat tingkat lokal yang secara agregat akan berkontribusi pada pendidikan poliltik tingkat nasional dalam rangka mempercepat terwujudnya civil society. Sedangkan tujuan administratif memposisikan pemerintah daerah sebagai unit pemerintahan di tingkat lokal yang berfungsi menyediakan pelayanan masyarakat secara efektif, efisien, dan memberi hasil yang lebih baik dibanding pemerintahan sebelum reformasi (Mawardi, 2002: 2). Di satu sisi, otonomi daerah mempunyai kecenderungan ideinetik dengan kebebasan di daerah (freedom of locality) untuk menentukan nasib sendiri (self determination) atau demokrasi lokal (Akbar dan Khan, 1982, seperti dikutip Sarundajang, 2000: 57).
Di mata Hoessein (2002: 4), otonomi daerah membawa pergeseran sejumlah model dan paradigma pemerintahan lokal yang telah ada sebelumnya. Structural effiency model yang menekankan efisiensi dan keseragaman ditinggalkan dan diganti local democracy model yang menekankan nilai demokrasi dan keberagaman dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal. Seiring dengan pergeseran model tersebut, terjadi pula gugatan dari pengutamaan dekonsentrasi ke pengutamaan desentalisasi. Hubungan pemerintahan yang semula “dependent” dan “subordinate” kini menjadi “independent” dan “coordinate”. Pola hubungan tersebut tercipta sebagai konsekuensi perubahan makro dari integrated prefectoral system yang utuh ke integrated prefectoral system yang parsial, dalam hal ini berlangsung di tataran provinsi.
Dua perubahan elementer di atas mendorong media lokal mengartikulasikan kebutuhan informasi masyarakat sekaligus mengisi ceruk pasar (market niche). Mengingat kondisi masyarakat yang beraneka ragam, media lokal lahir dengan mengusung kebernekaragaman pula. Fungsi desentralisasi dan local autonomy bagi pers daerah ditunjukkan dengan kemampuan mengakomodasi kemajemukan aspirasi masyarakat lokal-komunitas. Desentalisasi media pada tingakan ini melahirkan kemajemukan politik (political variety) yang sangat berguna untuk menyalurkan dan menampung local voice dan local choice.
Hubungan media dan good local governance dalam konteks otonomi menjadi sangat penting karena pengambilan keputusan pemerintah tidak mungkin dilakukan tanpa partisipasi masyarakat. Media menjadi wahana informasi yang strategis dalam menampung aspirasi grassroot atas berbagai keputusan yang akan diambil pemerintah, sekaligus menginformasikan keputusan itu sendiri (Tim LSPP, 2005: x). Kondisi partisipatif seperti ini digambarkan oleh Page (1991):
To be local implies some control over decisions by the community. The principles of representative democracy suggest that this influence is exercised at least in part through democratically elected officials who may be expected to representative can also provide the focus for form of participatory democracy through direct citizen involvement or interest group activity
Senada dengan Page, Riyanto (2005: 229) melihat bahwa inti dari poyek desentralisasi dan otonomi daerah adalah bagaimana membangun demokrasi di tingkat lokal dan secara simultan, pada waktu bersamaan membangun civil society yang kuat. Kondisi seperti ini tentu tidak dapat terwujud tanpa partisipasi masyarakat yang terinformasi dengan baik (well informed). Dengan meningkatnya atmosfer keterlibatan dan partisipasi subsistem di tingkat lokal dan institusi-institusi lain di luar pemerintahan, terutama dalam pengambilan keputusan, maka pembangunan akan semakin responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat (De Gusman dan Referma, 1993: 3)
Pendapat yang sama diungkapkan Masyarakat Transparansi Indonesia (2002: 17). Menurut MTI, salah satu kunci keberhasilan otonomi daerah adalah partisipasi aktif masyarakat lokal, yang salah satunya dijembatani saluran media massa lokal. Partisipasi pers menjadi penentu kesuksesan otonomi daerah karena di dalamnya mengandung aspek pengawasan dan aspirasi.
Jack Snyder (2003, sebagaiamana dikutip Tim LSPP, 2005: 8 ) juga melihat peran positif yang dapat dimainkan media lokal, seperti sebagai pendidik, pengidentifikasi masalah, penyedia forum, dan penguat (revitalitator) sosiokultural bagi komunitasnya. Robert Dahl (seperti dirujuk Oetama, 2001: 76) menyebut peran pers yang bebas sebagai “the availability of alternative and independent sources of information”. Peran utama ini bersinergi dengan prinsip-prinsip good local governance seperti partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas di tingkat lokal. Partisipasi berarti adanya peran aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan. Transparansi didasarkan pada adanya mekanisme penjaminan akses umum bagi pengabilan keputusan. Sedangkan akuntabilitas menyatakan seberapa besar efektifitas pengaruh dari pihak yang diperintah (objek) terhadap pihak pemerintah (subjek). Sementara itu Keane (1991:116-117) menggarisbawahi pentingnya media sebagai pelayan publik (public servant) yang memiliki andil besar dalam negara demokrasi. Andil ini terutama menyangkut ketersediaan informasi yang berguna bagi kehidupan publik.
Selain kontribusi dalam menjamin proses demokratisasi, di satu sisi, media lokal juga membawa efek ambivalen karena kuatnya nilai primordialisme dan keterdekatan sosiokultural-ekonomi pemodal media dengan stakeholder daerah yang menyebabkan media lokal juga memiliki posisi dilematis, misalnya dalam peliputan Pilkada (Kandyawan, 2005). Synder (2003) dengan berbagai penelitiannya bahkan menyimpulkan pers lokal bisa mengobarkan kepentingan jangka pendek, terutama karena pada masa awal demokratisasi-bermedia terjadi, suasana berpendapat bebas terjadi, pers lebih mudah didirikan, dan semuanya bisa menjadi alat bagi para maniak kekuasaan untuk menaikkan posisinya (Haryanto, 2005; Tim LSPP, 2005: 8).
Dengan kata lain, pers daerah kadang-kadang gagal menjaga jarak dan ikut larut secara emosional dengan dinamika kompetisi sosial politik dan konflik di wilayahnya, akibatnya liputan menjadi kurang berimbang. Di sisi lain, tekanan pasar, baik yang berupa ketatnya persaingan antarmedia maupun kehausan publik bawah terhadap tuntutan sensasionalitas berita, sering memperkeruh proses dan wajah liputan pers daerah (Kandyawan, 2005) .
Netralitas Pers dalam Pemilihan Kepala Daerah
Prasyarat bagi terwujudnya proses demokratisasi adalah kebebasan ekspresi dan informasi, oleh karena itu diperlukan subsistem berupa media massa yang independen. Dimulai dengan memberikan informasi yang benar, relevan, dan objektif bagi masyarakat sampai pada fungsi pengawas kekuasaan. Pengertian kekuasaan dalam konteks masyarakat demokratis tidak hanya berorientasi pada kekuasaan pemerintah, melainkan ada ruang lingkup yang cukup luas yang meliputi kegiatan politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Ini sinkron dengan apa yang dikemukakan Schieck (2003: 8 ) bahwa kehadiran media yang independen dapat mengarah pada dua peran; Pertama, menjadi “anjing penjaga” (watchdog) bagi pemerintah. Kedua, mengedukasi publik atas berbagai isu yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka sehari-hari.
Interaksi ini terlihat di banyak sektor kehidupan. Dalam konteks yang lebih politis, pemilu misalnya, menurut survei The Asia Foundation yang dikeluarkan pada 2004, lebih dari 90 persen masyarakat menggunakan media sebagai sumber informasi pemilihan umum (Tim LSPP, 2005: 2). Dari besarnya angka ini tentu sangat membuka penyalahgunaan media sebagai sarana “main mata” antara pemilik media dan elit politik daerah. Mulai dari kesepakatan transaksioal untuk menyediakan space iklan politik, meliput pelantikan pejabat daerah, hingga publikasi yang mem-blow up aktivitas kampanye pemilu. Kondisi ini lebih parah jika kebetulan pemilik media atau orang kuat di struktur organisasi media adalah salah satu kandidat peserta pilkada. Yang terjadi tidak lain pers menjadi aparatus kepentingan sesaat guna menggalang konstituen di daerah komunitasnya. Jelas dari bentuk-bentuk penyimpangan seperti ini, pers tidak lagi dapat berfungsi sebagaimana konsepsi tradisional pers: majelis keempat demokrasi.
Kekuasaan keempat (the fourth estate), tidak berarti pers harus memposisikan diri “beroposisi” terhadap pemerintah atau “melawan” pemerintah. Kedudukan pers dalam konsep majelis keempat sama dengan parlemen, yang lebih ditekankan pada sifat independensi atau kebebasan menyebarkan informasi dan pendapat tanpa rintangan dari pemerintah. Pers hanya bertanggung jawab secara yuridis kepada pengadilan, dan juga bertanggungjawab etika kepada organisasi wartawan (Muis (2000: 56-57).
Tarik-menarik kepentingan antara pers dengan elite lokal dan penyalahgunaan fungsi pers lokal dalam proses pemilihan kepala daerah dapat dimungkinkan terjadi karena beberapa penyebab yang berpangkal pada satu hal, minimnya profesionalisme. Profesionalisme pers dapat diindikasi dari tiga tataran: mikro, meso, dan makro. Meski kadang di antara tiga level ini tidak tegas pembedaanya karena saling tumpang tindih dan dipertautkan satu sama lain, namun secara sederhana pengkategorian di atas dapat mempermudah dalam pembahasan.
Pertama, level mikro, yaitu produk akhir media berupa isi atau teks, yang secara sederhana terlihat dari berita yang disajikan. Ketidakprofesionalan pers lokal terutama sangat terlihat dari berbagai pemberita tentang proses penyelengaraan pemilihan kepala daerah yang ditampilkan kurang berimbang. Terbukti dari penelitian yang dirilis LSPP tahun 2005 tentang isu transparansi (korupsi) dan pelayanan publik terhadap 8 media cetak lokal di 4 wilayah (Lampung, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat) memperlihatkan ketergantungan suratkabar lokal tersebut yang masih tinggi dengan kekuasaan lokal. Kondisi ini jelas mempersempit ruang gerak media cetak sebagai pengontrol kekuasaan (Tim LSPP, 2005: x). Pada penelitian tahun sebelumnya (2004), LSPP melakukan monitoring terhadap 1.136 berita dari 10 suratkabar terkemuka Indonesia pada periode 11-25 Maret 2004. Hasil yang diperoleh adalah kesimpulan bahwa media kurang memperhatikan asas keberimbangan (cover both sides) dalam menyajikan berita. Isu seputar KKN dan uapaya reformasi militer misalnya, atau isu Dewan Perwakilan Daerah yang kandidatnya mencapai ribuan orang, hanya memperoleh perhatian peliputan yang sangat minim dibanding peristiwa-peristiwa lain yang diberitakan (Luwarso. ed, 2004).
Padahal secara teoritik, profesionalisme dalam berita mensyaratkan beberapa kondisi, terutama objektivitas. Dalam konsepsi yang cenderung positivistik ini, definisi objektivitas dirumuskan dalam dua prinsip, yaitu kesesuaian dengan kenyataan (factuality) dan tidak memihak (impartiality). Prinsip factuality terdiri dari dua unsur, yaitu benar (truth) dan relevan (relevance). Unsur benar (truth) ditentukan oleh ketepatan (accuracy) dalam mendeskripsikan fakta. Kebenaran akan kuat jika disertai akurasi pada seluruh unsur berita (5W+1H). Keakuratan ini dalam praktiknya memerlukan kelengkapan (completeness) berbagai instrumen. Sementara itu, unsur-unsur yang digunakan untuk mengukur tingkat relevance meliputi: (1) proximity psikografis, (2) proximity geografis, (3) timeliness, (4) significance, (5) prominence dan (6) magnitude. Item-item tersebut dikenal sebagai news values. Prisip tidak memihak (impartiality) juga menentukan tingkat objektivitas. Ada dua unsur yang mendukung ketidakberpihakan, yaitu seimbang (balance) dan neutral. Seimbang adalah memberi tempat yang adil pada pandangan yang berbeda, sering disebut dengan istilah cover both sides, sedangkan netral berarti harus ada pemisahan antara fakta dan opini pribadi wartawan (McQuail, 2000: 196 – 222).
Mengungkap fakta dengan objektivitas sesuai unsur-unsur yang telah disebutkan di atas, maka dengan sendirinya media akan menjadi anjing penjaga (watchdog) terhadap berbagai penyelewengan, baik di level negara (state) maupun masyarakat (public), termasuk perorangan. Dalam kondisi ini masyarakat akan berpikir serta menentukan sendiri, mana yang benar dan mana yang salah. Pers tidak perlu mendikte atau mengarahkan, cukup mengungkap fakta apa adanya, dan masyarakatlah yang memberi penilaian.
Kedua, indikasi profesionalisme pers lokal dapat dilihat dari elemen meso. Aspek ini meliputi dinamika proses-proses memproduksi dan mengonsumsi teks media. Hal mencolok dalam pembahasan ini adalah lemahnya manajemen pers lokal dengan SDM yang kurang kompeten serta tidak profesional. Selain itu, lemahnya manajemen media ini juga berujung pangkal pada rendahnya kesejahteraan hidup jurnalis lokal, yang dalam banyak kasus diberi gaji di bawah standar UMR. Bahkan, ada sebagian wartawan daerah yang hanya memperoleh kartu pers tanpa gaji tetap dari medianya (lihat misalnya Tim LSPP, 2005: 102). Pada kasus lain, pendirian pers merupakan agenda politik elite lokal yang membawa misi menjadikan media sebagai corong membela kepentingannya. Ini tampak dari nama-nama elite poltik lokal yang tercantum dalam masshead (struktur redaksional) suratkabar.
Kurangnya profesionalisme pers lokal juga diperlihatkan dari kondisi wartawan yang tidak memiliki kompetensi dan idealisme sehingga hanya menjadikan institusi media lokal sebagai lahan mencari keuntungan. Kolaborasi mutualisme wartawan dengan pemerintah daerah mengarah pada kesepakatan-kesepakatan yang menyimpang dari idealisme dan etika jurnalistik dilegalkan dalam anggaran pemerintah daerah (ABPD), mulai dari biaya perwatan gedung PWI, pembinaan ini itu, hingga mensponsori sejumlah kegiatan fiktif bagi para wartawan. Inilah yang seharusnya dihapuskan dalam anggaran pemerintah daerah sekaligus ditolak oleh wartawan. Penghapusan pos tersebut dapat mendudukkan pers pada posisi yang proporsional sebagai lembaga independen.
Ketiga, indikasi untuk melihat profesionalisme pers lokal adalah pada tataran makro yang merujuk pada dinamikan sosial budaya, ekonomi politik, konteks sejarah, dan regulasi media. Isu yang mencolok dari aspek makro adalah ketidakjelasan aturan main bagi pers lokal dalam mengartikulasikan fungsinya. Penegakan etika yang kurang tegas, siapa yang memeberi sanksi dan sanksi apa yang dilakukan jika terjadi pelanggaran tampaknya belum sepenuhnya diakomodasi dengan baik oleh berbagai sistem hukum di negara kita, dalam pengertian lemah pada aspek penegakan, bukan pada bunyi pasal-pasal perundang-undangan. Di sisi lain, dari segi historis, menjamurnya pers lokal juga tidak sepenuhnya berangkat dari basis pemikiran kontemplatif bagi kemanfaatan publik, melainkan tak lebih sebagai tren, bahkan euforia kebebasan yang pada titik tertentu ternyata tidak dipahami maknanya oleh baik pengelola pers maupun publik media itu sendiri. Inilah yang mendorong perlunya lembaga pengawas media (media watch) yang independen guna mengingatkan jika terjadi penyelewengan oleh pers. Selain itu bagi masyarakat diperlukan edukasi bermedia melalui pendidikan literasi media sehingga mereka tidak hanya menjadi objek pasif media, melainkan memiliki kesadaran peran sebagai stakeholder aktif yang berhak terlibat dalam proses produksi dan distribusi informasi.
Penutup
Demokrasi mengandung makna independensi dan otonomi. Dengan kata lain, kehidupan politik disangga oleh berbagai institusi yang memiliki tingkat kebebasan dan otonomi, namun saling bersinergi satu sama lain. Dalam kondisi semacam ini kehadiran media pers merupakan keniscayaan (conditio sine qua non). Keberadaan pers lokal sebagai subsistem arena percaturan politik di tingkat lokal mengharuskan adanya landasan profesionalisme dan idealisme yang kuat. Tanpa profesionalisme, media pers tidak akan memperoleh kepercayaan masyarakat. Berkembangnya pers lokal harus dimaknai secara bijaksana oleh stakeholder media sehingga fungsi “memberdayakan” (empowering) masyarakat lewat media tidak berubah makna menjadi “memperdayakan” (disempowering) sebagaimana euforia kebebasan pers di awal era reformasi beberapa waktu lalu: “Yang penting terbit, urusan lain belakangan”.
Di sisi lain, sebagai sebuah institusi bisnis, pers lokal juga harus meningkatkan mutu manajemen media yang pada gilirannya mampu menyehatkan perusahaan dan meningkatkan kesejahteraan para pekerja media yang bersangkutan. Gempuran persaingan dengan media-media lain juga akan menguji sampai sejauh mana eksistensi pers daerah di masa-masa mendatang. Dalam menyikapinya maka peningkatan kapasitas manajerial harus dilakukan melalui berbagai pendidikan dan pelatihan yang intensif.
Terakhir, publik pembaca juga harus berupaya meningkatkan pemahaman tentang melek media (media literacy) sehingga dapat meningkatkan apresiasi dan partisipasi bermedia secara sehat dan kritis guna mendorong terciptanya good local government dalam arti sesungguhnya, yaitu menjamin adanya partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas, termasuk pada pelaksanaan pilkada 2010 yang berlangsung di berbagai daerah di Indonesia.
--------
[1] Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, peneliti di Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP) Yogyakarta.
[2] Undang-udang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan revisi atas UU No. 22 Tahun 1999. Revisi lewat produk undang-undang yang baru ini oleh sebagian kalangan cenderung dipandang sebagai bentuk ”re-sentralisasi” (Lihat misanya Haris., dkk, Membangun Format Baru Otonomi Daerah, 2006).
---------
sumber, digotong dari
http://bincangmedia.wordpress.com/2010/03/30/refleksi-peran-media-menjelang-pilkada-2010/
Refleksi Peran Media Menjelang Pemilukada
cahPamulang: Refleksi Peran Media Menjelang Pemilukada
Menyoal Peran Pers dalam Pilkada
Oleh: Iwan Awaluddin Yusuf
Prasyarat bagi terwujudnya proses demokratisasi adalah kebebasan ekspresi dan informasi, oleh karena itu diperlukan subsistem berupa media massa yang independen. Independensi dapat dilihat dari sejauh mana media memberikan informasi yang benar, relevan, dan objektif bagi masyarakat, sampai pada berjalannya fungsi media sebagai pengawas kekuasaan.
Pengertian kekuasaan dalam konteks masyarakat demokratis tidak hanya berorientasi pada kekuasaan pemerintah, melainkan ruang lingkup yang luas meliputi kegiatan politik, sosial, dan ekonomi. Ini sinkron dengan dua peran pokok pers yang independen: pertama, menjadi “anjing penjaga” (watchdog) bagi pemerintah; kedua, mengedukasi publik atas berbagai isu yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka sehari-hari. Contoh yang paling aktual dapat dikaji dari peran pers daerah dalam meliput penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada).
Menurut survei The Asia Foundation yang dikeluarkan pada 2004, lebih dari 90 persen masyarakat menggunakan media sebagai sumber informasi pemilihan umum (Tim LSPP, 2005). Dari besarnya angka ini tentu sangat membuka penyalahgunaan media sebagai sarana “main mata” antara pemilik media dan elit politik daerah. Mulai dari kesepakatan transaksional untuk menyediakan space iklan politik, meliput pelantikan pejabat daerah, hingga publikasi yang mem-blow up aktivitas kampanye pemilu. Kondisi ini menajdi lebih buruk jika kebetulan pemilik media atau orang kuat di struktur organisasi media adalah salah satu kandidat peserta pilkada. Yang terjadi tidak lain pers lokal menjadi aparatus kepentingan sesaat guna menggalang konstituen di daerah pemilihan. Jelas dari bentuk-bentuk penyimpangan seperti ini, pers tidak lagi dapat berfungsi sebagaimana konsepsi tradisional pers: majelis keempat demokrasi yang artinya pers sebagai pilar pengawas kekuasaan.
Tarik-menarik kepentingan antara pers dengan elite lokal dan penyalahgunaan fungsi pers lokal dalam proses pemilihan kepala daerah dapat dimungkinkan terjadi karena beberapa penyebab yang berpangkal pada satu hal, yaitu minimnya profesionalisme. Profesionalisme pers dapat diindikasi dari tiga tataran: mikro, meso, dan makro.
Pertama, level mikro, yaitu produk akhir media berupa isi atau teks, yang secara sederhana terlihat dari berita yang disajikan. Ketidakprofesionalan pers lokal terutama sangat terlihat dari berbagai pemberita tentang proses penyelengaraan pemilihan kepala daerah yang ditampilkan kurang berimbang. Dari penelitian yang dirilis Lembaga Studi Pers Pembangunan (LSPP) tahun 2005 tentang isu transparansi dan pelayanan publik terhadap 8 media cetak lokal di 4 wilayah (Lampung, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat) memperlihatkan ketergantungan suratkabar lokal tersebut yang masih tinggi dengan kekuasaan lokal. Kondisi ini jelas mempersempit ruang gerak media cetak sebagai pengontrol kekuasaan (Tim LSPP, 2005). Pada penelitian tahun sebelumnya (2004), LSPP melakukan monitoring terhadap 1.136 berita dari 10 suratkabar terkemuka Indonesia pada periode 11-25 Maret 2004. Hasil yang diperoleh adalah kesimpulan bahwa media kurang memperhatikan asas keberimbangan (cover both sides) dalam menyajikan berita. Isu seputar KKN dan uapaya reformasi militer misalnya, atau isu Dewan Perwakilan Daerah yang kandidatnya mencapai ribuan orang, hanya memperoleh perhatian peliputan yang sangat minim dibanding peristiwa-peristiwa lain yang diberitakan (Luwarso. ed, 2004).
Dalam kaitan ini, terdapat dua unsur yang mendukung ketidakberpihakan, yaitu seimbang (balance) dan netral (neutral). Seimbang adalah memberi tempat yang adil pada pandangan yang berbeda, sering disebut dengan istilah cover both sides, sedangkan netral berarti harus ada pemisahan antara fakta dan opini pribadi wartawan. Mengungkap fakta dengan objektif dengan sendirinya menjadikan media akan menjadi anjing penjaga (watchdog) terhadap berbagai penyelewengan, baik di level negara (state), masyarakat (public), termasuk perorangan. Dengan memenuhi kaidah ini, masyarakat akan berpikir serta menentukan sendiri, mana yang benear dan mana yang salah. Pers tidak perlu mendikte atau mengarahkan, cukup mengungkap fakta apa adanya, dan masyarakatlah yang memberi penilaian.
Kedua, indikasi profesionalisme pers lokal dapat dilihat dari elemen meso. Aspek ini meliputi dinamika manajerial perusahaan pers. Sorotan tajam dalam persoalan ini adalah lemahnya manajemen pers lokal dengan SDM yang tidak kompeten. Selain itu, lemahnya manajemen media ini juga berujung pangkal pada rendahnya kesejahteraan hidup jurnalis lokal, yang dalam banyak kasus diberi gaji di bawah standar UMR. Pada aspek lain, pendirian pers merupakan agenda politik elite lokal yang membawa misi menjadikan media sebagai corong membela kepentingannya. Ini tampak dari nama-nama elite poltik lokal yang tercantum dalam masshead (struktur redaksional) suratkabar.
Kurangnya profesionalisme pers lokal juga diperlihatkan dari kondisi wartawan yang tidak memiliki kompetensi dan idealisme sehingga hanya menjadikan institusi media lokal sebagai lahan mencari keuntungan. Kolaborasi mutualisme wartawan dengan kandidat pejabat daerah mengarah pada kesepakatan-kesepakatan yang menyimpang dari idealisme dan etika jurnalistik. Misanya pembinaan ini-itu, hingga mensponsori sejumlah kegiatan fiktif bagi para wartawan. Inilah yang seharusnya dihapuskan dalam anggaran pengeluaran kampanye pilkada sekaligus ditolak oleh wartawan. Penghapusan pos tersebut dapat mendudukkan pers pada posisi yang proporsional sebagai lembaga independen.
Ketiga, indikasi untuk melihat profesionalisme pers lokal adalah pada tataran makro yang merujuk pada dinamika sosial budaya, ekonomi politik, konteks sejarah, dan regulasi media. Isu yang mencolok dari aspek makro adalah ketidakjelasan aturan main bagi pers lokal dalam mengartikulasikan fungsinya. Penegakan etika yang kurang tegas, siapa yang memberi sanksi dan sanksi apa yang diberlakukan jika terjadi pelanggaran tampaknya belum sepenuhnya diakomodasi dengan baik oleh berbagai sistem hukum di negara kita, dalam pengertian lemah pada aspek penegakan, bukan pada bunyi pasal-pasal aturan mainnya. Di sisi lain, dari segi historis, menjamurnya pers lokal juga tidak sepenuhnya berangkat dari basis pemikiran kontemplatif bagi kemanfaatan publik, melainkan tak lebih sebagai tren, bahkan euforia kebebasan yang pada titik tertentu ternyata tidak dipahami maknanya oleh baik pengelola pers maupun publik media itu sendiri.
Ketiga kondisi di atas mendorong perlunya lembaga pengawas media (media watch) yang independen guna mengingatkan jika terjadi penyelewengan oleh pers selama proses pilkada. Selain itu, bagi masyarakat diperlukan edukasi bermedia melalui pendidikan literasi media sehingga masyarakat tidak hanya menjadi objek pasif media, melainkan memiliki kesadaran peran sebagai stakeholder aktif yang berhak terlibat dalam proses produksi dan distribusi informasi.
-----------
Iwan adalah dosen ilmu komunikasi, Universitas Islam Indonesia
Tulisan ini dimuat di Harian Bernas Jogja,12 Desember 2006.
-----------
sumber, diboyong dari:
http://bincangmedia.wordpress.com/2009/06/14/menyoal-peran-pers-dalam-pilkada/
Menyoal Peran Pers dalam Pilkada
cahPamulang: Menyoal Peran Pers dalam Pilkada
Prasyarat bagi terwujudnya proses demokratisasi adalah kebebasan ekspresi dan informasi, oleh karena itu diperlukan subsistem berupa media massa yang independen. Independensi dapat dilihat dari sejauh mana media memberikan informasi yang benar, relevan, dan objektif bagi masyarakat, sampai pada berjalannya fungsi media sebagai pengawas kekuasaan.
Pengertian kekuasaan dalam konteks masyarakat demokratis tidak hanya berorientasi pada kekuasaan pemerintah, melainkan ruang lingkup yang luas meliputi kegiatan politik, sosial, dan ekonomi. Ini sinkron dengan dua peran pokok pers yang independen: pertama, menjadi “anjing penjaga” (watchdog) bagi pemerintah; kedua, mengedukasi publik atas berbagai isu yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka sehari-hari. Contoh yang paling aktual dapat dikaji dari peran pers daerah dalam meliput penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada).
Menurut survei The Asia Foundation yang dikeluarkan pada 2004, lebih dari 90 persen masyarakat menggunakan media sebagai sumber informasi pemilihan umum (Tim LSPP, 2005). Dari besarnya angka ini tentu sangat membuka penyalahgunaan media sebagai sarana “main mata” antara pemilik media dan elit politik daerah. Mulai dari kesepakatan transaksional untuk menyediakan space iklan politik, meliput pelantikan pejabat daerah, hingga publikasi yang mem-blow up aktivitas kampanye pemilu. Kondisi ini menajdi lebih buruk jika kebetulan pemilik media atau orang kuat di struktur organisasi media adalah salah satu kandidat peserta pilkada. Yang terjadi tidak lain pers lokal menjadi aparatus kepentingan sesaat guna menggalang konstituen di daerah pemilihan. Jelas dari bentuk-bentuk penyimpangan seperti ini, pers tidak lagi dapat berfungsi sebagaimana konsepsi tradisional pers: majelis keempat demokrasi yang artinya pers sebagai pilar pengawas kekuasaan.
Tarik-menarik kepentingan antara pers dengan elite lokal dan penyalahgunaan fungsi pers lokal dalam proses pemilihan kepala daerah dapat dimungkinkan terjadi karena beberapa penyebab yang berpangkal pada satu hal, yaitu minimnya profesionalisme. Profesionalisme pers dapat diindikasi dari tiga tataran: mikro, meso, dan makro.
Pertama, level mikro, yaitu produk akhir media berupa isi atau teks, yang secara sederhana terlihat dari berita yang disajikan. Ketidakprofesionalan pers lokal terutama sangat terlihat dari berbagai pemberita tentang proses penyelengaraan pemilihan kepala daerah yang ditampilkan kurang berimbang. Dari penelitian yang dirilis Lembaga Studi Pers Pembangunan (LSPP) tahun 2005 tentang isu transparansi dan pelayanan publik terhadap 8 media cetak lokal di 4 wilayah (Lampung, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat) memperlihatkan ketergantungan suratkabar lokal tersebut yang masih tinggi dengan kekuasaan lokal. Kondisi ini jelas mempersempit ruang gerak media cetak sebagai pengontrol kekuasaan (Tim LSPP, 2005). Pada penelitian tahun sebelumnya (2004), LSPP melakukan monitoring terhadap 1.136 berita dari 10 suratkabar terkemuka Indonesia pada periode 11-25 Maret 2004. Hasil yang diperoleh adalah kesimpulan bahwa media kurang memperhatikan asas keberimbangan (cover both sides) dalam menyajikan berita. Isu seputar KKN dan uapaya reformasi militer misalnya, atau isu Dewan Perwakilan Daerah yang kandidatnya mencapai ribuan orang, hanya memperoleh perhatian peliputan yang sangat minim dibanding peristiwa-peristiwa lain yang diberitakan (Luwarso. ed, 2004).
Dalam kaitan ini, terdapat dua unsur yang mendukung ketidakberpihakan, yaitu seimbang (balance) dan netral (neutral). Seimbang adalah memberi tempat yang adil pada pandangan yang berbeda, sering disebut dengan istilah cover both sides, sedangkan netral berarti harus ada pemisahan antara fakta dan opini pribadi wartawan. Mengungkap fakta dengan objektif dengan sendirinya menjadikan media akan menjadi anjing penjaga (watchdog) terhadap berbagai penyelewengan, baik di level negara (state), masyarakat (public), termasuk perorangan. Dengan memenuhi kaidah ini, masyarakat akan berpikir serta menentukan sendiri, mana yang benear dan mana yang salah. Pers tidak perlu mendikte atau mengarahkan, cukup mengungkap fakta apa adanya, dan masyarakatlah yang memberi penilaian.
Kedua, indikasi profesionalisme pers lokal dapat dilihat dari elemen meso. Aspek ini meliputi dinamika manajerial perusahaan pers. Sorotan tajam dalam persoalan ini adalah lemahnya manajemen pers lokal dengan SDM yang tidak kompeten. Selain itu, lemahnya manajemen media ini juga berujung pangkal pada rendahnya kesejahteraan hidup jurnalis lokal, yang dalam banyak kasus diberi gaji di bawah standar UMR. Pada aspek lain, pendirian pers merupakan agenda politik elite lokal yang membawa misi menjadikan media sebagai corong membela kepentingannya. Ini tampak dari nama-nama elite poltik lokal yang tercantum dalam masshead (struktur redaksional) suratkabar.
Kurangnya profesionalisme pers lokal juga diperlihatkan dari kondisi wartawan yang tidak memiliki kompetensi dan idealisme sehingga hanya menjadikan institusi media lokal sebagai lahan mencari keuntungan. Kolaborasi mutualisme wartawan dengan kandidat pejabat daerah mengarah pada kesepakatan-kesepakatan yang menyimpang dari idealisme dan etika jurnalistik. Misanya pembinaan ini-itu, hingga mensponsori sejumlah kegiatan fiktif bagi para wartawan. Inilah yang seharusnya dihapuskan dalam anggaran pengeluaran kampanye pilkada sekaligus ditolak oleh wartawan. Penghapusan pos tersebut dapat mendudukkan pers pada posisi yang proporsional sebagai lembaga independen.
Ketiga, indikasi untuk melihat profesionalisme pers lokal adalah pada tataran makro yang merujuk pada dinamika sosial budaya, ekonomi politik, konteks sejarah, dan regulasi media. Isu yang mencolok dari aspek makro adalah ketidakjelasan aturan main bagi pers lokal dalam mengartikulasikan fungsinya. Penegakan etika yang kurang tegas, siapa yang memberi sanksi dan sanksi apa yang diberlakukan jika terjadi pelanggaran tampaknya belum sepenuhnya diakomodasi dengan baik oleh berbagai sistem hukum di negara kita, dalam pengertian lemah pada aspek penegakan, bukan pada bunyi pasal-pasal aturan mainnya. Di sisi lain, dari segi historis, menjamurnya pers lokal juga tidak sepenuhnya berangkat dari basis pemikiran kontemplatif bagi kemanfaatan publik, melainkan tak lebih sebagai tren, bahkan euforia kebebasan yang pada titik tertentu ternyata tidak dipahami maknanya oleh baik pengelola pers maupun publik media itu sendiri.
Ketiga kondisi di atas mendorong perlunya lembaga pengawas media (media watch) yang independen guna mengingatkan jika terjadi penyelewengan oleh pers selama proses pilkada. Selain itu, bagi masyarakat diperlukan edukasi bermedia melalui pendidikan literasi media sehingga masyarakat tidak hanya menjadi objek pasif media, melainkan memiliki kesadaran peran sebagai stakeholder aktif yang berhak terlibat dalam proses produksi dan distribusi informasi.
-----------
Iwan adalah dosen ilmu komunikasi, Universitas Islam Indonesia
Tulisan ini dimuat di Harian Bernas Jogja,12 Desember 2006.
-----------
sumber, diboyong dari:
http://bincangmedia.wordpress.com/2009/06/14/menyoal-peran-pers-dalam-pilkada/
Menyoal Peran Pers dalam Pilkada
cahPamulang: Menyoal Peran Pers dalam Pilkada
Intelektual Pengkhianat
Tentunya tidak haram jika kaum intelektual/cendekiawan memasuki dunia politik seperti menjadi aktitifis atau kader partai. Bahkan kehadiran kaum intelektual diharapkan bisa membangun dan memperkuat fungsi serta peran partai politik yang tengah dilanda krisis kepercayaan karena diguncang berbagai skandal korupsi dan prilaku menyimpang secara bertubi tubi. Politik bisa menjadi sarana bagi seorang intelektual untuk menyuarakan dan mewujudkan idealismenya dalam menegakkan nilai nilai kebenaran.
Masalahnya seringkali terjadi penyimpangan pada kalangan intelektual yang terjun ke dunia politik atau menjadi birokrat. Mereka bukannya memperbaiki keadaan yang bobrok dalam dunia politk dan birokrasi, malah seorang intelektual seringkali berfungsi menjadi legitimator untuk membenarkan dan memoles prilaku korup. Alih alih memperbaiki keadaan yang bobrok, malah dirinya larut dan ikut menjadi bobrok. Lebih parah lagi, sang inteletektual gadungan ini acapkali menyerang kalangan intelektual kritis dan gerakan aktifis idealis yang dulu teman seiring sejalan dengan dirinya dalam meneriakkan kebenaran, melawan kezaliman.
Seringkali kita dikejutkan, dibuat terheran heran, oleh “manuver” mantan aktifis yang semasa mahasiswa sangat idealis. Mereka yang lantang dan gagah berani melawan korupsi. Tapi begitu jadi pejabat, ternyata menjadi koruptor jua. Penyimpangan semacam ini bukan hal baru memang. Sudah `berlangsung sejak lama. Bahkan mungkin sejak peradaban manusia ada. Seperti wabah pelacuran yang tidak pernah bisa punah.
Muchtar Lubis pernah berrtutur. Dia ditanya oleh wartawan asing, “Apakah Anda yakin mereka tidak akan korup kalau menjabat?” Dengan tegas Muchtar Lubis menyatakan yakin. Tapi ternyata dia kecele. Para pejuang yang semula dia kagumi itu berlaku korup. Tahun 1927, Julian Benda telah menyuarakan menggejalanya intelektual yang melacurkan diri dengan menjual idelismenya semacam ini di Prancis. Benda menyebutnya sebagai Intelektual Pengkhianat.
Intelektual Pengkhianat
cahPamulang: Intelektual Pengkhianat
Masalahnya seringkali terjadi penyimpangan pada kalangan intelektual yang terjun ke dunia politik atau menjadi birokrat. Mereka bukannya memperbaiki keadaan yang bobrok dalam dunia politk dan birokrasi, malah seorang intelektual seringkali berfungsi menjadi legitimator untuk membenarkan dan memoles prilaku korup. Alih alih memperbaiki keadaan yang bobrok, malah dirinya larut dan ikut menjadi bobrok. Lebih parah lagi, sang inteletektual gadungan ini acapkali menyerang kalangan intelektual kritis dan gerakan aktifis idealis yang dulu teman seiring sejalan dengan dirinya dalam meneriakkan kebenaran, melawan kezaliman.
Seringkali kita dikejutkan, dibuat terheran heran, oleh “manuver” mantan aktifis yang semasa mahasiswa sangat idealis. Mereka yang lantang dan gagah berani melawan korupsi. Tapi begitu jadi pejabat, ternyata menjadi koruptor jua. Penyimpangan semacam ini bukan hal baru memang. Sudah `berlangsung sejak lama. Bahkan mungkin sejak peradaban manusia ada. Seperti wabah pelacuran yang tidak pernah bisa punah.
Muchtar Lubis pernah berrtutur. Dia ditanya oleh wartawan asing, “Apakah Anda yakin mereka tidak akan korup kalau menjabat?” Dengan tegas Muchtar Lubis menyatakan yakin. Tapi ternyata dia kecele. Para pejuang yang semula dia kagumi itu berlaku korup. Tahun 1927, Julian Benda telah menyuarakan menggejalanya intelektual yang melacurkan diri dengan menjual idelismenya semacam ini di Prancis. Benda menyebutnya sebagai Intelektual Pengkhianat.
Intelektual Pengkhianat
cahPamulang: Intelektual Pengkhianat
Rabu, 23 Februari 2011
CATATAN UNTUK ARSID (7)
SYAHDAN di Italia Utara, tahun 1176, satu pasukan para kesatria Jerman yang hidup sebagai rampok datang menyerbu untuk menjarah isi kota Legnano. Tapi, berbeda dengan di tempat lain, di Legnano ternyata para penyerbu mendapatkan perlawanan sengit, lalu dikalahkan, oleh warga yang mempersenjatai diri dan bersiap-siaga tanpa rasa gentar. Sebuah tindak sukarela dengan mengandalkan pertalian yang tumbuh dari rasa ikut memiliki. Tapi zaman telah berubah: kekuatan semacam itu sulit ditemukan, meski tak hilang sepenuhnya.
Kota-kota makin rentan oleh konflik di dalam kancahnya sendiri. Bahkan bila ia segemerlap Paris atau Madrid, sebuah kota bukan lagi tempat yang selama-lamanya longgar, dan enak untuk bernafas. Ketika tiap jengkal yang kita miliki berarti tiap jengkal yang tak dimiliki orang lain—juga sebaliknya. Tak ada bagian kota yang dapat bebas dari kelangkaan dan kekurangan: itulah sebabnya ada ekonomi, orang berproduksi, dan tukar-menukar tak henti-henti dilakukan. Saya kira itulah yang traumatis dalam sebuah masyarakat kota saat ini—termasuk di Tangerang Selatan.
Di sini, orang membeli satu-dua unit apartemen di Singapura, menikahkan anak di Convention Hall Jakarta, memberi kado calon istri dengan berlian 300 juta, bukanlah hal aneh. Bahkan ada yang tak risau meski setelah kalah judi 5.000 poundsterling di London atau ludes 50.000 ringgit di Genting, Malaysia. Juga hal biasa ketika kamar rumah sakit internasional seharga 1,5 juta per hari dipenuhi pasien yang (sebenarnya) hanya menderita masuk angin, atau radang tenggorokan.
Tapi kita juga tahu, puskesmas, meski dengan pelayanan ala kadarnya—bahkan cenderung buruk—tiap hari selalu penuh oleh warga ber-KTP Tangerang Selatan, lengkap dengan rasa putus asanya masing-masing. Belum lagi saudara-saudara kita yang terlalu lama menganggur hingga akhirnya berubah menjadi perusuh kecil di jalanan, atau di pasar. Maka kita tahu apa artinya: apa yang ada di balik kota ini, yakni kekayaan yang begitu timpang dan kesempatan yang selisih jauh.
Kita segera tahu: persoalan ini tak mungkin selesai hanya dengan memberi sumbangan kepada si fakir. Kota ini butuh pemimpin, bukan penyumbang—itu pun kalau sungguh-sungguh menyumbang untuk kemanusiaan. Mungkinkah ada warga yang ingin selamanya menjadi fakir meski disantuni saban hari?. Saya tak yakin ada yang mau. Di sini Arsid sesungguhnya telah mengajari kita kearifan: betapa mustahilnya kita untuk tak menjadi ”manusia kecil”, tapi pada saat yang sama, kita toh dapat—bila mau—mengubah diri sendiri agar tak senantiasa ”lintang pukang”.
Arsid tahu persoalan kesenjangan sosial harus dapat diatasi, sebab itu ia tak bisa memilih sikap acuh tak acuh, yang sama artinya telah bersekongkol dengan ketimpangan. Ia paham, seperti kata James C Scott (1981), kemiskinan telah menyebabkan masyarakat rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup, safety life, mempertaruhkan tenaga fisik dan menerima upah yang tidak sepadan dengan biaya tenaga yang dikeluarkannya. Ini tentu menyedihkan.
Maka tepat sekali bila Arsid mengawali pembenahan Tangerang Selatan dengan menegakkan good government governance; sebagai good exercise of power—yang juga erat kaitannya dengan program pengentasan kemiskinan (social safety net), tingkat keamanan finansial, serta potensi pertumbuhan daerah. Konsep ini akan terbangun ketika kita memulainya dengan pendekatan holistik serta melibatkan banyak lembaga dan cara pandang: melibatkan berbagai unsur di dalamnya, seperti; sistem yang dibangun, kultur, publik, industri, dan sebagainya.
Ini bermakna bahwa program pengembangan daerah diharapkan memenuhi kaidah penyusunan rencana yang sistematis, terpadu, transparan, dan akuntabel--konsisten dengan rencana lainnya yang relevan--serta bermuatan adanya kepemilikan rencana (sense of ownership) bersama. Kita tahu, Arsid sangat memahami bahwa pengembangan daerah adalah sebuah proses kemitraan antara pemerintah daerah dengan stakeholders dalam mengelola berbagai sumber daya setempat secara lebih baik.
Dengan kemitraan itu program yang disusun akan mendapat dukungan optimal bagi implementasinya—tentu selama mempertimbangkan karakteristik daerah (ekonomi, social, budaya, dan politik) serta memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang (forward and backward linkage) secara kuat. Sebab menurut Blakely, ciri utama pengembangan ekonomi lokal adalah bagaimana pemerintah menitikberatkan pada kebijakan “endogenous development" mendayagunakan potensi sumber daya manusia, institutional, dan fisik setempat.
Orientasi ini mengarahkan perencana daerah untuk fokus pada proses pembangunan dalam menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang pertumbuhan kegiatan ekonomi (Blakely, 1989). Pada tataran ini, Arsid tak akan menemui kendala. Ia begitu mengenali kekuatan dan kelemahan Tangerang Selatan--di samping ia juga sosok yang inovatif dan visioner--hingga memudahkan proses transformasi gagasan dan pengetahuan baru dalam kaitannya dengan pengembangan daerah ke depan.
Meski bagi saya, salah satu yang (selalu) menarik dari sosok Arsid adalah: di dalam hatinya selalu ada kehendak untuk mengubah keadaan, ke arah emansipasi sosial dan memusnahkan ketidakadilan. Arsid muncul ketika (nyaris) tak ada yang melihat bahwa ada jalan yang bisa ditempuh untuk menyelamatkan daerah ini. Saya menyebutnya sebagai sebuah upaya untuk menghentikan persekutuan jahat yang bisa kapan saja menguasai kota ini, yang dapat menambah kerumitan persoalan di kemudian hari.
Kita tahu, untuk menghentikan persekutuan jahat itu pada akhirnya harus melalui sebuah alat: kekuasaan. Maka saya hanya ingin mengatakan: jika kita pura-pura tidak tahu (akan) ada persekutuan jahat, jika kita tidak merasa bersalah bila nanti daerah ini runtuh akibat kita merasa tak perlu berurusan dengan apa yang akan terjadi hari ini atau nanti, itu berarti kita tak lagi punya hati. Sebab pada dasarnya kita semua bisa memilih saat ini: untuk merasa gentar, terpesona, terhina, atau tidak sama sekali.
Saya yakin, Arsid tak pernah berjanji bakal membuat kota ini segemerlap Singapura atau Milan—dalam lima tahun ke depan, atau serupa Baghdad pada abad ke-10; ketika Khalifah Harun Al-Rasyid memimpin negeri Aladin itu. Ia juga tak berjanji akan menyulap Tangerang Selatan menjadi Madinat al-Munawarah (kota yang bersinar kebenaran)—seperti sebutan Rasulullah Muhammad atas kota Yastrib. Tapi kita tahu, meski tak dikatakan, Arsid—seperti kita semua—hanya ingin memulai pembenahan kota ini sebagai Madinat al-Salam; Kota Perdamaian. Bukan Madinat al-Harb; Kota Peperangan, kekacauan, dan pada akhirnya kehancuran.
Agaknya, ini waktu yang tepat bila ingin membangun sikap ethis kita: mencegah hadirnya persekutuan jahat di Tangerang Selatan.
ARU WIJAYANTO
Tangerang Selatan, 23 Februari 2011
CATATAN UNTUK ARSID (7)
cahPamulang: CATATAN UNTUK ARSID (7)
Kota-kota makin rentan oleh konflik di dalam kancahnya sendiri. Bahkan bila ia segemerlap Paris atau Madrid, sebuah kota bukan lagi tempat yang selama-lamanya longgar, dan enak untuk bernafas. Ketika tiap jengkal yang kita miliki berarti tiap jengkal yang tak dimiliki orang lain—juga sebaliknya. Tak ada bagian kota yang dapat bebas dari kelangkaan dan kekurangan: itulah sebabnya ada ekonomi, orang berproduksi, dan tukar-menukar tak henti-henti dilakukan. Saya kira itulah yang traumatis dalam sebuah masyarakat kota saat ini—termasuk di Tangerang Selatan.
Di sini, orang membeli satu-dua unit apartemen di Singapura, menikahkan anak di Convention Hall Jakarta, memberi kado calon istri dengan berlian 300 juta, bukanlah hal aneh. Bahkan ada yang tak risau meski setelah kalah judi 5.000 poundsterling di London atau ludes 50.000 ringgit di Genting, Malaysia. Juga hal biasa ketika kamar rumah sakit internasional seharga 1,5 juta per hari dipenuhi pasien yang (sebenarnya) hanya menderita masuk angin, atau radang tenggorokan.
Tapi kita juga tahu, puskesmas, meski dengan pelayanan ala kadarnya—bahkan cenderung buruk—tiap hari selalu penuh oleh warga ber-KTP Tangerang Selatan, lengkap dengan rasa putus asanya masing-masing. Belum lagi saudara-saudara kita yang terlalu lama menganggur hingga akhirnya berubah menjadi perusuh kecil di jalanan, atau di pasar. Maka kita tahu apa artinya: apa yang ada di balik kota ini, yakni kekayaan yang begitu timpang dan kesempatan yang selisih jauh.
Kita segera tahu: persoalan ini tak mungkin selesai hanya dengan memberi sumbangan kepada si fakir. Kota ini butuh pemimpin, bukan penyumbang—itu pun kalau sungguh-sungguh menyumbang untuk kemanusiaan. Mungkinkah ada warga yang ingin selamanya menjadi fakir meski disantuni saban hari?. Saya tak yakin ada yang mau. Di sini Arsid sesungguhnya telah mengajari kita kearifan: betapa mustahilnya kita untuk tak menjadi ”manusia kecil”, tapi pada saat yang sama, kita toh dapat—bila mau—mengubah diri sendiri agar tak senantiasa ”lintang pukang”.
Arsid tahu persoalan kesenjangan sosial harus dapat diatasi, sebab itu ia tak bisa memilih sikap acuh tak acuh, yang sama artinya telah bersekongkol dengan ketimpangan. Ia paham, seperti kata James C Scott (1981), kemiskinan telah menyebabkan masyarakat rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup, safety life, mempertaruhkan tenaga fisik dan menerima upah yang tidak sepadan dengan biaya tenaga yang dikeluarkannya. Ini tentu menyedihkan.
Maka tepat sekali bila Arsid mengawali pembenahan Tangerang Selatan dengan menegakkan good government governance; sebagai good exercise of power—yang juga erat kaitannya dengan program pengentasan kemiskinan (social safety net), tingkat keamanan finansial, serta potensi pertumbuhan daerah. Konsep ini akan terbangun ketika kita memulainya dengan pendekatan holistik serta melibatkan banyak lembaga dan cara pandang: melibatkan berbagai unsur di dalamnya, seperti; sistem yang dibangun, kultur, publik, industri, dan sebagainya.
Ini bermakna bahwa program pengembangan daerah diharapkan memenuhi kaidah penyusunan rencana yang sistematis, terpadu, transparan, dan akuntabel--konsisten dengan rencana lainnya yang relevan--serta bermuatan adanya kepemilikan rencana (sense of ownership) bersama. Kita tahu, Arsid sangat memahami bahwa pengembangan daerah adalah sebuah proses kemitraan antara pemerintah daerah dengan stakeholders dalam mengelola berbagai sumber daya setempat secara lebih baik.
Dengan kemitraan itu program yang disusun akan mendapat dukungan optimal bagi implementasinya—tentu selama mempertimbangkan karakteristik daerah (ekonomi, social, budaya, dan politik) serta memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang (forward and backward linkage) secara kuat. Sebab menurut Blakely, ciri utama pengembangan ekonomi lokal adalah bagaimana pemerintah menitikberatkan pada kebijakan “endogenous development" mendayagunakan potensi sumber daya manusia, institutional, dan fisik setempat.
Orientasi ini mengarahkan perencana daerah untuk fokus pada proses pembangunan dalam menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang pertumbuhan kegiatan ekonomi (Blakely, 1989). Pada tataran ini, Arsid tak akan menemui kendala. Ia begitu mengenali kekuatan dan kelemahan Tangerang Selatan--di samping ia juga sosok yang inovatif dan visioner--hingga memudahkan proses transformasi gagasan dan pengetahuan baru dalam kaitannya dengan pengembangan daerah ke depan.
Meski bagi saya, salah satu yang (selalu) menarik dari sosok Arsid adalah: di dalam hatinya selalu ada kehendak untuk mengubah keadaan, ke arah emansipasi sosial dan memusnahkan ketidakadilan. Arsid muncul ketika (nyaris) tak ada yang melihat bahwa ada jalan yang bisa ditempuh untuk menyelamatkan daerah ini. Saya menyebutnya sebagai sebuah upaya untuk menghentikan persekutuan jahat yang bisa kapan saja menguasai kota ini, yang dapat menambah kerumitan persoalan di kemudian hari.
Kita tahu, untuk menghentikan persekutuan jahat itu pada akhirnya harus melalui sebuah alat: kekuasaan. Maka saya hanya ingin mengatakan: jika kita pura-pura tidak tahu (akan) ada persekutuan jahat, jika kita tidak merasa bersalah bila nanti daerah ini runtuh akibat kita merasa tak perlu berurusan dengan apa yang akan terjadi hari ini atau nanti, itu berarti kita tak lagi punya hati. Sebab pada dasarnya kita semua bisa memilih saat ini: untuk merasa gentar, terpesona, terhina, atau tidak sama sekali.
Saya yakin, Arsid tak pernah berjanji bakal membuat kota ini segemerlap Singapura atau Milan—dalam lima tahun ke depan, atau serupa Baghdad pada abad ke-10; ketika Khalifah Harun Al-Rasyid memimpin negeri Aladin itu. Ia juga tak berjanji akan menyulap Tangerang Selatan menjadi Madinat al-Munawarah (kota yang bersinar kebenaran)—seperti sebutan Rasulullah Muhammad atas kota Yastrib. Tapi kita tahu, meski tak dikatakan, Arsid—seperti kita semua—hanya ingin memulai pembenahan kota ini sebagai Madinat al-Salam; Kota Perdamaian. Bukan Madinat al-Harb; Kota Peperangan, kekacauan, dan pada akhirnya kehancuran.
Agaknya, ini waktu yang tepat bila ingin membangun sikap ethis kita: mencegah hadirnya persekutuan jahat di Tangerang Selatan.
ARU WIJAYANTO
Tangerang Selatan, 23 Februari 2011
CATATAN UNTUK ARSID (7)
cahPamulang: CATATAN UNTUK ARSID (7)
Selasa, 22 Februari 2011
Sekilas Drs. H. Arsid MSi
SEJAK awal Arsid mendapatkan perhatian orang bukan karena kemewahan, melainkan karena kesederhanaannya: bersepeda ontel, berpakaian adat Betawi, dan selalu ramah pada orang ramai. Toh, ia bukannya tak punya jas dan pantalon, tapi ia memang rendah hati dan tak jumawa, di samping memiliki sikap tenggang rasa yang tinggi. Untuk ukuran calon kepala daerah, ia termasuk orang yang enak ditemui dan tak banyak sesumbar. Baginya, yang penting adalah bekerja seraya mencapai hasil maksimal.
Arsid tak mahir melakukan akrobat panggung politik, seperti umumnya politisi atau calon kepala daerah lainnya di Indonesia. Tapi, Arsid punya komitmen: tak mungkin ia mengabaikan nilai-nilai serta tak mengacuhkan apa yang baik dan yang benar. Ia juga paham, tak mungkin dirinya menampik persoalan ketakadilan, toh, seperti kita semua, ia juga punya daftar panjang tentang hal-hal yang tak mungkin diabaikan: korupsi, kecurangan, juga ketimpangan sosial.
Pengalamannya sebagai camat di beberapa wilayah Tangerang Selatan telah meningkatkan pemahamannya tentang karakter daerah ini sebagai sebuah tatanan masyarakat yang tersusun dari berbagai macam bentuk kehidupan dan orientasi nilai: masyarakat kota multikultural. Maka tak heran bila Arsid berhasil membangun politik populis yang bersifat lintas agama, lintas etnis-kultural, dan berlaku umum (universal)—seraya tak melupakan kultur sendiri.
Ia juga memahami demokrasi lebih dari sekadar perangkat aturan dan prosedur konstitusional yang menentukan bagaimana suatu pemerintahan berfungsi. Arsid pernah mengatakan, “Dalam sistem demokrasi, pemerintah adalah salah satu unsur yang hidup berdampingan dalam suatu struktur sosial dari lembaga-lembaga yang variatif, partai politik, juga asosiasi”. Artinya, tata yang diupayakan di Tangerang Selatan adalah sebuah tata yang selalu terbuka untuk langkah alternatif, selalu bersedia mencoba cara yang berbeda dengan sumber kreatif yang beraneka.
Ia tahu, untuk menuju ke sana, kita perlu menegakkan good government governance, yang dapat dipahami sebagai good exercise of power--yang erat kaitannya dengan program pengentasan kemiskinan (social safety net), tingkat keamanan finansial, serta potensi pertumbuhan daerah. Setidaknya ada sejumlah prinsip yang harus dipenuhi dalam GGG di antaranya; Sustainability, Subsidiarity, Equity, Efficiency, Transparency dan Accountability, Civil Engagement and Citizenship, dan Security.
Sebagai seorang birokrat, Arsid memahami bahwa dirinya tak bisa abai dengan konsep Max Weber, yang mempertautkan birokrasi dengan keniscayaan dunia modern: lembaga yang memiliki arah atau sasaran yang terfokus, dan dengan demikian bersifat impersonal. Karena itu mencoba lebih fokus pada kualitas tingkat pelayanan yang diberikan kepada publik: bagaimana menata ulang prosedur pelayanan, penataan organisasi lembaga pengelolanya agar lebih efisien dan efektif, peningkatan kompetensi personil yang bekerja, dan kajian kebijakan yang mendukung peningkatan kinerja pelayanan.
Meski ia menyadari, sebuah kota—bahkan bila segemerlap Paris atau Madrid—bukanlah tempat yang selama-lamanya longgar. Tak ada bagian kota yang dapat bebas dari kelangkaan dan kekurangan. Tapi, percayalah, bahwa tiap keadaan, sebenarnya bisa diubah, toh, kita sebenarnya bisa memilih apa yang baik untuk diri sendiri dan orang lain. Apa yang akan terjadi nanti, Anda juga yang menentukannya.
COBLOS ULANG, 27 Februari 2011
cahPamulang: SEKILAS DRS. H. ARSID, M.SI
Arsid tak mahir melakukan akrobat panggung politik, seperti umumnya politisi atau calon kepala daerah lainnya di Indonesia. Tapi, Arsid punya komitmen: tak mungkin ia mengabaikan nilai-nilai serta tak mengacuhkan apa yang baik dan yang benar. Ia juga paham, tak mungkin dirinya menampik persoalan ketakadilan, toh, seperti kita semua, ia juga punya daftar panjang tentang hal-hal yang tak mungkin diabaikan: korupsi, kecurangan, juga ketimpangan sosial.
Pengalamannya sebagai camat di beberapa wilayah Tangerang Selatan telah meningkatkan pemahamannya tentang karakter daerah ini sebagai sebuah tatanan masyarakat yang tersusun dari berbagai macam bentuk kehidupan dan orientasi nilai: masyarakat kota multikultural. Maka tak heran bila Arsid berhasil membangun politik populis yang bersifat lintas agama, lintas etnis-kultural, dan berlaku umum (universal)—seraya tak melupakan kultur sendiri.
Ia juga memahami demokrasi lebih dari sekadar perangkat aturan dan prosedur konstitusional yang menentukan bagaimana suatu pemerintahan berfungsi. Arsid pernah mengatakan, “Dalam sistem demokrasi, pemerintah adalah salah satu unsur yang hidup berdampingan dalam suatu struktur sosial dari lembaga-lembaga yang variatif, partai politik, juga asosiasi”. Artinya, tata yang diupayakan di Tangerang Selatan adalah sebuah tata yang selalu terbuka untuk langkah alternatif, selalu bersedia mencoba cara yang berbeda dengan sumber kreatif yang beraneka.
Ia tahu, untuk menuju ke sana, kita perlu menegakkan good government governance, yang dapat dipahami sebagai good exercise of power--yang erat kaitannya dengan program pengentasan kemiskinan (social safety net), tingkat keamanan finansial, serta potensi pertumbuhan daerah. Setidaknya ada sejumlah prinsip yang harus dipenuhi dalam GGG di antaranya; Sustainability, Subsidiarity, Equity, Efficiency, Transparency dan Accountability, Civil Engagement and Citizenship, dan Security.
Sebagai seorang birokrat, Arsid memahami bahwa dirinya tak bisa abai dengan konsep Max Weber, yang mempertautkan birokrasi dengan keniscayaan dunia modern: lembaga yang memiliki arah atau sasaran yang terfokus, dan dengan demikian bersifat impersonal. Karena itu mencoba lebih fokus pada kualitas tingkat pelayanan yang diberikan kepada publik: bagaimana menata ulang prosedur pelayanan, penataan organisasi lembaga pengelolanya agar lebih efisien dan efektif, peningkatan kompetensi personil yang bekerja, dan kajian kebijakan yang mendukung peningkatan kinerja pelayanan.
Meski ia menyadari, sebuah kota—bahkan bila segemerlap Paris atau Madrid—bukanlah tempat yang selama-lamanya longgar. Tak ada bagian kota yang dapat bebas dari kelangkaan dan kekurangan. Tapi, percayalah, bahwa tiap keadaan, sebenarnya bisa diubah, toh, kita sebenarnya bisa memilih apa yang baik untuk diri sendiri dan orang lain. Apa yang akan terjadi nanti, Anda juga yang menentukannya.
COBLOS ULANG, 27 Februari 2011
cahPamulang: SEKILAS DRS. H. ARSID, M.SI
Politik Dinasti. Feodalisme di Lorong Demokrasi
Oleh SUBHAN SD
Pada zaman feodal di China kuno, kekuasaan politik dibagikan di antara keluarga dan sanak saudara. Ketika feodalisme hancur sekitar kurun 200 sebelum Masehi, takhta kekuasaan menjadi obyek yang diperebutkan pemburu kekuasaan. Di Indonesia hari ini, ketika pemilu kepala daerah menjadi bagian penting sistem demokrasi, rezim keluarga menjadi pemburu kekuasaan itu.
Fenomena pasca-kehancuran feodalisme pada akhir Dinasti Chou itu sepertinya menggambarkan fenomena kekinian Indonesia. Pascafeodalisme di China, betapa kaum nonbangsawan terjangkiti syahwat berkuasa. Kisah yang dituturkan ahli sejarah, Chien Ssu-ma, yang hidup pada zaman Dinasti Chin (255-207 SM), menjadi catatan menarik. Sewaktu menyaksikan arak-arakan raja di jalan umum, kepada temannya, ia mengatakan, ”Ini (kekuasaan) bisa kurebut.”
Hasrat berkuasa seperti itu mirip dengan semangat berkuasa di alam demokrasi karena setiap orang punya hak sama. Namun, runyamnya, jalur pertalian darah atau keluarga yang merupakan ciri masyarakat tradisional justru tersemai subur di lorong-lorong demokrasi yang terus dibangun di negeri ini.
Tak mengherankan, sejak pemilu kepala daerah (pilkada) menjadi proses demokrasi di tingkat lokal pascaera otonomi daerah 10 tahun silam, politik dinasti atau rezim keluarga justru makin fenomenal. Pilkada yang melahirkan elite daerah (oligarki) kian disesaki dengan lakon suami-istri, orangtua-anak, atau kakak-adik.
Saat bupati petahana (incumbent) tidak bisa lagi ”naik ring” karena sudah dua periode, seperti diatur Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, para istri yang naik pentas. Itulah yang dilakukan Sri Suryawidati (Ida), istri Bupati Bantul, DI Yogyakarta, Idham Samawi; Titik, istri Bupati Sukoharjo, Jawa Tengah, Bambang Riyanto; dan Widya Kandi Susanti, istri Hendy Boedoro, Bupati Kendal, Jateng.
Bahkan, kasus di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, mirip gaya total football Belanda. Bupati Irianto MS Syaifuddin memberikan restu kepada istrinya, Anna Sophana, dan anaknya, Daniel Mutaqien, untuk mencalonkan diri bersama. Mereka berebut tiket dari Partai Golkar. Kasus rezim keluarga terlihat pula pada pilkada di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, atau Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Sebagai bagian dari lingkaran dalam penguasa petahana, pasti mereka memiliki modal kuat.
Nafsu kuasa tampaknya tak mudah dibatasi. Sepenggal ungkapan klasik Lord Acton (1834-1902), ”kekuasaan cenderung korup”, pun tak mampu menjadi pengingat. Tak heran, aturan UU No 32/2004 pun bisa ”diakali”. Salah satu modusnya adalah bertukar jabatan. Kepala daerah petahana memilih ”turun takhta” ke posisi wakil agar bisa ”bertarung” lagi.
Wali Kota Surabaya Bambang DH turun menjadi wakil wali kota. Sebetulnya Bambang ingin mencalonkan lagi sebab merasa pada periode pertama, ia menggantikan Wali Kota Sunarto Sumoprawiro yang meninggal. Namun, uji materi terhadap UU itu yang diajukannya kandas di Mahkamah Konstitusi.
Di Jembrana, Bali, Bupati Gede Winasa yang sudah menjabat dua periode dikabarkan akan menduduki wakil bupati mendampingi anaknya, Patriana Krisna.
Karut-marut politik rezim keluarga di pilkada kian ruwet. Contoh mutakhir adalah kasus di Bone Bolango, Gorontalo. Bupati Ismet Mile (petahana) yang bertarung kembali untuk periode kedua justru ditantang istri pertamanya, Ruwaida Mile. Pertarungan ini terpicu persoalan dalam rumah tangga.
Fenomena rezim keluarga itu, menurut pengajar Ilmu Politik Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago, tak beda dengan feodalisme pada masa silam. Hal itu membuat penyaluran aspirasi masyarakat menjadi semu. Fenomena itu, ungkap Guru Besar Kebijakan Publik Universitas Brawijaya, Malang, Solichin Abdul Wahab, memperlihatkan demokrasi belum selesai sepeninggal Orde Baru yang otoritarian. ”Pada masa Orde Baru, dinasti (rezim) keluarga menguasai sektor ekonomi. Tetapi, sekarang masuk di bidang politik,” kata Solichin. Dalam konteks rezim keluarga itu menunjukkan banyaknya penunggang gelap yang akhirnya membuat kualitas demokrasi menurun.
Apabila kondisi ini terus terjadi, kata Andrinof, tak pelak akan merusak sistem demokrasi. Padahal, tahun ini akan digelar pilkada di 244 daerah, yaitu 7 provinsi, 202 kabupaten, dan 35 kota.
Fungsi parpol
Demokrasi menjamin hak setiap orang untuk maju di pilkada, termasuk artis. Namun, sebagai bagian penahapan peradaban yang menjunjung nilai kemanusiaan, demokrasi tak melulu menjamin hak individu, tetapi juga tidak boleh melanggar hak publik dalam mencari figur pemimpin yang ideal.
Persamaan hak dalam demokrasi semestinya diikuti persyaratan bagi seorang pemimpin publik, antara lain, kualitas, kapasitas, kapabilitas, integritas, dan tentu moralitas. Dalam beberapa kasus, justru banyak parpol mencalonkan sosok populer yang sama sekali tak mengenal suatu daerah. Ini memperlihatkan, parpol lebih serius dalam urusan merebut kekuasaan ketimbang tujuan akhir pesta demokrasi, yaitu mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Runyamnya lagi, rezim keluarga juga menimbulkan pertarungan tidak fair. Rezim keluarga justru lebih diuntungkan, antara lain modal kuat, atribusi kedekatan incumbent, hingga kemungkinan pemanfaatan instrumen politik. Tak sedikit orang potensial yang kalah sebelum bertanding. Bayangkan saja, betapa muramnya demokrasi ketika muncul ”calon boneka”.
Kita tidak boleh lupa unsur demokrasi yang diintroduksi Montesquieu (1689-1755), trias politika (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), tentu agar tak terjadi pemusatan kekuasaan di satu pihak. Bahkan, Deklarasi Hak Manusia dan Warga Negara di Perancis pada 1789 menyebutkan, ”kedaulatan ada di tangan bangsa”, bukan keluarga.
Jika kondisi sekarang yang terjadi, bukan saja pembenaran kritikan Immanuel Kant (1724-1804), sesungguhnya demokrasi di negeri ini tengah menukik tajam.
----
sumber: http://cetak.kompas.com/read/2010/05/11/02513565/feodalisme.di.lorong.demokrasi
cahPamulang: Politik Dinasti. Feodalisme di Lorong Demokrasi
Langganan:
Postingan (Atom)