Lanjutan tuisan sebelumnya : Benarkah Aru Wijayanto (AW) Menutup Akun FB-nya Karena Terprovokasi cahPamulang? Bukan Karena Merasa Terintimidasi? (1) dan (2)
- http://www.facebook.com/note.php?note_id=487824347342 (1)
- http://www.facebook.com/note.php?note_id=488294387342 (2)
Berikut saya post tulisan sdr Aru Wijanto yang dipermasalahkan oleh pak Bayu Saylendra :
(IKUT) MENULIS AIRIN
ADA YANG HIDUP DENGAN "PLEONOXIA" : PENYAKIT JIWA YANG DIDERA KEINGINAN (BERKUASA) YANG TAK PERNAH CUKUP; LAGI, LAGI, LEBIH, DAN LEBIH.
Saya tak kenal Airin (Rachmi Diany). Maka, satu hal yang hingga ini sulit kita jawab dari keberadaan Airin adalah: andai Airin bukan menantu “Sang Gubernur Jenderal Banten” Tubagus Chasan Sochib, apakah ia—setelah kalah dalam pilkada Kabupaten Tangerang—masihkah punya cukup “kekuatan” (anggaran dan jaringan) untuk berlaga dalam pilkada Kota Tangerang Selatan, yang kenyataannya juga harus diulang? Atau jangan-jangan ia sama sekali tak pernah berurusan dengan publik (politik)? Wallahu’alam.
Yang kita tahu, dalam hidup ini memang ada manusia-manusia yang peruntungannya di dunia cukup baik. Airin hanyalah salah satunya—terlepas ia juga memiliki “kapasitas” tersendiri, yang bisa mendukung atau melemahkan. Toh, Airin tak memiliki nama belakang Bhutto. Keluarga Bhutto adalah tragedi Pakistan; tragedi demokrasi. Riwayat hidupnya telah menjadi bagian dari sejarah kekerasan politik, sejarah kegagalan dalam mengelola konflik, sejarah kekecewaan.
Diawali pada pagi hari 4 April 1979, tak jauh dari taman lokasi tewasnya Benazir Bhutto, di penjara Rawalpindi, Zulfikar Ali Bhutto--ayah Benazir--bekas presiden dan perdana menteri, digantung mati oleh pemerintahan militer Jenderal Zia ul-Haq. Zulfikar Ali dituduh telah membunuh seorang lawan politiknya. Tahun 1985, Shanawaz, si putra bungsu, ditemukan mati di Riviera Prancis dalam umur 28. Keluarganya mengatakan ia diracun. Di tahun 1996, adik Benazir yang juga jadi musuh politiknya, Murtaza, mati dalam tembak menembak dengan polisi Pakistan. Airin tak mengenal situasi demikian.
Di sini, politik “lebih santun” karena banyak politisi menghormati “garis turunan”—bahkan ketika akan berurusan dengan publik. Di sini, politik tak ubahnya sebuah melodrama. Seperti sinetron yang silih berganti kita saksikan di televisi, lakonnya ya itu-itu saja. Politik sebagai melodrama bisa juga bicara tentang ”moral” meski pada saat yang sama, ia juga (sangat) tak meyakinkan. Sebab melodrama adalah konflik manusia dengan manusia lain, bergantung pada permusuhan dengan sesuatu yang di luar sana—si jahat atau si bakhil.
Mungkin sebab itu Daoed Joesoef mengatakan (2005), “Demokrasi, di mana pun, menderita suatu penyakit. Penyakit ini semakin parah dengan semakin banyaknya jumlah orang yang tidak terdidik di kalangan penduduk dari negara yang menerapkannya sebagai sistem politik hingga membuatnya sangat semu dan simbolis belaka”. Saya yakin, Airin menyadari hal itu ketika ia (telah) terlibat dalam politik yang terbentuk sebagai kalkulasi manusia dalam kefanaan dengan anasir utamanya mencapai—juga “mempertahankan”—kekuasaan, hingga tak ada lagi pengertian “baik” atau “buruk”.
Sebab itu terlihat, negara, yang bekerja untuk kepentingan umum, tak berdaya menghadapi kekuasaan yang tamak, yang tak mengacuhkan res publica. Yang terjadi adalah cepatnya gerak kekuasaan pada zaman ini seiring sejalan dengan cepatnya alur kekayaan dari tempat tertentu ke tempat yang itu-itu saja—hingga terjadilah akselerasi hasrat yang tak pernah terhenti. Kepuasan akan satu kekuasaan dengan segera terhapus oleh hasrat kekuasaan baru. Terus-menerus seperti itu. Ada yang patologis dalam gejala itu—meminjam istilah Goenawan Mohammad--kita hidup dengan ”pleonoxia”, penyakit jiwa yang didera keinginan segera mendapatkan lagi, lagi, lebih, dan lebih.
Dan, maaf, saya merasa inilah yang sedang terjadi di Banten: ada yang hidup dengan “pleonoxia”. Maka Airin (pasti) menyadari bahwa politik, di dalamnya ada “jual-beli”, lengkap dengan konsekuensi bahwa apa dan siapa seketika bisa jadi pembelot. Bahkan, “kebersamaan”—yang dikemas dalam berbagai format atau koalisi—pun bisa berubah-ubah, mengingat ”kita” adalah pertautan antara ”aku atau kami” dengan ”engkau atau kalian” dalam multiplisitas yang tak terhingga. ”Aku” dan ”engkau” hanya seakan-akan “tunggal” pada waktu ke waktu, tapi sebenarnya tak pernah utuh dan selesai dimaknai. Pada kenyataannya, ”kita” (memang) sulit untuk sepenuhnya terwakili dalam identitas apa pun. Inilah mengapa banyak orang menyebut politik terlalu penuh dengan warna abu-abu.
Ini mengingatkan saya atas pernyataan Clinton tentang Shakespeare yang disampaikan kepada Stephen Greenblatt yang kemudian menuliskannya dalam The New York Review of Books, 12 April 2007. Menurut Clinton, karya Shakespeare adalah kisah tentang seseorang dengan ambisi yang amat besar dengan ”obyeknya secara ethis tak memadai”. Artinya, bukan sosok Macbeth—karena membunuh raja dan pengawalnya--yang ”secara ethis tak memadai”, melainkan sasarannya: “kekuasaan” yang ingin direbut Macbeth. Dalam lakon ini, kekuasaan bukan saja tampak tak sah, tapi juga tak ada tujuannya. Atau lebih tepat: kekuasaan dipertahankan demi menyembunyikan sifatnya yang tak sah.
Saya merasa, yang mesti dikembangkan adalah rasa kecintaan kita kepada Tangerang Selatan, tapi bukan kecintaan yang pongah. Kita mencintai Tangerang Selatan justru karena kota ini belum selesai, belum apa-apa. Kita tak bisa melepaskan diri dari ikatan kita kepadanya; kita tak bisa melupakannya; kita terkadang bangga terkadang risau oleh karenanya. Sebab Tangerang Selatan bukan hanya sebuah tempat tinggal, bukan sekadar “rumah kita bersama”. Tangerang Selatan adalah sebuah amanat. Ada daftar nama orang yang sudah berkorban untuk waktu, tenaga, materi, dan pikiran, yang membuat daerah ini lahir. Mereka itu yang sesungguhnya benar-benar memiliki kota yang sempit ini.
Maka jangan mencoba melupakan: ketika ribuan persoalan hanya dianggap statistik, ketika lupa menghapusnya sebagai tragedi, ketika kebuasan tak diingat sebagai akibat kesalahan fatal mereka sendiri. Lupa, seperti ingat, adalah soal bagaimana memilih mana yang disimpan dan mana yang dibuang. Yang disimpan dan yang terhapus akan saling susup-menyusupi: ”Seperti orang-orang yang melawan, juga aku—kucoba sekuat tenaga melawan. Karena sikap acuh tak acuh yang mungkin aku ambil kelak, merupakan bentuk persekongkolan dengan kehancuran yang akan dihadapkan kepada orang lain di kota ini.”
Saya tak kenal Airin, dan, saya juga tak berharap (saya) layak dimaafkan. (*)
Aru Wijayanto
Tangerang Selatan, 15 Januari 2011,
Setelah “sesak nafas” membaca dua tulisan lain tentang Airin.
Tulisan sdr Aru Wijayanto tersebut merupakan respons terhadap tulisan IJ Piliang berjudul : Menulis Airin (1) dan (2)
- http://www.indrapiliang.com/2011/01/10/menulis-airin-1/
- http://www.indrapiliang.com/2011/01/11/menulis-airin-2/
Selanjutnya saya akan mencari postingan kedua sdr AW yang berjudlu "Menulis Andre Taulany" yang diposting dialamat ini http://www.facebook.com/notes/aru-wijayanto/menulis-andre-taulany/190958450915780 sebelum akun AW lenyap dari peredaran.
Sekiranya ada yang dapat mengontak Aru Wijayanto secara offline, barangkali saya bisa mendapatkan copy tulisan tersebut untuk saya arsip.
Pamulang, ba'da Dhuhur
Senin, 17 Januari 2011