Rabu, 19 Januari 2011

Benarkah Aru Wijayanto (AW) Menutup Akun FB-nya Karena Terprovokasi cahPamulang? Bukan Karena Merasa Terintimidasi? (4)

Melanjutkan tulisan berkait berikut :

Benarkah Aru Wijayanto (AW) Menutup Akun FB-nya Karena Terprovokasi cahPamulang? Bukan Karena Merasa Terintimidasi? (1) (2) (3)

  1. http://www.facebook.com/note.php?note_id=487824347342
  2. http://www.facebook.com/note.php?note_id=488294387342
  3. http://www.facebook.com/note.php?note_id=488330222342

Akhirnya setelah tak berpengharapan menemukan enaknya tulisan sdr Aru Wijayanto yang berjudul "Menulis Andre Taulany", ternyata tak disangka tak diduga, ada yang beri saya copy tulisan tersebut. Kata orang kalau rejeki sudah digariskan tak bakal luput dari yang bakal pegang. Terimakasih ya, karena bagian dari misiing link tersebut kini sudah tidak missing lagi, sehingga rekaman Sejarah Lahirnya Negeri Tangsel dalam catatan saya dapat terlengkapi.

Berikut tulisan yang saya maksud, tidak dilebihi tidak dikurangi, bagi saya gaya tuturnya gitu banget, gitu loh,, (hehe bocah gaul mode on entah nulisnya bener nggak nih)

Menulis Andre Taulany

Saya tak kenal Andre Taulany secara pribadi. Yang saya tahu, Andre—kandidat wakil walikota Tangerang Selatan yang berpasangan dengan Arsid—adalah seorang musisi yang belakangan menjadi komedian. Saya menulis ini karena banyak pihak—terutama lawan politik—sering menghantam Andre sebagai sosok artis yang hanya ikut-ikutan terjun dalam dunia politik tanpa didukung “kompetensi”. Boleh saja berpendapat demikian, meski pada akhirnya kita—yang mendukung maupun yang tidak mendukung--terheran-heran dengan hasil pilkada pada 13 November silam.

Bagi saya, hasil perolehan suara Arsid-Andre—terlepas dari persoalan-persoalan yang ada pada saat itu--seakan-akan memberi gambaran bahwa sebenarnya warga Tangerang Selatan sedang berteriak: “Birrul, biddam, li ajlik ya Andre…” (darah kami, jiwa kami, untukmu ya Andre…). Berlebihan? Boleh saja menganggap begitu, meski, Insya Allah sih tidak—walau bukan dalam pemahaman “darah” secara harfiah. Kita tahu, sebagai selebriti, Andre tak dipenuhi dengan gosip murahan, seperti perselingkuhan maupun hal buruk lainnya.

Sebab itu bagi saya, ibarat kendaraan, Andre adalah jenis sepur: jalannya jelas, tidak plintat-plintut, dan tidak bisa menyalip di tikungan atau langsir dadakan. Agaknya sikap itu dulu yang perlu diletakkan di depan bila kita mau bicara “kompetensi”, di samping pada akhirnya kita semua bisa belajar. Toh, demokrasi dibutuhkan bukan karena dari sistem itu lahir bermacam-macam kejeniusan, melainkan karena ia adalah proses belajar bersama yang tak habis-habisnya: sebuah pemahaman yang bermula dari kesadaran bahwa tiap manusia punya kekurangan. Toh, dalam debat kandidat di Metro TV Oktober 2010 telah terbukti, kita tahu: mana kandidat yang bodoh, dan mana yang takut berdebat. Jelas, itu bukan Andre, atau Arsid.

Meski demikian, bolehlah kita melihat sedikit pengalaman Ali Sadikin, bekas Gubernur DKI Jakarta. Bang Ali diangkat menjadi gubernur tak lama sebelum Presiden Soekarno dijatuhkan, ketika Jakarta dihuni lima juta manusia yang begitu beraneka-macam dan berantakan. Tapi, ia harus mampu membenahi. Pada masa-masa itu, puluhan bus kota menggunakan jalan di sekitar Lapangan Banteng sebagai tempat mangkal dengan calo menguasai lalu lintas penumpang. Kekacauan terjadi saban hari. Pada suatu waktu, Ali Sadikin datang mendadak. Ia menegur. Ketika ia menghadapi seorang calo yang rupanya menjengkelkannya, ia pun mengayunkan tinju. Orang itu terjerembap.

Tapi ada satu hal yang membuat Ali Sadikin tak dibenci: ia tak segan meminta maaf kepada siapa pun. Sebagai manusia, ia bisa melihat kelemahannya sendiri dan kelemahan orang lain. Ali Sadikin paham benar, orang yang cari nafkah dengan kasar dan kacau itu bukan oknum yang sungguh-sungguh bersalah. Ia (hanya) perlu lebih sabar. Sebab yang bersalah adalah kemiskinan. Maka ia pun mencari solusi: dibangunlah sebuah stasiun bus yang bagus dan rapi di Lapangan Banteng. Para bekas calo diberi pekerjaan. Kekacauan lenyap.

Di sinilah, Bang Ali terlihat begitu berkuasa, punya rasa percaya diri tinggi, tak gentar mendengar kritik, tapi ia juga bersedia meminta maaf dan mengoreksi kesalahannya sendiri. Ia pada akhirnya “belajar” menyadari bahwa mengurus kota tak sama dengan mengurus barak KKO, maka cepat atau lambat, ia harus berhenti dari kebiasaannya membentak dan menggebrak meja. Saya rasa di sinilah letak perbedaannya ketika sebuah kota memiliki seorang “pemimpin” atau seorang “pejabat”. Seorang pemimpin harus siap dan siap untuk belajar dari kekurangannya—bahkan untuk manusia “sekelas Bang Ali”.

Toh, jauh-jauh hari Kant pernah menulis, “Dua hal yang memenuhi pikiranku dengan rasa takjub dan terkesima: angkasa yang penuh bintang di atas sana dan hukum moral nun dalam diri manusia”. Filsuf Jerman yang dimakamkan di Kota Kaliningrad itu memperlihatkan keterbatasan manusia tapi juga kelebihannya. Manusia begitu terbatas, begitu tak mampu untuk mengetahui semuanya dan bisa keliru, namun dalam posisi itu, kita toh dapat, bila kita mau, menciptakan sesuatu yang baik bagi sesama. Di sinilah kekuatan manusia: kita percaya bahwa kebaikan bisa menular sehingga transformasi personal akan diikuti dengan transformasi sosial.

Maka sangat masuk akal—meski tetap menakjubkan--bila perolehan suara Arsid-Andre nyaris menyamai suara Airin-Benyamin. Sebuah perolehan suara yang membungkam kepongahan kekuasaan dan partai-partai besar; membongkar kenyataan bahwa sesungguhnya telah terjadi realitas disconnect electoral antara “wakil” dengan yang “terwakili”—hingga kebijakan partai tidak berbanding lurus dengan keinginan konstituen. Mestinya kita sadar, bila “perjuangan politik” tak berangkat dari nilai kebenaran dan keadilan yang berlaku bagi siapa saja, maka bagaimana ia bisa menggugah orang banyak, mengajak, untuk mendukungnya?.

Saya rasa, yang menarik di situ adalah situasi bahwa sesungguhnya partai (besar) tak tahu banyak tentang perjalanan hidupnya sendiri. Berkobar-kobar saat kampanye, juga berbicara atas nama rakyat, pada akhirnya harus menghadapi situasi yang terasa “sia-sia”: kenya­taan bahwa (sebenarnya) rakyat tak mendengarkan hiruk-pikuk itu. Politisi berkendaraan besar itu tak sadar, dalam keadaan tertindas, orang tak hanyut dalam diam. Ia akan bergerak, meletakkan diri sebagai subyek: bertindak.

Inilah yang terjadi. Andre, juga Arsid, dengan gayanya yang santai, rileks, ternyata lebih mampu menyapa dan menyatu dengan masyarakat. Keduanya bukan tipe pemimpin yang ketika bepergian dikawal tiga atau empat mobil lain: bukan tipe juragan. Saya rasa, Andre tahu benar, karena tak seorang pun ingin ketakutan, dan tak seorang pun boleh dibiarkan ketakutan, maka ia harus ikut mencalonkan diri menjadi salah satu kandidat. Toh, kebangkitan mereka yang teraniaya untuk mencapai keadilan dan kebebasan pada akhirnya hanya berarti ketika keadilan dan kebebasan itu ditujukan buat siapa saja. Sejarah bergerak karena sebanyak-banyaknya orang ikut bergerak.

Bagi saya, Arsid maupun Andre, telah melakukannya begitu baik dalam pilkada Tangerang Selatan. Keduanya berhasil menjadi ikon perlawanan terhadap “kekuasaan yang serakah”. (*)

Aru Wijayanto

Tangerang Selatan, 15 Januari 2011

Setelah mempertimbangkan saran teman untuk menulis tentang Arsid-Andre.

Yang bisa menikmati tulisan tersebut silahkan terlena, yang belum bisa, nanti saya bantu jelasin secepatnya, tentunya versi saya bukan versi IJ Piliang lah.

:)

Pamulang,.. dini hari

(mata sudah sepet buanget, tapi kalau nggak diselesaikan malah nggeser urusan lain, ya sudahlah lanjut sebentar)

Rabu, 19 Januari 2011

PS : buat yang sudah mau berbagi denganku ya dina ini, saya hanya bisa mem-pastekan cuplikan sajak Alm. WS Rendra "Sebatang Lisong"

inilah sajakku

pamplet masa darurat

apakah artinya kesenian

bila terpisah dari derita lingkungan

apakah artinya berpikir

bila terpisah dari masalah kehidupan

Asyik ya :))