Rabu, 19 Januari 2011

Mencoba Memahami Kolumnis Terkenal IJ Piliang Saat "Menulis Airin (1)"

Sampai kini sudah ada 3 (tiga) tulisan beliau tentang Airin :

  1. http://www.indrapiliang.com/2011/01/10/menulis-airin-1/
  2. http://www.indrapiliang.com/2011/01/11/menulis-airin-2/
  3. http://www.indrapiliang.com/2011/01/14/menulis-airin-3/

Setelah saya pahami, kelak akan saya respons untuk melatih penalaran saya

"Menulis Airi (1)"

Oleh : Indra J Piliang, Kolomnis, Politisi & Aktivis

Saya tak kenal Airin. Pengetahuan saya tentangnya terbatas lewat pemberitaan media, sejak pilkada Tangerang. Yang saya tahu, Airin dikenali oleh banyak petinggi partai politik. Mungkin karena itu Airin didukung oleh banyak partai dalam pilkada di Kota Tangerang Selatan. Pernah saya melihat seorang petinggi partai memperlihatkan hasil survei yang tinggi untuk Airin, sebelum pilkada Kota Tangerang Selatan digelar.

Makanya, saya tak begitu khawatir bahwa Airin akan kalah. Secara diam-diam, saya mengikuti dari jauh pergerakan kawan-kawan aktivis yang menolak Airin di twitter. Mereka adalah tokoh-tokoh yang saya kenal lama, mulai dari jurnalis, peneliti, surveyor, profesional, pengamat politik, sampai kalangan Islam liberal yang terkenal aktif itu. Diam-diam, saya respek kepada mereka dan berharap ada perlawanan keras terhadap Airin.

Saya juga ikuti pergerakan petinggi-petinggi partai. Sebagai “gerilyawan politik”, saya tahu bahwa kehadiran elite politik di panggung kampanye tak signifikan dampaknya. Bahkan, kehadiran elite politik bisa jadi akan memberi beban kepada panitia atau tim lokal. Bukannya melayani kepentingan konstituen dalam panggung-panggung kampanye, malahan tim pilkada lokal sibuk menyambut “tokoh-tokoh Jakarta” itu. Sirine dan Satgas akan menjauhkan massa dari para elite itu.

Nah, ketika hasil pilkada Tangerang Selatan diumumkan, saya terkejut. Airin hampir kalah dari Andre (vokalis Stinky & pemain Opera Van Java). A vs A. Saya tak menghitung Arsyid, karena memang bukan sosok yang dikenali publik secara luas. Bagaimanapun, pilkada Kota Tangsel adalah satu dari sedikit “pilkada nasional” yang disoroti publik. Pilkada menjadi nasional tatkala disoroti lebih luas oleh pers nasional. Waktu saya mendukung sejumlah kandidat dalam pilkada di Sumbar, jarang ada perhatian media massa nasional.

***

Airin hanya menang sekitar 1000 suara dari Andre. Sejak demokrasi liberal diperkenalkan, sejumlah kepala daerah muncul dari kalangan artis. Andre adalah generasi ke sekian yang mencoba peruntungan. Sebelumnya yang berhasil adalah Dede Yusuf di Jawa Barat dan Rano Karno di Banten. Artis yang penuh improvisasi akan menghadapi regulasi dan birokrasi yang lebih ketat.

Tapi, banyak juga yang gagal. Marissa Haque -- yang di-blognya ternyata pendukung Andre--, memberikan perlawanan hebat sebagai calon wakil gubernur Banten. Dan sejumlah yang lain. Dalam pemilu lalu, misalnya, Jeremy Thomas tidak berhasil sampai di Senayan, begitu juga Adrian Maulana. Mereka populer, tetapi terjun langsung di lapangan politik jelas melebihi dari hanya sekadar popularitas.

Saya saja yang (mantan) pengamat politik “nasional” ternyata masih ayam sayur di kalangan politisi lokal. Gaya kampung masuk kampung demi kampung bagi mereka adalah kampungan. Mereka lebih bergaya, sehingga tampil sebagai caleg DPR RI dengan naik ojek bagi mereka adalah keanehan. Kata mereka, seorang caleg DPR RI haruslah parlente, menaiki mobil mahal dan dikawal oleh sosok-sosok yang rapi. Bukan seperti tim yang saya bentuk yang sebagian besar tidak tamat sekolah dasar.

Politik adalah persepsi. Dari sisi ini, Airin tidaklah kalah dari Andre. Airin juga artis dari sisi kegiatan sosialnya, yakni menjadi aktivis lingkungan dan kesehatan. Hanya saja, terlihat lebih struktural, dalam arti memasuki organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan. Tipe organisatoris ini tentu lebih kaku dalam berhadapan dengan masyarakat, sekalipun lebih mengerti persoalan-persoalan yang sebenarnya.

Ketika Airin hanya menang sekitar 1000 suara itu, saya menduga telah terjadi situasi ketergantungan Airin dan Tim kepada organisasi struktural pendukung, ketimbang langsung berhubungan dengan masyarakat. Saya sempat melintasi Tangerang Selatan untuk keperluan keluarga. Begitu banyak baliho Airin dan bahkan siarannya di radio-radio lokal justru menjadikan Airin over-pencitraan.

***

Lalu, muncul satu persoalan lagi, ketika Mahkamah Konstitusi yang sedang dirundung masalah membatalkan hasil pilkada Kota Tangerang Selatan. Pilkada harus diulang. Yang menjadi persoalan, sejumlah pertimbangan hakim menyangkut persoalan yang sama sekali tidak terkait kandidat, melainkan keterlibatan birokrasi dalam memenangkan pasangan calon. Airin disebut dalam amar putusan, namun Airin dan pasangannya tidak didiskualifikasi.

Airin jelas bukan pejabat negara. Kalau ada kesalahan dari pihak lain yang memberikan dukungan kepadanya, apakah Airin layak dihukum? Saya menjadi tergerak hati untuk melibatkan diri dalam persoalan ini. Bagi saya, kejadian seperti ini tidak boleh lagi terulang. Keadilan bukanlah terletak dari seberapa banyak kebencian diberikan kepada orang yang memiliki kelebihan, tetapi seberapa objektifkan hukum bekerja tanpa ada prasanka.

Saya mulai bertanya kepada sejumlah orang, terutama dari pihak pendukung Andre. Rata-rata mereka mengatakan tidak melihat kepada kualitas Andre, melainkan Airin datang dari keluarga “kerajaan” atau “dinasti” Banten. Keluarga dalam arti menjadi menantu. Ironis, menjadi menantu sebuah keluarga kini juga menjadi masalah di negeri ini.

“Ndra, Andre itu dapat durian runtuh saja. Kualitasnya tidak lebih baik dari Airin”, begitu kata dari seorang aktivis yang saya temui. Kawan baik saya yang sederhana ini terkenal kritis. Bahkan beberapa kali saya berdemonstrasi dengannya, bahkan tahun 2010 ini.

Artinya, Airin memang mendapatkan perlawanan bukan karena kualitas pribadinya, tetapi lebih kepada perlawanan atas status sosialnya. Dan hal seperti ini terus dieksploitasi oleh lawan-lawan politiknya. Saya mulai menyadari bahwa bukan intelektualitas yang dikedepankan oleh kelompok yang merasa kelas intelektual itu, tetapi malahan sentimen-sentimen baru yang negatif hanya karena status sosial. Kenapa status sosial begitu mengganggu, di negara yang sedang merayakan demokrasi ini?

Ah, saya merasa pernah seperti itu. Andai saya tak terjun ke politik praktis, barangkali saya akan tetap memakai kacamata kuda dan berkotbah di atas gunung tinggi. Dan karena itu saya menulis Airin. Bagi saya, kualifikasi seorang Airin tidak harus dirata-ratakan dengan kelompok lain. Kalau Airin lebih unggul dari Andre, memang kenapa? Kenapa tidak diadu saja, termasuk dalam akting di Opera Van Java, misalnya?

Jakarta, Desember 2010

Pamulang, jelang Ashar

Senin, 17 Januari 2011