Lanjutan dari : Mencoba Memahami Kolumnis Terkenal IJ Piliang Saat "Menulis Airi (2)" http://www.facebook.com/note.php?note_id=488710687342
Menulis Airin (3)
http://www.indrapiliang.com/2011/01/14/menulis-airin-3/
oleh: Indra J Piliang*)
Ternyata “Menulis Airin (1)” dan “Menulis Airin (2)” mendapatkan respons khusus di website saya (www.indrapiliang.com). Muncul tanggapan pro-kontra. Selama argumen-argumen yang dibangun bersifat saling memberi informasi, bagi saya tidak ada masalah. Bahkan yang menyerang secara personalpun lewat kata dan kalimat sudah bukan persoalan lagi. Kata-kata setajam apapun tidak akan berbentuk kepal tangan yang menghunjam ke dagu, bukan?
Saya tak yakin serial tulisan tentang Airin ini akan memberi pengaruh besar. Tapi, sekecil apapun, saya tetap mencoba untuk menunjukkan bahwa politik butuh prinsip-prinsip dasar yang tak berubah. Mau tidak setuju dengan Airin sekalipun, tidak ada masalah, asalkan dengan argumentasi yang terukur. Manusia boleh berganti dalam politik, tetapi prinsip-prinsip dasar mestinya sama.
Tanggapan yang masuk menyebut Airin sebagai perempuan. Argumentasi yang dulu digunakan untuk menolak Megawati Soekarno Putri. Juga dulu digunakan untuk menolak Gubernur Atut. Padahal, sejarah Indonesia sendiri tidak mengenal diskriminasi dalam politik.
Sebagai contoh, ketika pemilih di Amerika Serikat baru mulai menyuarakan hak pilih terhadap perempuan pada akhir tahun 1960-an, perempuan Indonesia sudah memilih pada pemilu 1955. Sampai tahun 1970-an dan 1980-an, pemilih perempuan Amerika Serikat masih tetap berjuang di sejumlah negara bagian. Sekalipun jauh lebih lama merdeka, Amerika Serikat masih mengalami diskriminasi, bukan hanya terhadap perempuan, melainkan juga kulit hitam.
Jadi, agak aneh kalau mempersoalkan (lagi) keperempuanan Airin dibandingkan dengan kandidat laki-laki lain. Kata orang-orang tua di Minangkabau: kalau mau menyalakan lilin, jangan matikan lilin orang lain. Dr Syahrir almarhum pernah mengungkap: janganlah mengutuk kegelapan, mulailah menyalakan lilin. Lilin yang banyak akan membawa terang, asal jangan sampai membawa kebakaran.
Bagi saya, Airin adalah sosok lilin yang menerangi dunia politik yang “gelap” dengan hegemoni kaum laki-laki. Ketika pemerintahan berjalan, jarang kandidat perempuan yang terpilih terjebak dalam perilaku-perilaku yang dituduhkan ke politisi. Misalnya: korupsi. Data-data menyebutkan, jarang sekali politisi perempuan yang terkena kasus korupsi. Entah bagaimana, kaum politisi perempuan lebih mampu menjaga diri, ketimbang politisi laki-laki.
Keunggulan politisi perempuan, dibanding laki-laki, mestinya memunculkan semangat bagi pendukung Airin. Atau tidak membuat pendukung pasangan yang lain menggunakan kampanye yang bersifat negatif terhadap kaum perempuan. Kalau ada yang melakukan itu, saya kira mereka sedang mempraktekkan pola Malin Kundang dalam politik. Ketika disumpahi ibunya, Malin Kundang berubah menjadi batu. Malin-Kundang-i politik banyak terjadi akhir-akhir ini.
***
Tangsel adalah kota. Sebagai kota, Tangsel memiliki ciri-ciri sebagai masyarakat urban. Individualisme begitu kuat, dibandingkan dengan komunalisme atau sistem kekerabatan. Banyaknya kawasan perumahan memang membawa dampak kepada semakin eratnya hubungan warga bertetangga. Inisiatif warga menjadi penting. Begitupula, peranan dari pihak swasta dan masyarakat sipil juga kuat. Pemerintah, dalam level ini, barangkali lebih banyak menjadi pelayan kepentingan publik.
Nah, pelayanan itu menyangkut fasilitas umum dan fasilitas sosial. Pemeliharaan terhadap ruang publik (public sphere) menjadi penting. Dalam konteks itu, setiap proses pengambilan keputusan sepatutnya mendapatkan masukan dari publik. Dialog lebih penting, ketimbang monolog. Dominasi dan hegemoni adalah petaka.
Maka, bicara soal urban, jadi agak rumit melihat cara menolak Airin dengan alasan “Tangsel Pilih Tangsel”. Bukankah penolakan atas Airin juga karena logika “Airin adalah bagian dari Monarki Banten”? Cara berkampanye seperti itu jelas akan membawa perspektif kedaerahan yang kuat atau tribalisme baru di dalam wadah masyarakat kota.
Padahal, Tangsel berbeda dengan Pandeglang atau Lebak. Tangsel lahir sebagai sebuah ruang publik yang datang dari beragam suku bangsa di Indonesia. Kehadiran universitas di Tangsel makin menambah tinggi “maqam” Tangsel, dibandingkan dengan wilayah saya di Sumatera Barat Dua, misalnya. Sekalipun Sumbar Dua yang meliputi delapan kabupaten dan kota itu menghasilkan banyak pahlawan kemerdekaan, sampai sekarang tidak ada universitas yang dikenal bonafid. Universitas Andalas, misalnya terletak di Sumbar Satu.
Bagi saya, aneh sekali kalau ada intelektual yang mencoba membawa unsur “kebantenan” dalam kaitannya dengan pilkada Tangsel. Apalagi kalau sampai melibatkan unsur kampus dengan alasan “kebantenan” itu. Berbeda dengan intelektual Yogya yang membawa soal keistimewaan, bagi saya Tangsel tetaplah menjadi satu daerah yang memiliki ciri-ciri yang sama dengan daerah lain, termasuk dari sisi hak dan kewajibannya.
***
Kita sedang menata demokrasi di Indonesia. Apapun yang terjadi di Aceh, misalnya, akan memberi dampak kepada Papua. Cara kita menghadapi persoalan di Bali, akan berimbas kepada reaksi masyarakat Bengkulu. Identitas-identitas kedaerahan atau apa yang dikenal sebagai “politik identitas”, bukan semakin hilang seiring dengan kebebasan informasi. Kalaupun ada perbandingan, biasanya orang-orang bertanya: kenapa di sana berbeda, kenapa di sini tidak?
Maka agak menggelisahkan dan menggelikan apabila cara menolak Airin digunakan di tempat-tempat lain. Bisa-bisa keindonesiaan akan lenyap. Apalagi, publik tahu bahwa tokoh-tokoh yang berada di balik itu merupakan figur publik. Status itu tidak akan lepas, mau di manapun tempatnya.
Saya termasuk orang yang tidak terlalu banyak melibatkan diri dalam pilkada demi pilkada di Indonesia. Kecuali di Sumatera Barat, di daerah lain jarang. Perhatian terhadap isu-isu nasional jauh lebih penting dewasa ini, ketimbang satu demi satu memelototi daerah per daerah.
Tapi, sekali lagi, soal Tangsel ini unik. Fakta persidangan Mahkamah Konstitusi juga menunjukkan bahwa yang melakukan money politics adalah pasangan lain (juga) di luar Airin. Hanya saja, Airin terlanjur disebut dengan stigma negatif. Bagi saya, hal itu sama sekali tidak adil. Sama seperti kurang adilnya sikap awal saya yang diam-diam mengharapkan pertarungan sengit antara Airin melawan lawan-lawannya.
Dulu, ketika pilkada DKI Jakarta, sebelum ke TPS saya dan istri sepakat untuk memilih Fauzi Bowo. Alasan saya: “Fauzi Bowo adalah ‘menantu’ CSIS”. Waktu itu, saya masih bekerja di CSIS sebagai analis politik dan perubahan sosial. Nah, di TPS, pilihan saya berubah. Alasannya: kalau Fauzi Bowo menang mutlak, maka hegemoni akan datang. Harus diberikan perlawanan. Maka, Adang Dorodjatun menjadi pilihan.
Pas keluar dari TPS, saya tanya istri: “Kamu milih siapa?” Eh, istri saya juga ternyata memilih Adang. Saya menganggap, pilihan saya dan istri yang berubah di dalam TPS itu sebagai “kesadaran etis” dengan nalar yang tiba-tiba datang. Itu juga pikiran diam-diam saya atas Airin dan Tangsel.
Kini, saya kira “kesadaran etis” itu kurang tepat lagi. Kurang bertanggungjawab. Spekulatif. Kalau memang pikiran objektif menunjukkan bahwa Airin memiliki keunggulan dibandingkan dengan yang lain, kenapa harus berubah pada detik-detik terakhir. Jangan sampai keterombang-ambingan kelas menengah justru membuat agenda-agenda pembangunan Tangsel ke depan justru terbengkalai. Emosi sesaat saja ternyata tidak cukup untuk kepentingan (politik) jangka menengah dan panjang... Semoga.
Jakarta, 14 Januari 2011
*) Pernah menjadi warga Kabupaten Tangerang (hehe)
Pamulang, ba'da Subuh
Selasa, 18 Januari 2011